Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dwi Nesa

Tipu-Tipu Mafia Beras, Konsumen Jadi Was-Was

Agama | 2025-07-25 01:55:02

Aksi tipu-tipu mafia beras baru-baru ini terungkap ke publik. Sontak membuat konsumen was-was dan merasa dirugikan karena selama ini mereka mengonsumsi beras yang tidak sesuai dengan yang tertera di kemasan.
Ada beras kemasan premium dan medium tapi isinya beras curah. Ada beras 5kg yang tertera di kemasan tapi isinya hanya 4,5kg. Ada pula beras yang harganya melebihi HET. Dari hasil investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) bersama Satgas Pangan, ditemukan 212 merek beras terbukti tidak memenuhi standar mutu.

Menurut Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, potensi kerugian konsumen dari praktik culas tersebut mencapai Rp 99,35 triliun per tahun. Diperkirakan hal itu sudah berlangsung selama 10 tahun. Ini bukan kali pertama adanya penipuan korporasi. Masih segar di ingatan ada minyakita yang isinya tak sesuai label. Ada juga pertamax oplosan. Terus berulang hal seperti ini. Negara seolah datang terlambat setelah gonjang-ganjing publik. Penegak hukum berusaha menjerat mafia. Namun nyatanya para pelaku tak ada rasa jera. Di sisi lain sistem pengawasan ada, tapi seolah tumpul tak berdaya. Lagi-lagi mafia nyaman beraksi, tak takut regulasi.

Tak ada langkah konkret yang menjadikan kecurangan serupa tak terulang. Sanksi berupa denda, pidana penjara, hingga penutupan usaha tak bisa menghentikan aksi culas korporasi. Sudahlah sanksinya lemah tak menjerakan, kongkalikong antara pejabat dan pengusaha marak terjadi. Sudah bukan rahasia hukum bisa dibeli.

Nampaknya sistem kapitalisme yang dipakai negeri ini tak mampu membabat mafia nakal. Justru sebaliknya, sistem ini menjadi rumah nyaman bagi orang-orang yang berwatak curang dan suka menipu. Negara setengah hati dalam membuat dan menjalankan regulasi. Rakyat tak terurus, yang penting pemasukan pajak mengalir terus.

Berbagai faktor tersebut berkelindan dengan absennya peran negara dalam masalah pangan terutama beras. Negara hanya menguasai pasokan beras tidak lebih dari 10% saja. Selebihnya dikuasai korporasi. Hal ini tentu menjadikan negara lemah dihadapan korporasi. Jika negara ingin menekan, korporasi bisa saja menarik berasnya dari pasaran sehingga pasokan beras kurang dan menjadi mahal. Belum lagi kekhawatiran negara jika ingin tegas terhadap korporasi, para investor akan enggan berinvestasi di dalam negeri.

Lagi-lagi rakyatlah yang menjadi pihak yang dirugikan. Rakyat harus mawas diri dalam membeli beras. Sayangnya rakyat yang mayoritas awam ini tak bisa membedakan mana beras yang benar-benar berkualitas dan mana oplosan. Selevel Kementerian Pertanian saja perlu uji laboratorium untuk memastikan beras oplosan atau bukan. Apakah rakyat juga harus ke Lab dulu tiap kali membeli beras? Tentu mustahil dilakukan.

Ini harusnya menjadi tugas negara memastikan rakyatnya bisa membeli bahan makanan pokok yang berkualitas, murah, dan terjangkau. Dalam sistem Islam negara wajib mengambil peran penuh dalam masalah pangan yang menjadi kebutuhan dasar tiap individu. Penguasa dalam sistem Islam adalah pengurus urusan masyarakat. Sabda Rasulullah saw, “Imam/khalifah itu laksana penggembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Negara harus memegang kendali terhadap produksi dan distribusi hingga memastikan tiap individu rakyat mampu mengakses beras. Termasuk menjaga kestabilan harga. Tidak malah menyerahkan pengelolaan beras dari hulu ke hilir kepada korporasi, hingga peran negara menjadi nihil.

Negara dengan sistem Islam juga harus melakukan tindakan preventif yaitu dengan membentuk kadi hisbah yang bertugas mengawasi proses mulai dari produksi hingga sampai ke padagang kecil. Kadi hisbah akan berkeliling dan mengawasi dengan sungguh-sungguh, bukan sesekali saja atau sekedar seremonial.

Jika terbukti ada kecurangan kadi hisbah akan memberi sanksi tegas saat itu juga. Tidak perlu menunggu proses peradilan yang alurnya panjang seperti peradilan dalam sistem saat ini. Sehingga membuka peluang terjadinya politik uang.
Dari temuan Kementan, beberapa mafia beras oplosan bahkan sudah mengakui telah melakukan kecurangan dengan motif keuntungan. Sesuai sistem Islam pelanggaran seperti ini harus langsung ditindak saat itu juga dengan kadar sanksi sesuai perbuatan dan kerugian yang ditimbulkan. Bisa berupa sanksi denda, penjara, cambuk hingga hukuman mati. Sanksi tersebut juga akan diumumkan ke publik, agar menimbulkan efek jera.

Di sisi lain, negara melalui sistem pendidikan Islam akan membentuk manusia yang bertakwa. Individu akan mempertimbangkan halal haram dari setiap perbuatan. Ketakutan kepada Allah swt ditanamkan sejak dini. Akidah yang kukuh menjadi landasan untuk taat terhadap syariat. Ini akan mencegah pengusaha berbuat curang dan menjadikan penguasa yang amanah.

Itulah solusi paripurna yang ditawarkan sistem Islam terhadap maraknya mafia beras. Individu yang bertakwa yang dibingkai sistem regulasi dan sanksi yang tegas akan mencegah praktik kecurangan terus berulang. Wallahualam bissawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image