Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image vivi nurwida

Ekologi Diabaikan, Banjir Datang, Nyawa Melayang

Agama | 2025-09-22 11:27:40
Dok: Berita Satu

Bali berduka. Banjir bandang yang melanda 123 titik di enam kabupaten/kota bukan sekadar bencana alam biasa. Ia adalah potret nyata kerusakan tata ruang dan pengabaian serius terhadap keseimbangan ekologi. Sebanyak 18 orang meninggal, ratusan lainnya mengungsi, dan ribuan rumah terendam. Fakta-fakta ini harus membuka mata kita bahwa bencana bukan semata datang dari langit, melainkan juga akibat kebijakan yang salah arah di bumi.

Tukad Badung, salah satu sungai utama di Bali, kini menyempit lantaran padatnya bangunan di bantaran. Di hulu Gunung Batur, hutan yang tersisa tinggal 1.200 hektare dari total 49.000 hektare. Dalam dua dekade terakhir, jumlah akomodasi wisata melonjak hingga dua kali lipat. Semua angka ini adalah sinyal betapa ekosistem Bali dipaksa menanggung beban pembangunan pariwisata yang tidak terkendali.

Alih Fungsi Lahan yang Masif

Banjir bandang Bali sesungguhnya adalah alarm keras akibat alih fungsi lahan yang masif. Sawah, subak, dan hutan yang selama ini berperan menjaga keseimbangan air kini berubah menjadi hotel, vila, dan pusat wisata. Fungsi ekologis lahan dikorbankan demi keuntungan ekonomi jangka pendek. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) hanya berhenti sebagai dokumen formal, tanpa implementasi nyata. Tidak sedikit bangunan berdiri di bantaran sungai secara ilegal, tetapi tetap dibiarkan karena ada kepentingan modal di baliknya.

Menteri Lingkungan Hidup sendiri menyebutkan penyebab banjir Bali bukan hanya cuaca ekstrem, tetapi juga sampah dan alih fungsi lahan. Namun, pernyataan itu seakan hanya berhenti di tataran retorika. Padahal, masalah utamanya bukan sekadar sampah yang menumpuk, tetapi keserakahan manusia yang mengubah ruang hidup tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan.

Kapitalisme dan Krisis Ekologi

Jika ditelaah lebih dalam, banjir Bali tak bisa dilepaskan dari sistem pembangunan yang berpijak pada paradigma kapitalistik. Pemerintah cenderung memprioritaskan turis dan investasi ketimbang menjaga lingkungan hidup. Kapitalisme menjadikan bumi sebagai komoditas, bukan amanah. Hutan ditebang, sungai dipersempit, sawah dialihfungsikan, semua demi meraup keuntungan dari sektor pariwisata.

Bali sebagai destinasi dunia jelas menjadi "lahan basah" bagi para investor. Namun, apa yang diperoleh rakyat Bali dari geliat pariwisata itu? Justru mereka yang menjadi korban banjir, kehilangan tempat tinggal, bahkan kehilangan nyawa. Sementara para pemodal tetap nyaman dengan keuntungan yang mengalir dari bisnis wisata. Inilah wajah asli kapitalisme, keuntungan segelintir orang lebih utama daripada keselamatan rakyat banyak.

Alam sebagai Amanah, Bukan Komoditas

Islam memberikan perspektif berbeda. Alam bukanlah objek eksploitasi, melainkan amanah dari Allah Swt. Air, hutan, dan sungai adalah milik umum, bukan komoditas untuk diprivatisasi atau dikomersialisasi. Allah telah memperingatkan dalam Al-Qur’an:

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (TQS. Ar-Rum: 41).

Kerusakan ekologis yang melanda Bali adalah contoh nyata dari ayat ini. Ketika manusia menentang keseimbangan alam yang Allah tetapkan, bencana datang berulang sebagai peringatan.

Dalam pandangan Islam, negara berkewajiban menjaga tata ruang, mengelola sumber daya alam secara adil, dan melindungi rakyat dari ancaman bencana. Negara tidak boleh tunduk pada kepentingan investor yang hanya mengejar profit. Sebaliknya, negara harus menegakkan aturan syariat dalam pemanfaatan ruang dan sumber daya, sehingga pembangunan tetap selaras dengan kelestarian ekosistem.

Pariwisata yang Menjadi Penopang

Satu hal penting, Islam tidak menjadikan pariwisata sebagai sumber utama pemasukan negara. Dalam sistem ekonomi Islam, pendapatan negara diperoleh melalui mekanisme syariat: pengelolaan kepemilikan umum seperti hutan, air, dan tambang besar; pengelolaan kepemilikan negara; serta pos zakat. Dengan mekanisme ini, negara tidak perlu menjual ruang hidup rakyat atau merusak alam demi menarik devisa dari turis.

Dengan demikian, pembangunan dalam Islam tidak akan menimbulkan benturan antara kebutuhan ekonomi dengan kelestarian ekologi. Pariwisata tetap bisa ada, tetapi tidak dijadikan pondasi ekonomi yang rapuh dan merusak.

Saatnya Berbenah dengan Paradigma Baru

Banjir bandang Bali seharusnya menjadi momentum untuk berbenah. Sudah saatnya masyarakat dan penguasa berhenti berpikir semata dengan logika keuntungan materi. Jika kerusakan alam terus dibiarkan, maka bencana tidak hanya berulang, tetapi bisa semakin dahsyat.

Paradigma kapitalistik terbukti gagal menjaga keseimbangan alam. Saatnya beralih pada paradigma Islam yang menempatkan manusia sebagai khalifah di bumi, dengan kewajiban mengelola alam sesuai aturan Allah. Hanya dengan cara itu, keseimbangan ekologi bisa kembali, rakyat terlindungi, dan bencana dapat diminimalisasi.

Bali tidak boleh terus menjadi korban dari keserakahan kapitalisme. Kita membutuhkan sistem yang menjadikan alam sebagai amanah, bukan komoditas. Sebab, ketika ekologi diabaikan, banjir datang, dan nyawa pun melayang.

Wallahu a'lam bisshowab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image