Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Radityo Satrio

Catatan Seorang Anak Gerakan di Tengah Arus Apatisme

Politik | 2025-08-13 03:16:10
Radityo Satrio, Mahasiswa Universitas Saintek Muhammadiyah

Belakangan ini, ruang publik terasa semakin sunyi dari perdebatan substansial. Di kafe-kafe mahasiswa, topik yang dominan bukan lagi politik atau kebijakan publik, melainkan promosi minuman dan rencana liburan. Sementara di dunia maya, isu-isu besar negara sekadar lewat di linimasa, tanpa jejak diskusi berarti.

Fenomena ini kontras dengan yang saya alami beberapa tahun lalu. Sebagai anak gerakan, saya tumbuh dalam kultur yang meyakini bahwa suara publik adalah penggerak sejarah. Di kampus, suara lantang di forum mahasiswa menjadi tanda kepedulian, bukan gangguan. Aksi di jalanan adalah wujud paling nyata dari keberanian, meski risiko dan tekanan selalu mengintai.

Kini, wajah gerakan mahasiswa tidak seramai dulu. Banyak yang memilih diam, bukan karena tidak paham isu, melainkan karena merasa tak ada yang bisa diubah. “Ngomong juga percuma,” begitu komentar yang kerap saya dengar. Ini adalah bentuk apatisme yang lebih berbahaya: sikap menyerah sebelum mencoba.

Padahal, sejarah bangsa ini membuktikan bahwa perubahan lahir dari kegigihan kelompok kecil yang menolak diam. Dari reformasi 1998 hingga berbagai advokasi kebijakan lokal, semua berawal dari orang-orang yang percaya bahwa suara, sekecil apa pun, punya arti.

Apatisme memberi ruang kosong bagi kekuasaan untuk melangkah tanpa kendali. Ketika publik berhenti mengawasi, kebijakan yang merugikan dapat melenggang tanpa perlawanan. Dalam situasi seperti ini, sikap kritis dan keberanian untuk bersuara adalah pagar terakhir demokrasi.

Perlawanan tidak selalu berarti turun ke jalan. Ia bisa berbentuk tulisan yang mengungkap fakta, diskusi terbuka di komunitas, atau keterlibatan aktif dalam mengawasi kebijakan. Yang terpenting adalah memastikan hati dan pikiran kita tetap peka.

Sebagai anak gerakan, saya percaya bahwa diam adalah kemewahan yang tidak kita miliki. Apatisme mungkin terasa nyaman, tapi ia adalah jalan sunyi menuju ketidakadilan yang lebih dalam. Saat generasi muda memilih untuk peduli, meski hanya lewat langkah kecil, maka peluang perubahan tetap hidup.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image