Antara Pajak, Hedonisme Elit dan Revolusi Perancis
Sejarah | 2025-08-29 20:10:34
Sejarah mencatat bahwa beberapa revolusi besar dunia berawal dari persoalan yang sepele: pajak. Namun, ketika pajak dikelola secara tidak adil, diborong oleh segelintir elit, dan digunakan untuk membiayai gaya hidup hedonis para pejabat, maka rakyat akan bangkit. Revolusi Perancis 1789 menjadi contoh sempurna bagaimana ketidakadilan pajak, dikombinasikan dengan hedonisme penguasa, dapat menciptakan gelombang revolusi yang mengubah tatanan dunia.
Revolusi Perancis tidak hanya menggulingkan monarki absolut, tetapi juga menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan revolusioner di seluruh dunia. Yang menarik, pelajaran dari Perancis abad ke-18 masih relevan hingga hari ini, di mana ketidakadilan pajak dan hedonisme pejabat tetap menjadi isu yang sensitif di berbagai negara.
Sistem Pajak yang Tidak Adil di Perancis Abad ke-18
Sebelum Revolusi Perancis meletus, Perancis menerapkan sistem pajak yang sangat diskriminatif dan tidak adil. Masyarakat Perancis terbagi menjadi tiga golongan yang dikenal dengan sebutan Ancien Régime. Golongan pertama adalah para rohaniawan (clergy), golongan kedua adalah para bangsawan (nobility), dan golongan ketiga adalah rakyat jelata yang mencakup petani, pedagang, dan kaum borjuis.
Yang paling mencolok dari sistem ini adalah ketidakadilan dalam pembayaran pajak. Golongan pertama dan kedua, yang merupakan minoritas dan menguasai sebagian besar kekayaan negara, justru dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintah. Bahkan, gereja tidak hanya bebas pajak tetapi juga berhak menerima dîme (zakat) 10% dari pajak penghasilan rakyat, yang sering dikumpulkan dalam bentuk bahan pangan.
Sebaliknya, golongan ketiga yang merupakan mayoritas penduduk (sekitar 98% dari total populasi) harus menanggung beban pajak yang sangat berat. Mereka tidak hanya membayar pajak langsung kepada negara, tetapi juga berbagai pungutan feodal kepada tuan tanah. Sistem feodalisme atau seigneurialisme yang masih berlaku membuat petani harus membayar berbagai macam pajak dan upeti kepada penguasa lokal.
Ketidakadilan ini semakin terasa ketika kondisi ekonomi Perancis memburuk. Pemerintahan Louis XVI menghadapi krisis keuangan akibat pembiayaan berbagai perang, termasuk Perang Tujuh Tahun melawan Inggris dan dukungan terhadap Revolusi Amerika. Untuk mengatasi defisit anggaran, pemerintah terus meningkatkan pajak, namun beban ini hanya dibebankan kepada golongan ketiga yang sudah miskin.
Hedonisme Marie Antoinette dan Krisis Keuangan Negara
Di tengah penderitaan rakyat akibat beban pajak yang berat dan krisis ekonomi, pasangan kerajaan Louis XVI dan Marie Antoinette justru menjalani gaya hidup yang sangat mewah dan hedonis. Marie Antoinette, yang dijuluki "Madame Déficit" oleh rakyat, menjadi simbol kemewahan dan pemborosan keuangan negara.
Gaya hidup mewah Marie Antoinette menjadi sumber kemarahan rakyat. Ia gemar berpesta, berjudi, dan berbelanja barang-barang mewah dengan menggunakan kas negara. Yang lebih mencengangkan, menjelang Revolusi, pasangan kerajaan ini membeli kastil baru masing-masing seharga 10 juta livre untuk Louis XVI dan 6 juta livre untuk Marie Antoinette. Pemborosan ini terjadi ketika rakyat Perancis tengah menghadapi krisis pangan dan kemiskinan yang parah.
