Ketika Sekolah tak Lagi Aman: Lalu Siapa yang akan Melindungi Hak Anak di Sekolah?
Sekolah | 2025-12-15 15:48:32
Di tengah citra sekolah sebagai tempat pendidikan yang ramah dan aman, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Perundungan, kekerasan verbal, dan pembiaran terhadap pelanggaran hak anak masih terus terjadi. Jika sekolah gagal menjadi ruang perlindungan, maka kita patut bertanya, di mana posisi anak dalam sistem pendidikan kita saat ini?
Meskipun aturan mengenai perlindungan anak sudah tertulis dalam berbagai regulasi, namun pada praktiknya sering kali tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak sekolah terlalu fokus pada pencapaian akademik dan ketertiban disiplin, tetapi mengabaikan kebutuhan emosional dan psikologis peserta didik. Masalah ini bukan sekadar teknis, melainkan persoalan mendasar tentang cara kita memandang anak sebagai manusia yang harus dihormati atau sekadar objek yang dibentuk untuk mencapai standar tertentu.
Guru sebagai pendidik memiliki tanggung jawab moral yang besar. Namun dengan adanya beban administrasi yang menumpuk, tekanan dari pimpinan sekolah, dan budaya pendidikan yang cenderung kaku sering membuat perhatian guru teralihkan dari kebutuhan siswa. Perlakuan yang dianggap “sepele” seperti membentak, mempermalukan siswa di depan kelas, atau mengabaikan pendapat anak sebenarnya melukai perkembangan psikologis mereka. Teori humanistik menekankan bahwa rasa aman dan penghargaan terhadap diri adalah fondasi utama bagi tumbuh kembang anak, namun hal ini justru kerap diabaikan. Fenomena bullying juga sering terjadi tanpa penanganan yang memadai. Tidak jarang, lingkungan sekolah memilih diam atau bahkan menyalahkan korban. Ketika pembiaran menjadi budaya, kekerasan pun dianggap hal yang wajar.
Dalam kerangka teori humanistik ini, peran dan tugas guru menjadi sangat penting dalam kekerasan anak di sekolah. Guru bukan hanya sekadar penyampai materi pelajaran, tetapi figur utama yang bertanggung jawab menciptakan ruang belajar yang aman dan menghargai martabat anak. Prinsip humanistik menuntut guru untuk hadir sebagai fasilitator yang empatik, bukan hnaya sebagai otoritas yang menekan anak. Hal ini juga sejalan dengan Kode Etik Guru Indonesia, yang mewajibkan guru untuk melindungi siswa dari segala bentuk kekerasan fisik maupun verbal, menjaga kehormatan peserta didik, serta membangun hubungan pendidikan yang manusiawi.
Ketika guru membentak, mempermalukan, atau membiarkan bullying, guru tidak hanya mengabaikan teori yang menjadi dasar praktik pendidikan, tetapi juga melanggar etika profesi dan tugas moral mereka sebagai pelindung anak. Situasi ini menunjukkan bahwa sistem perlindungan internal sekolah belum berjalan sebagaimana mestinya. Mekanisme pelaporan yang tidak jelas, kurangnya pendampingan psikologis, serta tata tertib yang lebih menitikberatkan hukuman dibanding pencegahan semakin memperburuk keadaan.
Di sisi lain, kolaborasi antara sekolah dan orang tua pun masih sering tersendat. Banyak keluarga ragu untuk melaporkan masalah karena takut dianggap menjelekkan nama sekolah. Padahal keterbukaan dan kerja sama justru menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan yang benar-benar aman bagi anak. Jika sekolah menuntut siswa untuk patuh dan disiplin, maka sekolah juga harus konsisten dalam melindungi hak anak. Ketidakadilan sistemik ini tidak boleh lagi dibiarkan. Perlindungan anak harus dihayati sebagai prinsip, bukan formalitas.
Perlindungan hak anak juga tidak cukup diwujudkan melalui poster anti-bullying atau slogan semata. Dibutuhkan juga sebuah aksi nyata seperti perubahan sikap, mekanisme yang jelas, keberanian guru untuk bertindak, serta komitmen sekolah untuk membangun budaya yang menghargai anak sebagai pribadi. Ketika guru dan sekolah berani melakukan tindakan dalam kekerasan pada anak, pendidikan baru dapat disebut memanusiakan manusia jika setiap anak merasa aman sejak pertama kali melangkahkan kakinya ke sekolah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
