Ikhlas yang Terancam Jadi Fatamorgana
Politik | 2025-09-01 07:33:30RASULULLAH MUHAMMAD SAW dalam segenap perjalanan hidupnya, pernah diposisikan pada titik paling hina di mata manusia, beliau difitnah, dicaci, diludahi, dilempari batu. Namun beliau memilih diam, bukan karena kalah, melainkan karena paham, bahwa marah atas nama diri hanya akan membuatnya serupa dengan mereka yang menghinanya. Tetapi ketika yang diinjak adalah kepentingan umat, Rasulullah berdiri di garis depan, bahkan turun ke medan perang. Inilah paradoks indah itu tentang sabar atas derita pribadi, garang terhadap ketidakadilan publik.
Kita tentu sangat jauh dari sosok Rasulullah SAW, tetapi ikhtibar itu penting diingat ketika menilai pemimpin kita hari ini. Gus Dur, dengan kejernihannya, pernah menyebut nama Prabowo sebagai orang paling ikhlas untuk Indonesia. Sebuah pernyataan yang masih bergaung seperti doa, tapi sekaligus menggantung seperti tanda tanya. Ikhlas, dalam tafsir Tan Malaka lewat Madilog, bukan sekadar niat, melainkan tindakan nyata yang dialektis dengan realitas. Ikhlas, dalam strategi Sun Tzu, diuji ketika sang pemimpin mampu menguasai bukan musuh di luar, melainkan syahwat di dalam lingkarannya sendiri.
Prabowo berangkat dengan visi mulia yaitu memberi makan anak Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, jargon ini sempat menjadi harapan. Tetapi di lapangan, kita membaca laporan yang getir. Di Banten, Ombudsman mencatat pada Juli 2025 ada 1.240 paket nasi basi yang dibagikan di sekolah. Di Kalimantan Selatan, Dinkes menemukan 37 murid keracunan akibat lauk berulat. Di Jawa Tengah, kasus serupa membuat 12 siswa harus dirawat di puskesmas, begitupun hal serupa terjadi di berbagai daerah lainnya di Indonesia. Program yang lahir dari kasih sayang berubah jadi ejekan. Apa yang diniatkan sebagai "politik perut rakyat" justru menjadi "politik basi" di mata mereka yang lapar. Inilah yang oleh Machiavelli disebut paradoks kekuasaan, dimana niat baik tanpa eksekusi adalah benih kehancuran reputasi.
Begitu pula Danantara, program ambisius yang diharap menjadi penghubung distribusi nasional. Namun publik justru menyoroti BUMN yang dibiarkan terus merugi. Data Kementerian BUMN 2024 mencatat 17 BUMN mengalami kerugian dengan total defisit Rp 38 triliun. Anehnya, direksi dan komisaris tetap menikmati gaji dan tunjangan jumbo dengan rata-rata Rp 150-250 juta per bulan, ditambah fasilitas lain. Sementara "efisiensi" dipaksakan lewat pemangkasan transfer ke daerah. Alhasil, 2025 menjadi tahun fiskal paling getir bagi pemerintah daerah dimana DAU turun rata-rata 8,5 persen. Beberapa pemda termasuk di Jawa Barat, Aceh, dan NTT terpaksa menaikkan PBB hingga 15-25 persen untuk menutup defisit. Dampaknya, ekonomi lokal makin macet, pasar tradisional sepi, pedagang gulung tikar, dan rakyat kecil hanya bisa menggigit bibir. Efisiensi di pusat, derita di daerah.