Hedonisme Marie Antoinette tidak hanya terbatas pada pembelian barang mewah, tetapi juga gaya hidupnya yang berlebihan di Istana Versailles. Ia membangun Petit Trianon, sebuah kompleks pribadi di dalam Versailles yang dirancang sebagai tempat berlibur yang mewah. Di sana, ia bermain peran sebagai gembala domba dalam suasana pastoral yang artifisial, sementara rakyat sesungguhnya berjuang mencari nafkah.
Aksi hedonisme Marie Antoinette ditutup rapat-rapat oleh istana agar rakyat tidak mengetahui. Namun, cerita tentang kemewahan dan pemborosan ratu tetap bocor ke telinga rakyat, memicu kemarahan yang luar biasa. Muncul berbagai mitos dan gosip tentang kehidupan ratu yang semakin memperburuk citra kerajaan di mata rakyat.
Subsidi Terbalik
Fenomena yang terjadi di Perancis abad ke-18 dapat digambarkan sebagai "subsidi terbalik." Alih-alih pendapatan pajak digunakan untuk mensubsidi kebutuhan rakyat seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik, yang terjadi justru sebaliknya. Rakyat yang sudah miskin harus mensubsidi gaya hidup mewah dan korup para pejabat kerajaan.
Sistem pajak yang tidak adil menciptakan kondisi di mana golongan yang paling mampu justru tidak berkontribusi pada kas negara, sementara golongan yang paling lemah harus menanggung beban yang sangat berat. Hal ini diperparah dengan korupsi dan pemborosan yang dilakukan oleh para pejabat kerajaan, termasuk Marie Antoinette dan lingkaran istana.
Kondisi ini menciptakan ketimpangan yang luar biasa dalam masyarakat Perancis. Di satu sisi, para bangsawan dan rohaniawan hidup dalam kemewahan tanpa berkontribusi pada kas negara. Di sisi lain, rakyat jelata harus bekerja keras membayar pajak yang terus meningkat untuk membiayai gaya hidup hedonis para penguasa.
Pemicu Revolusi: Ketika Kesabaran Rakyat Habis
Kombinasi antara sistem pajak yang tidak adil, hedonisme penguasa, dan krisis ekonomi akhirnya mencapai titik didih pada tahun 1789. Rakyat Perancis yang sudah lelah dengan penindasan dan ketidakadilan mulai bangkit menuntut perubahan. Revolusi dimulai dengan penyerbuan Bastille pada 14 Juli 1789, yang kemudian menjadi Hari Nasional Perancis.
Revolusi Perancis dimulai ketika Louis XVI berusaha mengumpulkan Estates-General (parlemen yang terdiri dari tiga golongan) untuk membahas krisis keuangan negara. Namun, golongan ketiga yang merasa tidak diwakili dengan adil memutuskan untuk membentuk Majelis Nasional dan mengikrarkan sumpah lapangan tenis (Tennis Court Oath), berjanji tidak akan bubar sebelum menyusun konstitusi baru.
Kemarahan rakyat semakin memuncak ketika mereka mengetahui bahwa sementara mereka kelaparan, Marie Antoinette masih berpesta dan berbelanja barang mewah. Mitos tentang perkataan Marie Antoinette "Biarkan mereka makan kue" (meskipun secara historis diragukan kebenarannya) menjadi simbol ketidakpedulian penguasa terhadap penderitaan rakyat.
Jatuhnya Monarki dan Eksekusi Marie Antoinette
Revolusi Perancis berhasil menggulingkan sistem monarki absolut yang telah berlangsung berabad-abad. Louis XVI dan Marie Antoinette ditangkap, diadili, dan akhirnya dieksekusi dengan guillotin. Louis XVI dieksekusi pada 21 Januari 1793, sedangkan Marie Antoinette menyusul pada 16 Oktober 1793.
Eksekusi Marie Antoinette menjadi puncak kemarahan rakyat terhadap sistem yang tidak adil. Wanita yang pernah menjadi simbol kemewahan dan hedonisme ini akhirnya harus membayar dengan nyawa atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Kematiannya juga menandai berakhirnya era monarki absolut di Perancis.
