Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rosanto dwi

Tarif Trump 32 Persen: Diplomasi Ekonomi Kita Dipertanyakan

Kebijakan | 2025-07-13 10:40:36

Oleh Prof. Rossanto Dwi HandoyoGuru Besar Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

Ilustrasi Ekspor dan Impor Indonesia (sumber : https://money.kompas.com/image/2021/11/12/172620526/indonesia-ekspor-15-ton-produk-perikanan-dan-pertanian-ke-jepang )

Amerika Serikat kembali menunjukkan wajah proteksionismenya. Dalam sebuah surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto pada awal Juli 2025, Donald Trump menyampaikan rencana penerapan tarif tunggal sebesar 32 persen terhadap seluruh produk ekspor asal Indonesia ke pasar AS. Kebijakan ini akan efektif per 1 Agustus 2025.

Tak hanya mengejutkan, langkah ini sekaligus menjadi sinyal kemunduran besar dalam arsitektur perdagangan global. Indonesia sebagai negara mitra dagang yang selama ini “patuh” pun tak luput dari kebijakan keras Trump. Ini bukan semata soal angka tarif, tapi tentang bagaimana arah diplomasi ekonomi Indonesia harus ditata ulang secara lebih tegas, cerdas, dan berdaulat.

Ketika Dunia Berbalik Arah

Sejak era pasca-perang dunia kedua, liberalisasi perdagangan menjadi fondasi utama pertumbuhan global. Amerika Serikat, sebagai arsitek utama tatanan itu, konsisten menyerukan penghapusan hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, demi efisiensi ekonomi global. Namun kini, dunia seperti berputar arah.

Trump, dalam berbagai kebijakannya sejak menjabat kembali, justru menyeret dunia menuju fase baru proteksionisme. Penerapan tarif 32 persen bukan hanya soal keuntungan dagang, tapi bagian dari logika merkantilisme klasik: bahwa perdagangan adalah permainan zero-sum game. Negara yang mengekspor diuntungkan, dan negara pengimpor dirugikan.

Logika ini berlawanan total dengan semangat perdagangan bebas. Di sini, nilai teori ekonomi klasik seperti efisiensi, produktivitas, dan daya saing dikerdilkan demi kepentingan politik dalam negeri. Bahkan, Trump tak menyediakan alasan ekonomi rasional atas kebijakannya. Apa yang kita saksikan adalah pendekatan unilateralisme kasar yang menyudutkan negara-negara mitra, termasuk Indonesia.

Ketergantungan dan Harga Diri Bangsa

Selama ini, struktur ekspor Indonesia masih sangat bergantung pada segelintir negara. Sekitar 60-70 persen nilai ekspor Indonesia hanya bergantung pada 10–15 negara, dengan Amerika Serikat sebagai salah satu pasar utama. Artinya, setiap perubahan kebijakan dari negara tersebut akan secara langsung memukul stabilitas perdagangan nasional.

Ketergantungan semacam ini seharusnya menjadi alarm. Namun yang lebih menyakitkan ialah bagaimana respons Indonesia. Ketika Vietnam berhasil menegosiasikan penyesuaian tarif, Indonesia justru terkesan pasrah. Pemerintah bahkan menawarkan pembelian pesawat Boeing, produk pertanian, dan energi dari AS sebagai kompensasi. Strategi ini tak hanya gagal secara substansi, tapi juga merendahkan posisi tawar Indonesia.

Diplomasi ekonomi bukanlah ajang pengorbanan harga diri. Ia seharusnya menjadi alat memperkuat kedaulatan ekonomi dan martabat bangsa. Ketika diplomasi kita justru memperlihatkan ketundukan, itu pertanda bahwa Indonesia perlu membenahi kembali pendekatan strategisnya dalam hubungan dagang internasional.

Saatnya Diversifikasi dan Reposisi Ekspor

Indonesia harus menjadikan momentum ini sebagai titik balik. Pertama, diversifikasi pasar ekspor mutlak diperlukan. Kita tak bisa terus berharap pada pasar besar seperti AS, apalagi ketika negara tersebut menunjukkan sikap tidak konsisten. Kemitraan baru harus dijajaki, terutama dengan negara-negara BRICS dan kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tinggi seperti Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Latin.

Perjanjian dagang regional seperti RCEP juga perlu dimanfaatkan secara optimal. Dengan tarif nyaris nol persen antaranggota, Indonesia punya peluang besar untuk mengekspor produk ke kawasan Asia-Pasifik tanpa kendala berarti. Sayangnya, sejauh ini pemanfaatannya belum maksimal. Ekspor ke negara mitra seperti Chile, misalnya, masih sangat terbatas meski perjanjian bebas tarif telah berjalan.

Kedua, diversifikasi produk ekspor juga penting. Sekitar 60–70 persen produk ekspor Indonesia masih berbasis sumber daya alam dan tenaga kerja murah. Ini membuat posisi kita lemah dan mudah tergantikan oleh negara lain. Pemerintah perlu mendorong transformasi struktural menuju produk bernilai tambah tinggi, berbasis teknologi dan inovasi.

Sektor industri semi-high-tech dan high-tech, seperti elektronika, alat kesehatan, dan otomotif, harus mulai difasilitasi secara serius. Begitu pula sektor jasa seperti pariwisata, pendidikan, dan layanan digital, yang masih menyimpan potensi besar tetapi belum digarap optimal.

Peran Strategis GPN dan Jasa Domestik

Salah satu aspek yang kerap terabaikan adalah sektor jasa. Padahal, defisit perdagangan jasa Indonesia cukup besar, terutama karena dominasi layanan keuangan asing seperti Visa dan Mastercard. Setiap transaksi melalui dua sistem ini berarti devisa mengalir ke luar negeri.

Pemerintah perlu menggenjot penggunaan sistem pembayaran domestik seperti GPN (Gerbang Pembayaran Nasional), serta memperkuat layanan jasa dalam negeri lainnya. Ini bukan hanya soal efisiensi, tapi bagian dari strategi mengurangi ketergantungan ekonomi dan menjaga aliran devisa.

Menatap ke Depan dengan Percaya Diri

Tarif 32 persen dari AS seharusnya menjadi tamparan menyakitkan yang membangunkan kesadaran kolektif kita. Bahwa selama ini, kita terlalu lama bertumpu pada kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh negara maju, tanpa menyiapkan skenario mandiri jangka panjang.

Kini saatnya Indonesia berhenti menjadi pengemis dalam percaturan ekonomi global. Kita harus berani mengambil sikap, menata ulang arah diplomasi ekonomi, serta membangun kemandirian dan kekuatan dalam negeri. Jika kita gagal menjadikan momen ini sebagai pelajaran, maka setiap langkah diplomasi akan selalu dibayangi subordinasi dan kehilangan harga diri.

Bangsa yang besar bukan hanya yang mampu menjual barang ke luar negeri. Tapi juga yang mampu menjaga kehormatan nasional, berdiplomasi tanpa merendah, dan mandiri dalam menentukan arah masa depan ekonominya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image