Prabowo juga menegaskan perang terhadap korupsi. Itu tentu sejalan dengan amar ma’ruf nahi munkar. Tetapi korupsi di negeri ini ibarat gunung es. Yang ditangkap kerap ikan teri, sementara hiu-hiu besar tetap asyik menari. Data ICW 2024 mencatat kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 57,1 triliun, mayoritas berasal dari proyek infrastruktur dan BUMN. Namun, dari 1.389 kasus yang disidik, hanya 12 melibatkan pejabat eselon I atau setara direksi BUMN. Sisanya, kepala dinas, rektor, camat, atau aparat desa. Jika pedang hukum hanya tajam ke bawah, rakyat akan membaca bahwa janji pemberantasan korupsi hanyalah retorika. Teori Sun Tzu mengingatkan bahwa “Kemenangan terbaik adalah yang didapat tanpa pertempuran.” Tetapi kemenangan itu tak akan pernah datang bila musuh terbesar yaitu korupsi kelas kakap justru dibiarkan hidup nyaman.
Sumber daya alam adalah medan yang lebih getir lagi. Prabowo dengan lantang berbicara soal warisan untuk anak cucu. Tetapi fakta di lapangan berkebalikan. Korporasi tetap mendapat karpet merah, data BKPM menunjukkan investasi tambang skala besar melonjak 22 persen sepanjang semester I 2025. Sementara tambang rakyat masih terseok menunggu legalisasi. Padahal, kajian BRIN 2023 menegaskan bahwa legalisasi tambang rakyat bisa menambah PAD hingga Rp 3 triliun per tahun secara nasional dan menekan konflik horizontal hingga 40 persen. Plasma perkebunan, yang di atas kertas manis, di lapangan pahit. Sawit Watch mencatat pada 2024 ada 662 konflik plasma dengan perusahaan yang tak kunjung selesai. Dari Sumatera hingga Kalimantan, petani plasma sering hanya jadi objek janji. Negara kerap hadir bukan sebagai penengah, melainkan penonton.
Dalam siasat Islam, keadilan distribusi adalah pilar kekuasaan. Umar bin Khattab pernah berujar, “Bagaimana aku bisa tenang, sementara masih ada rakyat yang lapar?” Umar memikul gandum sendiri sebagai simbol tanggung jawab. Apakah ikhlas Prabowo bisa sampai di titik itu yakni berani melawan lingkaran rente, meski berarti menantang kenyamanan di sekitarnya?
Jika tidak, keikhlasan itu akan terkubur oleh laporan asal bapak senang(ABS). Ikhlas yang dulu dipuji Gus Dur hanya akan jadi fatamorgana yang indah dipandang, kosong saat didekati. Rakyat Indonesia bukan sekadar ingin kenyang, mereka ingin adil. Dan adil, kata Tan Malaka, adalah kebenaran yang berpihak pada mayoritas rakyat, bukan minoritas penguasa.
Prabowo masih punya waktu. Ia bisa memilih menjadi pemimpin yang dikenang sebagai pejuang keadilan, atau sekadar catatan kaki dalam sejarah panjang bangsa ini. Seperti pelajaran dari risalah Rasulullah yang sabar pada hinaan tetapi tegas pada ketidakadilan, Prabowo diuji hari ini, apakah ia benar-benar ikhlas untuk Indonesia, atau ikhlasnya hanya tinggal cerita.
Dan sejarah selalu kejam bagi pemimpin yang lalai. Kapal besar bernama Indonesia kini sedang berlayar di tengah badai, dimana gelombang krisis global, angin kencang korupsi, ombak ketidakadilan. Rakyat adalah awak kapal yang menggantungkan hidupnya pada nakhoda. Jika nakhoda berani membuang muatan rente dan menegakkan layar keadilan, kapal ini akan selamat mencapai pelabuhan sejarah. Tetapi bila ia sibuk mendengar laporan palsu di geladak elit, kapal itu hanya akan berputar-putar di tengah samudra, menunggu karam.
Fatamorgana ikhlas yang dulu dipuji Gus Dur hanya akan menguap bersama ombak. Namun bila keberanian lahir dari ikhlas yang sejati, sejarah akan menuliskan Prabowo bukan sekadar nama, melainkan nakhoda yang berani menantang badai demi selamatnya seluruh penumpang bernama rakyat Indonesia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
