Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Masaatul Munirah

Tuhan di Hati atau FYP di Pikiran?

Agama | 2025-07-10 12:03:46

Belakangan ini, pengamalan agama menjadi bagian dari lanskap media sosial. Mulai dari konten dakwah singkat, outfit bernuansa syar’I, hingga tren “hijrah” yang dibingkai estetik. Semua tampak religius, bahkan menginspirasi. Namun dibalik fenomena itu, muncul pertanyaan yang tak kalah penting, apakah ketaatan yang dipertontonkan benar lahir dari kesadaran spiritual, atau sekedar bentuk adaptasi terhadap ekspetasi sosial digital? Kita hidup dizaman dimana nilai-nilai agama bisa viral, tetapi juga bisa kehilangan makna terdalamnya karena terjebak dalam pencitraan.

sumber foto: chat GPT

Tumbuh dalam era visual, generasi hari ini mengalami pergeseran cara beragama: bukan lagi hanya soal keyakinan dan ibadah, tapi juga soal tampilan. Ketaatan menjadi sesuatu yang bisa diukur dari unggahan, caption Islami, atau jumlah viewers pada konten dakwah. Fenomena ini tidak selalu buruk sebab dakwah bisa menjangkau lebih luas namun ada konsekuensi yang perlu dicermati hadirnya tekanan sosial religius, seseorang bisa merasa harus tampil Islami bukan karena kesadaran spiritual, melainkan karena takut dihakimi atau ingin diterima dalam komunitas religius yang sedang populer.

Disinilah letak kegelisahan kita, apakah hukum Islam sedang dijalankan dengan pemahaman yang matang, atau sekedar menjadi simbol identitas di ruang publik? Ketika taat dijalani untuk memenuhi standar sosial, bukan karena panggilan hati, maka hukum agama rentan kehilangan daya ubahnya yang sejati. Syariat tidak lagi membentuk karakter dan jiwa, tapi hanya menjadi “atribut luar” yang bisa dilepas pakai sesuai trend, inilah bentuk ketaatan semu-patuh secara perilaku, tapi kosong secara makna.

Padahal dalam Islam, taat itu bukan hanya perkara menjalankan kewajiban, melainkan bagaimana ibadah itu membentuk hati dan tindakan kata. Ketika shalat tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, atau ketika menutup aurat tidak diiringi dengan akhlak yang baik, maka niat ketaatan itu patut dipertanyakan. Jangan-jangan kita hanya menjalankan hukum Islam sebagai formalitas sosial semacam “seragam kebaikan” agar diterima dalam ingkungan tertentu, bukan karena kesadaran sebagai hamba.

Islam sendiri tidak lahir untuk menjadi tontonan. Ia adalah ajaran yang menuntun, bukan sekedar ditampilkan. Bahkan Rasulullah pun, dalam banyak riwayat, lebih dikenal karena akhlaknya ketimbang pakaian atau tampilan. Dalam surah Al-Baqarah ayat 2 disebutkan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi otang-orang yang bertakwa, bukan alat pembeda antara siapa yang lebih suci dan siapa yang layak dicela.

Hukum Islam, pada dasarnya, bukan sekedar kumpulan aturan formalistik. Ia lahir dari prinsip maqashid syariah tujuan-tujuan agung yang menjamin keadilan, perlindungan, dan kesejahteraan hidup. Maka, taat kepada syariat seharusnya berdampak pada kepribadian: menumbuhkan kejujuran, empati, keteguhan moral, dan kesadaran sosial. Jika hasilnya justru berupa arogansi spiritual atau perang komentar soal siapa paling syar’I, maka kita perlu bertanya kembali, apakah hukum itu benar-benar sedang bekerja?

Lebih jauh, kita perlu menyadari bahwa trend religius yang viral kerap menyisakan sisi gelap, tekanan psikologis. Banyak yang akhirnya merasa gagal menjadi “muslim baik” karena tidak bisa menampilkan ketaatan yang sama dengan orang-orang di internet. Lupa bahwa setiap orang punya proses spiritual yang berbeda. Agama seharusnya membuka ruang untuk bertumbuh, bukan menjadi standar eksklusif yang justru menyakiti mereka yang sedang mencari jalan pulang.

Kecenderungan untuk “beragama demi penonton” bukan hanya masalah personal, tetapi juga cerminan kegagalan kolektif kita dalam membentuk ruang religius yang sehat. Kita sering menciptakan atmosfer yang menghakimi, alih-alih mendidik. Kita menuntut taat dengan standar yang kaku, tetapi lupa memfasilitasi proses pemahaman yang utuh. Padahal, tidak semua orang punya latar belakang keilmuan atau pengalaman spiritual yang sama. Agama yang seharusnya menuduhkan, justru berubah menjadi sumber tekanan sosial.

Sayangnya, tidak sedikit dari kita yang lupa bahwa keikhlasan adalah inti dari setiap amal. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa :

"إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى"

“sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya.”

Artinya sehebat apapun tampilan luar, jika tidak disertai dengan niat yang lurus, maka tidak bernilai disisi Allah. Niat tidak bisa ditukar lewat likes dan views, tapi hanya Allah yang tahu apa yang tersembunyi dalam hati.

Barangkali, yang kita butuhkan hari ini bukan lebih banyak konten religi, tapi lebih banyak ruang hening untuk bertanya: mengapa aku taat? Apakah karena cinta, karena takut, atau hanya ingin dianggap baik? Ditengah hiruk-pikuk trend hijrah, dakwah instan, dan budaya “cancel”, kita perlu kembali pada satu hal paling mendasar, keikhlasan, sebab hanya dari sanalah hukum Islam benar-benar hidup bukan sekedar terlihat hidup

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image