Mengurai Kasus Maraknya Perundungan
Kolom | 2025-08-24 09:50:25
Pada 23 Juli 2025, viral video yang memperlihatkan seorang remaja di Bondowoso mengalami penganiayaan di tengah sawah Desa Pengarang, Kecamatan Jambesari Darus Sholah. Remaja menjadi korban pukulan dan tendangan dari dua pelaku, sementara teman-temannya hanya menyaksikan tanpa berbuat apa-apa. Dalam pengembangan kasus, polisi menetapkan enam tersangka. Lima di antaranya masih anak di bawah umur. Mereka mengaku melakukan perundungan karena merasa kesal pada korban. (news.okezone.com, 28-7-2025)
Belum genap sebulan, pada tanggal 22 Agustus 2025, Bondowoso kembali digegerkan kasus perundungan yang berakhir dengan penusukan. Peristiwa terjadi di sebuah SMP Negeri saat jam sekolah berlangsung. Dari laporan terungkap bahwa korban kerap merundung pelaku yang seorang anak yatim. (radarjember.jawapos.com, 22-8-2025)
Mengurai Kasus Perundungan, Mengapa Makin Marak?
Kasus perundungan (bullying) makin sering terjadi. Jika dulu pelakunya remaja, kini anak-anak usia sekolah dan sekolah menengah pertama pun melakukannya. Jika awalnya perundungan sebatas verbal, kini sudah mulai main kasar, bahkan membahayakan jiwa pihak yang dirundung.
Aksi ini kerap berujung fatal, dari luka fisik hingga trauma psikis mendalam. Untuk kasus perundungan di sekolah, Kemendikbud telah berinisiatif membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Peraturan ini menjadi payung hukum yang mengatur secara detail mengenai definisi kekerasan, bentuk-bentuk kekerasan, mekanisme pencegahan, dan prosedur penanganan, serta pembentukan TPPK dan Satuan Tugas (Satgas) di tingkat daerah. Di tiap sekolah, TPPK selalu ada, tetapi efektivitasnya belum teruji.
Di sisi lain, orang tua pun tidak henti-henti mengingatkan anak untuk tidak merundung temannya baik verbal maupun fisik. Mengingatkan anak tentang hal-hal apa saja yang harus dilakukan bila dirundung temannya. Namun, tidak sedikit orang tua yang melalaikan kewajiban-kewajiban untuk menasihati anak-anaknya, terutama anak-anak dari keluarga broken home atau orang tua yang sangat sibuk.
Selain itu, derasnya arus informasi digital yang tak terbendung juga berkontribusi pada maraknya perundungan. Akan tetapi, itu semua hanyalah dampak, bukan akar masalah.
Mencari Akar Masalah di Balik Perundungan
Dari paparan di atas, tampak bahwa persoalan ini bersifat sistemis. Akar masalahnya terletak pada sistem sekuler yang mendominasi hidup kita. Sekularisme dengan sengaja menghilangkan peran agama dalam kehidupan sehari-hari. Dampaknya, manusia hidup serba bebas baik dalam berbicara maupun berperilaku.
Kebebasan hidup inilah yang diusung, bahkan hingga tataran sekolah. Dampaknya, sekolah yang seharusnya menjadi tempat pembinaan generasi, tak mampu melahirkan anak berkepribadian kuat. Kurikulum sekuler yang minim muatan spiritual melahirkan siswa yang rapuh, mudah terjerumus pada perilaku menyimpang, termasuk perundungan.
Sistem kapitalisme juga membuat orang tua sibuk mencari nafkah sampai lupa mendampingi anak. Internet yang seharusnya menjadi alat bantu, malah memberi pengaruh buruk karena tidak ada filter agama. Kontrol sosial pun lemah karena masyarakat lebih mementingkan urusan individu mereka sendiri.
Ditambah lagi, kebijakan penguasa yang permisif terhadap budaya liberal menjadikan agama makin tersisih dari ruang publik. Jelas sudah bahwa sistem inilah yang memicu suburnya perundungan.
Islam Menyolusi Tuntas Perundungan
Berbeda dengan sistem sekuler, Islam memandang persoalan anak bukan hanya tanggung jawab keluarga dan sekolah. Negara juga memiliki peran besar untuk mencetak generasi tangguh berkepribadian Islam. Upaya pencegahan dan solusi perundungan hanya akan terwujud dengan tiga pilar berikut:
Pertama, ketakwaan individu dan keluarga. Setiap muslim wajib terikat dengan syariat dalam seluruh aktivitas. Keluarga pun harus menerapkan aturan Islam di dalam rumah. Dari sinilah terbentuk benteng moral anak.
Kedua, kontrol masyarakat. Lingkungan sosial dengan atmosfer keimanan yang kuat, akan menciptakan masyarakat yang peduli dengan penerapan syariat Islam. Amar makruf nahi mungkar menjadi napas dalam keseharian. Masyarakat ini akan serta-merta mencegah perilaku menyimpang sejak dini.
Ketiga, peran negara. Negara Islam akan menegakkan aturan Islam secara Kaffah. Sistem pendidikan Islam akan membentuk generasi yang cemerlang dan berkepribadian Islam. Negara juga akan menutup akses terhadap segala hal yang dapat memicu perundungan mulai dari narkoba dan minuman keras yang merusak akal hingga tayangan dan konten digital yang meracuni akidah dan akhlak anak.
Akan tetapi, jika tetap ada yang merundung dan ia belum baligh, maka ia tidak terkena sanksi pidana syariat. Mereka diberi edukasi dan diarahkan, sementara walinya bisa dimintai tanggung jawab jika lalai. Adapun jika sudah baligh, pelaku perundungan bisa dikenai sanksi sesuai syariat, misalnya diat jika melukai fisik orang lain. Mekanisme ini memastikan keadilan sekaligus mendidik, bukan sekadar menghukum buta.
Sejarah Islam juga mencatat bagaimana Rasulullah saw. menindak tegas perilaku merendahkan sesama. Ketika Abu Dzar al-Ghifari mengejek Bilal bin Rabah dengan menyebut warna kulitnya, Rasulullah saw. langsung menegurnya, “Sungguh dalam dirimu masih ada sifat jahiliah.” Abu Dzar pun menangis, menyesal, dan memohon maaf kepada Bilal. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Islam tidak memberi ruang sedikit pun pada perilaku merendahkan orang lain, apalagi perundungan.
Khatimah
Hingga kini, perundungan terus terjadi, bahkan makin brutal. Fakta ini menjadi bukti nyata bahwa sistem sekuler-kapitalisme telah gagal membentuk generasi berkepribadian mulia. Maka, kita tak boleh berhenti pada solusi tambal sulam. Harus ada perubahan mendasar dengan membuang sistem rusak ini dan menggantinya dengan sistem yang benar, yaitu Islam. Hanya dengan penerapan Islam secara Kaffah dalam naungan Khilafah, tiga pilar pencegahan perilaku kemaksiatan, yakni individu, masyarakat, dan negara bisa berjalan beriringan. Inilah solusi hakiki yang mampu melahirkan generasi tangguh, beradab, dan terhindar dari perundungan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
