Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Masjid Makmur, Indonesia Makmur

Agama | 2025-09-19 05:10:04

Oleh: Muliadi Saleh

H. Helmy Hasan, Gubernur Bengkulu

Subuh itu, Jumat 19 September 2025, Masjid Raya Bukit Baruga dipenuhi cahaya. Jamaah datang berduyun-duyun, memenuhi saf yang rapat, dengan wajah yang basah oleh wudhu, dengan hati yang merindu pada kalam Allah. Di hadapan mereka, Helmy Hasan—Gubernur Bengkulu—berdiri memberi tausiyah. Suaranya tenang, namun menggetarkan hati, ketika ia menyerukan satu komitmen agung: masjid harus hidup 24 jam.

“Lihatlah,” katanya, “pom bensin buka 24 jam, hotel buka 24 jam, warung kopi buka 24 jam, mini market buka 24 jam. Mengapa masjid, rumah Allah, justru terkunci di waktu-waktu sepi? Bukankah seharusnya masjid menjadi pusat kehidupan yang tak pernah tidur?”

Kalimat itu terasa menusuk, menyadarkan, sekaligus memantik harapan. Masjid bukan sekadar tumpukan bata dan beton. Ia adalah ruang spiritual yang seharusnya berdenyut sepanjang waktu. Sebuah rumah tempat cinta, perhatian, waktu, harta, dan kepedulian umat bermuara. Jika masjid hidup, maka masyarakat hidup. Jika masjid makmur, maka Indonesia makmur.

Masjid sebagai Denyut Peradaban

Sejarah Islam menunjukkan betapa masjid selalu menjadi pusat kehidupan umat. Dari Masjid Nabawi di Madinah, Rasulullah ﷺ tidak hanya memimpin shalat, tetapi juga mendidik sahabat, mengatur strategi dakwah, memutuskan urusan sosial, bahkan menerima tamu dari berbagai bangsa. Masjid adalah simbol keterbukaan, pusat pengetahuan, sekaligus benteng spiritual.

Namun kini, banyak masjid hanya “hidup” di waktu-waktu tertentu. Adzan berkumandang, shalat berjamaah berlangsung, lalu pintu terkunci kembali. Masjid kehilangan denyut sebagai pusat peradaban, bergeser menjadi bangunan sunyi di luar jam shalat. Padahal umat membutuhkan tempat bernaung, berdiskusi, belajar, bahkan sekadar menenangkan hati dari riuh kehidupan kota.

Helmy Hasan mengingatkan bahwa masjid harus bangkit dari keterbatasan itu. Masjid harus terbuka, ramah, dan siap menjadi rumah besar bagi umat. Masjid bukan hanya simbol keislaman, tetapi juga simbol peradaban yang hidup dan memberi makna.

Dimensi Cinta dan Kepedulian

Dalam ceramahnya, Helmy Hasan menyebut bahwa masjid memerlukan cinta. Cinta yang diwujudkan dengan perhatian, waktu, tenaga, bahkan harta. Tanpa cinta, masjid hanya menjadi bangunan tanpa ruh. Tetapi dengan cinta, masjid berubah menjadi ruang yang hangat, yang menyatukan jamaah dalam rasa persaudaraan.

Cinta itu terwujud dalam kepedulian. Jamaah yang datang bukan sekadar shalat lalu pulang, tetapi ikut menjaga kebersihan, mengisi kajian, mendukung kegiatan sosial, menyapa saudara yang kesulitan. Masjid makmur bukan karena marmernya berkilau, tetapi karena denyut kehidupan di dalamnya berkelanjutan.

Bayangkan jika masjid benar-benar buka 24 jam. Di dalamnya ada lantunan tilawah yang tidak pernah berhenti. Ada majelis ilmu di siang dan malam hari. Ada ruang bagi musafir untuk beristirahat, bagi anak muda untuk belajar, bagi fakir miskin untuk menemukan harapan. Masjid bukan hanya rumah ibadah, tetapi juga rumah kasih sayang umat.

Masjid dan Keindonesiaan

Helmy Hasan menegaskan, “Masjid makmur, Indonesia makmur.” Ungkapan ini bukan sekadar slogan, tetapi refleksi mendalam tentang keterhubungan spiritual dengan kebangsaan.

Ketika masjid hidup, umat memiliki pusat nilai yang menuntun moralitas. Ketika masjid ramai, masyarakat punya ruang kebersamaan yang menumbuhkan solidaritas. Dan ketika masjid makmur, energi positif itu memancar ke luar, melahirkan masyarakat yang jujur, adil, dan peduli.

Indonesia tidak hanya memerlukan pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan ruhani. Gedung-gedung tinggi, jalan tol, dan pusat perbelanjaan tidak akan bermakna jika masyarakat kehilangan arah moral. Maka masjid hadir sebagai jangkar spiritual, yang menjaga keseimbangan antara modernitas dan nilai ketuhanan.

Refleksi Subuh di Bukit Baruga

Ceramah subuh di Masjid Raya Bukit Baruga itu menjadi refleksi bersama. Bukit Baruga, kawasan urban yang terus tumbuh di Makassar, kini punya simbol baru: masjid sebagai pusat kehidupan. Ketika jamaah mendengar seruan Helmy Hasan, sebagian tertegun, sebagian mengangguk, dan sebagian lagi meneteskan air mata. Ada rasa bersalah karena selama ini membiarkan masjid terkunci. Ada pula rasa haru, karena disadarkan bahwa masjid bukan hanya milik pengurus, tetapi milik seluruh umat.

Di tengah modernitas kota yang serba cepat, masjid diingatkan kembali sebagai tempat yang seharusnya paling hidup. Seperti jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh, masjid adalah pusat yang memberi kehidupan pada masyarakat sekitarnya.

Janji Allah untuk Umat yang Memakmurkan Masjid

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Maka merekalah yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.”

(QS. At-Taubah: 18)

Ayat ini menegaskan bahwa memakmurkan masjid adalah tugas orang-orang beriman. Dan janji Allah pasti benar—umat yang memakmurkan masjid akan memperoleh petunjuk, keberkahan, dan kemuliaan.

Maka, seruan Helmy Hasan bukan hanya orasi, tetapi panggilan iman:

Jika pom bensin saja bisa buka 24 jam, mengapa rumah Allah harus terkunci?

Jika warung kopi bisa jadi tempat pertemuan, mengapa masjid tidak bisa jadi ruang persaudaraan?

Jika hotel bisa menjadi tempat beristirahat, mengapa masjid tidak bisa menjadi tempat bernaung bagi umat?

Masjid bukan hanya bata dan beton. Ia adalah hati umat. Dan ketika hati itu hidup, maka bangsa pun akan hidup.

Masjid makmur, Indonesia makmur.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image