Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Martono

Apa yang Mau Disombongkan dari Manusia yang Tercipta dari Setetes Air Mani?

Agama | 2025-09-17 09:48:35
Foto ilustrasi kesombongan. Kredit foto: ChatGPT.

KETIKA Allah SWT menciptakan Nabi Adam AS, Allah memerintahkan seluruh malaikat dan iblis untuk bersujud sebagai bentuk penghormatan, bukan penyembahan. Semua malaikat taat, namun iblis menolak. Ia berkata:“Aku lebih baik daripadanya (Adam). Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”(QS. Al-A’raf: 12)

Ucapan iblis ini menunjukkan kesombongan luar biasa. Ia merasa lebih tinggi dan mulia karena asal penciptaannya. Padahal, kemuliaan di sisi Allah bukan ditentukan oleh asal-usul, melainkan oleh ketaatan. Akibat kesombongannya, iblis pun diusir dari surga dan dilaknat hingga hari kiamat:“Maka turunlah kamu dari surga itu! Tidak sepatutnya kamu menyombongkan diri di dalamnya. Keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.”(QS. Al-A’raf: 13)

Kisah ini memberi pesan kuat bahwa kesombongan adalah penyakit hati yang bisa menggugurkan amal, bahkan menjatuhkan derajat makhluk yang sebelumnya mulia menjadi terhina. Jika iblis saja yang ahli ibadah ribuan tahun bisa hancur karena sombong, apalagi manusia yang lemah dan penuh kekurangan.

Sifat takabur membuat seseorang menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Inilah yang membuat Allah murka. Oleh karena itu, orang beriman diperintahkan untuk selalu rendah hati, tidak merasa lebih hebat dari sesama, serta menyadari bahwa semua kelebihan hanyalah titipan Allah.

Manusia kerap kali larut dalam kesombongan. Jabatan, harta, popularitas, atau kecerdasan sering dijadikan alasan untuk merasa lebih tinggi dari orang lain. Padahal, jika mau merenung sejenak, asal-usul manusia sendiri sudah cukup untuk mematahkan segala bentuk kesombongan.

Kita tercipta hanya dari setetes air mani, sesuatu yang hina dan tak berharga.
Ketika manusia berbangga dengan pakaian mewah, rumah megah, atau kendaraan mahal, sejatinya ia sedang menutupi fakta rapuhnya keberadaan diri.

Sebelum mencapai bentuk yang sempurna, manusia hanyalah segumpal darah, segumpal daging, dan sebelumnya berasal dari sesuatu yang seringkali dianggap menjijikkan. Dari mana datangnya rasa pantas untuk menyombongkan diri?

Kesombongan selalu menjerumuskan. Sejarah mencatat nama-nama besar yang jatuh bukan karena kurang harta atau kuasa, melainkan karena angkuh dan congkak. Firaun, Qarun, dan para penguasa zalim lainnya menjadi contoh nyata bahwa kesombongan hanya berakhir dengan kehinaan.

Maka pertanyaannya, apa yang mau disombongkan manusia biasa, sementara asalnya saja dari sesuatu yang hina?
Ketika manusia meninggal, jasadnya pun kembali pada tanah. Tak ada yang mau mendekat lama-lama pada tubuh yang membusuk. Harta yang dikumpulkan habis-habisan pun tidak akan menyelamatkan dari liang lahat yang sempit. Apakah masih pantas sombong ketika semua akan berakhir dengan tanah dan debu?

Kesombongan sering kali muncul dari kebodohan. Manusia lupa akan keterbatasan dirinya. Ia lupa bahwa segala sesuatu yang dimilikinya hanya titipan sementara. Nyawa pun bukan milik mutlak manusia, melainkan bisa diambil kapan saja oleh Sang Pencipta tanpa permisi.

Ada yang sombong karena cantik atau tampan, padahal semua itu akan pudar dimakan usia. Ada yang sombong karena sehat dan kuat, padahal hanya satu virus kecil bisa melumpuhkan seluruh tubuh. Ada yang sombong karena pintar, padahal ilmu manusia tidak sebanding setetes pun dengan samudra ilmu Tuhan.

Kesombongan justru merendahkan martabat manusia. Alih-alih dihormati, orang sombong biasanya dijauhi. Orang mungkin menunduk karena takut, tapi tidak ada ketulusan di balik sikap itu. Sementara kerendahan hati justru meninggikan derajat. Orang yang rendah hati dihargai bukan karena hartanya, melainkan karena kebijaksanaannya.

Asal-usul manusia yang hina seharusnya menjadi pengingat untuk bersikap rendah hati. Dari proses penciptaan yang rapuh, lalu tumbuh, belajar, hingga bisa berdiri tegak, semua itu adalah karunia. Tidak ada bagian yang bisa diklaim manusia sebagai hasil murni usahanya tanpa campur tangan Sang Pencipta.

Kesombongan juga menjadi tabir yang menutup mata hati dari kebenaran. Orang sombong sulit menerima kritik, apalagi nasihat. Padahal, hidup manusia penuh keterbatasan. Tanpa bantuan orang lain, bahkan sejak lahir pun, manusia tidak akan mampu bertahan. Dari bayi yang lemah hingga dewasa yang kuat, perjalanan itu tak mungkin dilewati sendirian.

Kerap kali, kesombongan hanya menimbulkan penderitaan batin. Orang yang sombong akan selalu merasa ingin dihormati. Ketika tidak diperlakukan sesuai egonya, ia kecewa, marah, dan sakit hati. Hidupnya penuh dengan rasa tidak puas. Bandingkan dengan orang yang rendah hati, ia lebih tenang, lebih damai, karena tidak menggantungkan harga dirinya pada pandangan orang lain.

Dalam perspektif agama, kesombongan adalah salah satu sifat yang paling dibenci Allah. Bahkan, setitik kesombongan dalam hati bisa menjadi penghalang masuk surga. Bukankah ini peringatan yang jelas bahwa tidak ada alasan sedikit pun untuk merasa lebih dari orang lain?
Lebih jauh, kesombongan kerap membuat manusia lalai akan hakikat kehidupannya.

Ia sibuk membangun nama dan reputasi, tetapi lupa menyiapkan bekal untuk akhirat. Ia mengejar pengakuan manusia, tetapi lalai mencari keridhaan Tuhan. Padahal, semua akan berakhir di satu titik: kematian.

Rendah hati bukan berarti merendahkan diri. Rendah hati adalah menyadari bahwa semua yang dimiliki hanyalah titipan. Kesuksesan, kedudukan, dan kekuatan harus disyukuri, bukan disombongkan. Dari kesadaran inilah lahir perilaku yang santun, penuh empati, dan menghargai sesama.

Maka, jika manusia sadar ia hanya berasal dari setetes air mani, seharusnya ia malu untuk menyombongkan diri. Tidak ada kebanggaan yang sejati dari kesombongan. Justru kerendahan hati yang akan meninggikan derajat manusia di mata sesama dan di hadapan Sang Pencipta. Namun begitu, jika Allah SWT ingin membuka tabir siapa manusia yang kita puja, maka Allah izinkan lidah manusia itu berucap sesuatu tanpa dia sadari.

 

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image