Muhammadiyah dan Perubahan Sosial: Teladan Islam Berkemajuan
Agama | 2025-09-12 00:39:18
Muhammadiyah sering disebut sebagai organisasi Islam modernis terbesar kedua di Indonesia. Tetapi bagi saya, sebutan itu belum cukup menangkap peran sesungguhnya. Di banyak tempat, Muhammadiyah hadir bukan sekadar lembaga keagamaan, melainkan denyut perubahan sosial. Saya pertama kali merasakannya di sebuah sekolah Muhammadiyah di kampung. Di sana para guru tidak hanya mengajarkan ayat dan hadis, tetapi juga cara mengelola sampah, pentingnya sains, dan etika bermasyarakat. Dari pertemuan sederhana itu saya paham: gerakan ini tidak pernah memisahkan ibadah dari kerja sosial.
Didirikan pada 18 November 1912 oleh KH Ahmad Dahlan, Muhammadiyah lahir di tengah kolonialisme Belanda dan arus modernitas yang membingungkan. Banyak kelompok kala itu terjebak antara menolak Barat atau meniru tanpa kritik. Ahmad Dahlan menempuh jalan berbeda: memurnikan akidah sembari membuka diri pada ilmu pengetahuan. Ia mendirikan sekolah dengan kurikulum ganda ilmu agama dan ilmu umum, suatu langkah revolusioner untuk masa itu. Dari sinilah spirit tajdid (pembaruan) yang menjadi DNA Muhammadiyah lahir.
Seratus tahun kemudian, gagasan itu menjelma dalam ribuan sekolah, ratusan perguruan tinggi, rumah sakit, panti asuhan, dan lembaga sosial. Muhammadiyah memandang pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, melainkan proses membentuk kesadaran kritis. Di banyak kampus Muhammadiyah kini tumbuh riset energi terbarukan, teknologi digital, dan kesehatan masyarakat. Perpaduan agama dan sains bukan slogan, melainkan kenyataan yang mengubah wajah bangsa.
Dakwah sosial Muhammadiyah juga hadir melalui kerja kemanusiaan. Jaringan rumah sakit mereka melayani semua golongan tanpa pandang agama. Relawan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) selalu sigap di lokasi bencana dari gempa Palu, letusan Merapi, hingga bantuan internasional ke Palestina dan Turki. Inilah dakwah bil-hal: ajaran yang diwujudkan dalam aksi nyata, bukan sekadar ceramah.
Namun, tantangan baru muncul. Globalisasi dan disrupsi digital menghadirkan polarisasi, hoaks, hingga krisis lingkungan. Generasi muda Muhammadiyah menghadapi arus informasi yang deras, sementara bumi menuntut kepedulian ekologis lebih serius. Godaan politik praktis juga mengintai, dan bila tidak dikelola bisa merusak idealisme.
Di sinilah pentingnya literasi digital, penguatan etika lingkungan, dan tata kelola organisasi yang transparan. Sekolah dan kampus Muhammadiyah perlu menanamkan kemampuan memilah informasi serta semangat menjaga bumi sebagai bagian dari amanah khalifah. Di bidang organisasi, akuntabilitas menjadi kunci agar ribuan amal usaha tetap dipercaya publik.
Peran global Muhammadiyah pun semakin terasa. Dialog lintas agama, program pertukaran pelajar, dan keterlibatan dalam diplomasi kemanusiaan menunjukkan bahwa Islam berkemajuan dapat melintasi batas negara. Muhammadiyah menjadi contoh bahwa nilai rahmatan lil ‘alamin bukan retorika, tetapi kebijakan nyata.
Bagi bangsa Indonesia, keberadaan Muhammadiyah memberi pelajaran berharga: agama tidak menghambat kemajuan, justru mendorong inovasi. Ketika sebagian kelompok sibuk menegakkan sekat identitas, Muhammadiyah menunjukkan wajah Islam yang inklusif, cerdas, dan berorientasi kesejahteraan. Prinsip keikhlasan, musyawarah, dan pelayanan kepada sesama adalah fondasi moral yang membuat organisasi ini bertahan lebih dari seabad.
Ke depan, pekerjaan rumah tentu masih panjang. Generasi muda harus disiapkan agar tidak hanya cakap teknologi, tetapi juga peka terhadap keadilan sosial. Pendidikan Muhammadiyah perlu terus menekankan riset, inovasi, dan etika digital. Jaringan kesehatan dan lembaga sosialnya harus memperkuat akses bagi kelompok paling rentan dari warga miskin kota hingga penduduk pulau terluar.
Seratus tahun perjalanan Muhammadiyah adalah bukti bahwa perubahan sosial menuntut kesabaran dan konsistensi. Selama prinsip Islam berkemajuan dijaga memurnikan tauhid, menegakkan keadilan sosial, dan memajukan ilmu Muhammadiyah akan terus menjadi mercusuar harapan. Bukan hanya bagi umat Islam, tetapi bagi seluruh rakyat Indonesia yang mendambakan peradaban berkeadilan dan berkeadaban.
Oleh: Radityo Satrio, Mahasiswa Universitas Saintek Muhammadiyah
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
