Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Desi Sommaliagustina

Haruskah Saya Malu Jadi Dosen Hukum?

Kolom | 2025-07-19 18:05:38
Desi Sommaliagustina, Dosen Prodi Ilmu Hukum Universitas Dharma Andalas (Sumber: doc.pribadi)

Beberapa waktu terakhir, saya sering bertanya pada diri sendiri: haruskah saya malu menjadi dosen hukum di negeri ini? Pertanyaan itu tidak lahir dari keraguan akan profesi saya, tetapi dari rasa gundah menyaksikan realitas hukum yang carut-marut, praktik pendidikan yang sarat kepalsuan, dan para aktor hukum yang kian jauh dari etikanya.

Profesi dosen hukum seharusnya berada di garda depan menjaga moralitas konstitusi dan integritas negara hukum. Tapi hari ini, kita seolah hanya menjadi penonton dari panggung kekuasaan yang mengacak-acak aturan, mempermainkan hukum sebagai alat, dan menjadikan keadilan semata jargon.

Ketika hukum bisa dibeli, maka keadilan tinggal ilusi. Lihatlah para pejabat yang terang-terangan melanggar norma, melabrak konstitusi, atau menikmati jabatan ganda tanpa malu. Ketika Mahkamah Konstitusi tak lagi dihormati putusannya karena dianggap sarat pesanan, ketika rancangan undang-undang diproses secepat kilat tanpa partisipasi publik, ketika aparat hukum menjadi aktor kekerasan terhadap warga—di mana kita, para akademisi hukum, berada?

Haruskah kita terus bersembunyi di balik diktat, modul, dan seminar akademik yang tak bersentuhan dengan kenyataan? Bukankah kita mengajarkan keadilan sebagai tujuan hukum, tetapi diam ketika hukum dipakai sebagai tameng kekuasaan?

Saya malu bukan karena saya seorang dosen hukum. Saya malu karena dunia hukum kini dipenuhi oleh mereka yang mengenyam pendidikan hukum tapi mengkhianati maknanya. Ironisnya, sebagian besar dari mereka adalah alumni kampus-kampus hukum. Apakah ada yang salah dari pendidikan yang kita berikan?

Di ruang kelas, kita berbicara tentang keadilan, rule of law, prinsip due process of law. Tapi begitu keluar dari kampus, realitas menunjukkan bahwa semua itu seperti pelajaran kosong. Mahasiswa menjadi sinis, skeptis, bahkan apatis. Mereka melihat dosennya diam terhadap ketidakadilan sosial, takut bersuara terhadap kebijakan represif, dan sibuk mengejar sertifikasi atau proyek.

Saya pun sering bertanya pada kolega: apakah kita mendidik mahasiswa hukum untuk menjadi penegak keadilan, atau sekadar pencari kekuasaan? Apakah kampus kita adalah cermin nurani masyarakat, atau hanya panggung sandiwara akademik?

Hari ini, tak sedikit dosen hukum yang lebih sibuk mengejar jabatan struktural ketimbang mengembangkan kualitas keilmuannya. Bahkan tak jarang yang tergoda menjadi komisaris, staf khusus, bahkan tim sukses kekuasaan. Apa jadinya jika dosen hukum kehilangan otonomi berpikir dan keberanian moral?

Kekuasaan Merusak Nalar Hukum

Fenomena ini makin memprihatinkan ketika pemerintah justru memanfaatkan pendidikan tinggi hukum sebagai perpanjangan kekuasaan. Kurikulum disesuaikan dengan arah politik nasional, penelitian dikendalikan oleh proyek birokrasi, dan suara-suara kritis dibungkam dengan ancaman pemotongan anggaran.

Kebebasan akademik yang menjadi roh universitas mulai dikikis secara halus. Dalam konteks ini, menjadi dosen hukum bukan hanya soal penguasaan teori, tetapi tentang keberanian membela nilai-nilai konstitusi. Kalau kita diam, maka kita turut berkontribusi dalam membentuk generasi sarjana hukum yang akan kembali merusak sistem hukum ke depan.

Dalam banyak kasus, kita menyaksikan bagaimana aparat penegak hukum melakukan kekerasan terhadap mahasiswa, aktivis, atau masyarakat adat. Kita melihat penanganan hukum yang tebang pilih, di mana pelanggar HAM atau koruptor justru naik pangkat. Semua itu terjadi di bawah mata kita yang terlatih membaca norma, asas, dan pasal, tetapi perlahan menjadi buta karena kenyamanan dan kompromi.

Tidak sedikit dosen hukum yang mengajarkan prinsip-prinsip antikorupsi di kelas, namun tersandung proyek fiktif, honorarium fiktif, atau jual beli nilai. Yang mengajarkan etika hukum, tapi menjadi pembela oligarki dalam forum publik. Yang menyebut diri pengajar konstitusi, tapi diam ketika konstitusi dilecehkan.

Apakah gelar akademik kita hanya topeng? Jika ya, maka kita telah gagal. Tidak hanya gagal sebagai pendidik, tetapi juga sebagai manusia yang berakal sehat.

Saya pun melihat banyak kolega yang berprestasi di jurnal internasional, tetapi enggan menyuarakan keadilan dalam kasus hukum lokal. Kita lebih sibuk mengejar Scopus daripada membela rakyat kecil yang tertindas oleh ketidakadilan.

Bukan Malu, Tapi Bangkit

Saya menolak merasa malu sebagai dosen hukum. Sebaliknya, rasa malu itu harus menjadi cambuk untuk bangkit. Dunia hukum Indonesia hari ini butuh akademisi yang tidak hanya cerdas, tapi juga berani. Kita harus kembali menjadikan fakultas hukum sebagai rumah moral, bukan sekadar tempat mencetak penghafal pasal.

Menjadi dosen hukum hari ini adalah tugas berat: harus mengajar dengan integritas, bersuara dengan nurani, dan berdiri di atas kebenaran, meski sendirian. Kita tidak bisa hanya menyalahkan mahasiswa jika mereka tidak punya kepedulian terhadap isu-isu hukum. Mungkin mereka mencontoh dari dosennya.

Kita bisa mulai dari hal sederhana: mengajar dengan jujur, tidak memanipulasi nilai, tidak memperjualbelikan skripsi, tidak menjadikan seminar hanya sebagai formalitas. Mari hadirkan kembali mata kuliah etika hukum bukan hanya sebagai silabus, tapi sebagai sikap hidup.

Ya, sudah seharusnya kita membangun jaringan akademik yang kritis dan independen, mendukung mahasiswa yang vokal, dan tidak takut berbeda pendapat dengan kekuasaan. Sebab hukum yang sehat hanya mungkin tumbuh dari ruang akademik yang bebas dan bermoral.

Mari kembali menempatkan hukum di atas kepentingan, dan bukan sebaliknya. Jadikan fakultas hukum sebagai ruang pembebasan intelektual, bukan alat legitimasi kekuasaan. Karena kalau bukan kita yang menjaga marwah hukum, siapa lagi?

Haruskah saya malu jadi dosen hukum?

Tidak. Saya tidak malu. Tapi saya marah. Dan dari kemarahan itu, saya ingin mengajak semua dosen hukum untuk tidak diam. Sebab jika kita terus bungkam, maka suatu hari nanti, para korban ketidakadilan akan bertanya:

"Di mana dosen-dosen hukum ketika kami diperlakukan sewenang-wenang?"

Dan saat itu, kita tidak akan bisa menjawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image