Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Juni Arta Sari

Konflik Rempang: Ujian Keadilan dalam Pembangunan Nasional

Info Terkini | 2025-08-06 13:12:06

Proyek Rempang Eco City—yang masuk daftar Proyek Strategis Nasional—menawarkan harapan investasi besar, pelabuhan berkelas dunia, dan pemukiman modern. Namun, pertarungan antara kewenangan Badan Pengusahaan (BP) Batam dan hak-hak masyarakat adat terus menimbulkan kegaduhan.

Sejak Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 menetapkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) bagi Otorita Batam, Pulau Rempang resmi menjadi area bebas klaim. Padahal, Kampung Tua telah berdiri lebih dari satu abad, dengan generasi turun-temurun menggantungkan hidup pada hasil laut dan kebun kelapa. Upaya Pemerintah Kota Batam melalui Keputusan Wali Kota 2004 untuk mengecualikan Kampung Tua dari HPL tidak sepenuhnya terealisasi—peta tata ruang dan kenyataan sosial berjalan di jalur berbeda.

Di sebuah ruang pertemuan desa sederhana, Ketua RT Sulaiman Jaya menolak gagasan penggusuran. Ia menegaskan bahwa skema penggantian hak milik dengan Hak Guna Bangunan (HGB) terkesan seperti sewa panjang yang mengabaikan keberlanjutan budaya. “Kami tak menolak pembangunan,” ujarnya, “tapi kami menolak bila kemajuan itu merenggut hak hidup dan sejarah kami.” Ketakutan ini memuncak ketika BP Batam mulai membuka tender pengembangan kawasan Sembulang, zona yang paling banyak menimbulkan resistensi.

Pemerintah sempat meredam gejolak dengan menunda investasi di Sembulang, sesuai arahan Menteri Transmigrasi. Kendati demikian, keputusan penundaan tersebut hanya mengendurkan ketegangan sesaat. Tanpa kejelasan status hukum atas lahan warga dan peran serta masyarakat dalam desain pembangunan, kebimbangan publik justru mengendap dan berisiko meledak kembali.

Untuk menenun solusi yang berkeadilan, dimulai dengan audit tanah dan pemetaan sosial partisipatif. Verifikasi legalitas setiap petak tanah perlu melibatkan warga, akademisi, serta lembaga independen, sehingga fakta historis dan dokumen administrasi dapat dipertemukan. Sementara itu, regulasi harus disempurnakan dengan mencabut Kampung Tua dari area HPL dan menerbitkan kepastian hak milik resmi. Sebagai opsi tambahan, menjadikan Kampung Tua sebagai kawasan cagar budaya akan memberi payung perlindungan ganda bagi warisan masyarakat setempat.

Agar manfaat pembangunan dirasakan langsung oleh warga, skema kemitraan perlu dirancang sedemikian rupa sehingga masyarakat lokal tidak hanya menjadi penerima kompensasi semata, melainkan rekan usaha. Koperasi desa atau saham masyarakat dalam proyek pariwisata dan ekonomi kreatif dapat membuka akses pendapatan baru tanpa mengabaikan nilai historis Pulau Rempang. Pendekatan semacam ini juga harus diimbangi dengan dialog terbuka yang difasilitasi tim mediasi independen, sehingga setiap kebijakan berbasis musyawarah dan keterbukaan.

Di atas semua itu, transparansi menjadi kunci. Peta rencana, anggaran, hingga mekanisme kompensasi wajib dipublikasikan dan diawasi oleh lembaga seperti Komnas HAM, Ombudsman, atau KPK. Hanya dengan akuntabilitas penuh, keraguan dan ketidakpercayaan publik dapat dipangkas.

Pulau Rempang bukan sekadar titik strategis di peta ekonomi nasional; ia adalah cerminan bagaimana sebuah bangsa menakar kemajuan dan keadilan. Jika suara penduduk adat didengar dan hak mereka dijaga, Rempang Eco City akan menjadi tonggak baru tata kelola pembangunan berkelanjutan. Namun, jika janji-janji tetap mengambang tanpa aksi nyata, pulau ini akan tercatat sebagai luka di peta moral nasional—sebuah ujian keadilan yang belum terjawab.

Referensi

 

  • https://www.kompas.id/artikel/memahami-kasus-pulau-rempang
  • https://news.detik.com/berita/d-8036277/mentrans-iftitah-penundaan-investasi-di-rempang-hanya-untuk-kawasan-sembulang

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image