Revolusi tidak hanya menggulingkan raja dan ratu, tetapi juga merombak total sistem politik, ekonomi, dan sosial Perancis. Sistem feodalisme dihapuskan, hak-hak istimewa para bangsawan dan rohaniwan dicabut, dan prinsip "Liberté, Égalité, Fraternité" (Kebebasan, Kesetaraan, Persaudaraan) menjadi landasan negara baru.
Dampak dan Pelajaran untuk Masa Kini
Revolusi Perancis memberikan dampak yang luar biasa tidak hanya bagi Perancis tetapi juga bagi dunia. Revolusi ini menginspirasi gerakan-gerakan kemerdekaan di berbagai belahan dunia dan menjadi tonggak penting dalam perkembangan demokrasi modern. Prinsip-prinsip yang diperjuangkan dalam Revolusi Perancis, seperti kedaulatan rakyat, pemisahan kekuasaan, dan hak asasi manusia, menjadi fondasi bagi negara-negara demokrasi modern.
Dari sisi ekonomi, Revolusi Perancis berhasil menghapuskan sistem pajak yang diskriminatif dan menciptakan sistem yang lebih adil. Petani memperoleh hak atas tanah, gilda-gilda (perkumpulan pedagang yang mendapat monopoli) dihapuskan, dan sistem perdagangan menjadi lebih liberal. Hal ini mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pelajaran paling penting dari Revolusi Perancis adalah bahwa ketidakadilan pajak dan hedonisme pejabat dapat menjadi pemicu revolusi yang menghancurkan. Ketika penguasa hidup dalam kemewahan sementara rakyat menderita, ketika sistem pajak hanya memberatkan golongan lemah sementara membebaskan golongan kuat, maka benih-benih revolusi akan tumbuh.
Pelajaran dari Revolusi Perancis masih sangat relevan dengan kondisi modern. Di berbagai negara, termasuk Indonesia, isu ketidakadilan pajak dan hedonisme pejabat masih menjadi persoalan yang sensitif. Ketika rakyat melihat pejabat hidup mewah dengan uang negara sementara mereka harus berjuang membayar pajak yang tinggi, maka kemarahan dan perlawanan akan muncul.
Teknologi modern membuat informasi tentang gaya hidup pejabat lebih mudah tersebar. Media sosial memungkinkan rakyat untuk mengetahui dengan cepat jika ada pejabat yang hidup berlebihan. Hal ini membuat para pemimpin harus lebih berhati-hati dalam mengelola citra publik mereka.
Sistem pajak yang adil dan transparan menjadi kunci untuk mencegah terjadinya revolusi atau perlawanan rakyat. Pemerintah harus memastikan bahwa beban pajak didistribusikan secara adil dan hasilnya digunakan untuk kepentingan publik, bukan untuk membiayai gaya hidup mewah para pejabat.
Revolusi Perancis mengajarkan bahwa kombinasi antara ketidakadilan pajak, hedonisme pejabat, dan krisis ekonomi dapat menciptakan ledakan sosial yang dahsyat. Marie Antoinette dan Louis XVI menjadi contoh bagaimana gaya hidup hedonis penguasa di tengah penderitaan rakyat dapat berujung pada kehancuran total.
Bagi para pemimpin modern, Revolusi Perancis memberikan peringatan yang jelas: rakyat memiliki batas kesabaran. Ketika kesabaran itu habis, tidak ada kekuatan yang dapat menahan gelombang perubahan. Oleh karena itu, keadilan dalam sistem pajak dan kehidupan yang sederhana dari para pemimpin bukan hanya masalah moral, tetapi juga masalah kelangsungan hidup politik.
Sejarah telah membuktikan bahwa penguasa yang arogan dan hedonis akan menghadapi nasib yang sama dengan Marie Antoinette. Tidak ada tahta yang cukup tinggi untuk menyelamatkan mereka dari murka rakyat yang telah tertindas terlalu lama.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
