Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ari J. Palawi

Seni di Era Gawai: Dari Layar Kecil Menuju Bahasa Peradaban

Humaniora | 2025-08-21 03:21:04
Fine Art Photography oleh Andi Irawan (2014) — dipublikasikan dengan izin.

Di zaman ketika gawai melekat pada hampir setiap genggaman, seni menjelma dalam rupa yang barangkali tak pernah dibayangkan oleh generasi sebelumnya. Ia tidak lagi sebatas lukisan yang terbingkai di galeri atau tarian yang anggun di panggung besar. Kini seni menyelinap dalam tarian singkat TikTok, dalam foto yang diolah dengan aplikasi ponsel, dalam musik yang direkam sederhana di kamar lalu menembus jutaan telinga di seluruh dunia. Generasi muda hidup di dalam arus ekspresi yang deras, di mana batas antara seni, hiburan, dan ekspresi personal semakin kabur. Pertanyaan pun mengemuka: apakah semua yang viral layak disebut seni, atau ia sekadar hiburan yang lahir sekejap lalu lenyap begitu saja?

Sebagian orang mungkin tergesa menyebut ini sebagai kemunduran: seni direduksi menjadi tren, nilainya diukur dengan like, share, dan algoritma. Namun bila kita menengok lebih jernih, fenomena ini juga membuka pintu baru. Seni tidak lagi milik segelintir yang punya akses ke ruang pamer dan panggung formal. Ia hadir dalam keseharian, bisa lahir dari siapa saja, kapan saja, tanpa harus menunggu restu institusi besar. Demokratisasi ini penting. Ia memberi tempat bagi suara yang lama tersisih, bagi ekspresi dari kampung, dari pinggir kota, dari ruang kecil yang sebelumnya tak tersentuh cahaya panggung.

Namun, setiap peluang selalu datang bersama ancaman. Dunia digital dengan segala kecepatannya cenderung mudah melupakan. Karya bisa tenggelam di bawah arus konten baru yang muncul setiap detik. Tradisi bisa terdistorsi, dipotong menjadi potongan tiga puluh detik demi mengejar atensi. Identitas budaya bisa menyusut menjadi sekadar ornamen visual. Di sinilah kesadaran kritis perlu ditanamkan: setiap unggahan bukanlah netral. Ia selalu politik representasi—menentukan siapa yang diangkat, siapa yang terhapus, siapa yang mendapat ruang bicara, siapa yang dibungkam oleh senyap. Seni, bahkan di layar sekecil ponsel, tetaplah medan perebutan makna.

Justru di sinilah seni memperlihatkan wataknya yang paling mendidik. Ia melatih manusia untuk berhadapan dengan ketidakpastian, bukan menghindarinya. Dari kegagalan lahir kemungkinan baru. Dari krisis lahir bentuk-bentuk yang tak terduga. Dari kebingungan lahir keberanian mencari bahasa lain. Maka seni digital, bila disikapi dengan benar, bukan hanya hiburan. Ia adalah ruang belajar intelektual sekaligus moral. Ia melatih kepekaan: bagaimana merespons perubahan. Ia mengasah refleksi: bagaimana memilah mana yang layak diingat. Ia menumbuhkan etika: bagaimana menghargai hak cipta, bagaimana memberi kredit, bagaimana berbagi pengetahuan tanpa merampas.

Bagi Indonesia, tantangan ini lebih rumit sekaligus lebih menjanjikan. Kita adalah bangsa dengan warisan budaya yang kaya: musik etnik, tari tradisi, puisi lisan, rupa lokal. Namun kita juga berada di tengah arus global digital yang tak mengenal batas. Jika tradisi hanya dipamerkan sebagai tontonan eksotis untuk memuaskan rasa ingin tahu luar negeri, ia berisiko kehilangan ruhnya. Tetapi jika kita berani menempatkan tradisi dalam dialog dengan teknologi, melibatkan komunitas asal sebagai subjek, maka tradisi akan menemukan kehidupan baru. Ia tidak lagi hanya kenangan, melainkan bahasa yang relevan untuk masa depan.

Maka yang mendesak kini bukanlah menolak seni digital, melainkan menata cara kita memanfaatkannya. Pendidikan seni harus berani memasukkan praktik digital sebagai ruang belajar sejajar dengan seni klasik. Editing foto, produksi musik rumahan, konten kreatif—semua itu bisa menjadi laboratorium serius bila diarahkan dengan refleksi dan etika. Arsip digital harus inklusif, memberi kendali kepada komunitas sumber agar martabat tetap terjaga. Dana kebudayaan mesti difokuskan bukan hanya pada proyek jangka pendek, melainkan pada kapasitas: pelatihan, mentoring, infrastruktur komunitas, etnografi berkelanjutan. Diplomasi budaya pun perlu menempatkan karya digital sebagai bagian dari instrumen strategis, asalkan keberakarannya tetap dijaga agar tak jatuh sekadar sebagai etalase.

Pada akhirnya, seni digital bukan sekadar soal viral atau tidak viral. Ia adalah cermin keberanian generasi ini untuk menjawab dunia yang cair dan berubah cepat. Dari layar kecil, kita belajar bahwa kepastian bukanlah syarat untuk berkarya. Justru dalam keraguan, manusia menemukan ruang imajinasi. Dalam keterbatasan, lahirlah inovasi. Dalam ketidakpastian, terbuka jalan menuju bahasa-bahasa baru.

Optimisme yang lahir dari seni ini bukanlah euforia kosong. Ia bukan sekadar kegembiraan sesaat karena konten yang ramai ditonton. Ia adalah keyakinan yang tumbuh dari kerja kolektif: dari komunitas yang merawat tradisi, dari akademisi yang meneguhkan integritas pengetahuan, dari generasi muda yang berani bereksperimen, dari institusi yang berani menata kebijakan dengan adil.

Seni di era gawai pada akhirnya adalah cahaya kecil yang mampu menuntun kita ke arah yang lebih luas. Ia bukan hanya milik individu pencipta, melainkan milik masyarakat yang bersedia tumbuh bersama. Dari layar mungil di genggaman, bisa lahir jendela besar menuju peradaban yang lebih adil, lebih manusiawi, lebih menyenangkan. Dan di sanalah letak martabat sejati seni: bukan pada kilauan sekejap, tetapi pada daya hidupnya yang mengubah cara kita melihat, memahami, dan menata dunia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image