Hal yang Tersembunyi dari Media Sosial: Standarisasi Perempuan di Era Digital
Edukasi | 2025-12-10 00:31:25Di era digital saat ini, media sosial menjadi bagian yang tak terpisahkan di kehidupan sehari-hari. Media sosial seperti Instagram maupun TikTok menjadi hal krusial dalam kehidupan sehari-hari menurut fungsi dari hiburan sampai pencarian berita, berbagi informasi serta komunikasi antar komunitas. Namun di balik kemudahan dalam berbagi informasi dan komunikasi ini, media sosial memang dirancang untuk membentuk sebuah algoritma yang terbaca dan muncul karena cara kita menonton video lebih lama sampai video habis atau dengan melewati video (skip) yang menurut kita tidak menarik.
Baru-baru terjadi di lingkaran algoritma ini, sedang booming diselipkan berbagai konten standar kecantikan yang tidak realistis seperti thirst trap yang menyesatkan. Hal ini menjadikan terbentuknya suatu standar kecantikan yang tidak realistis dan memperkuat body shaming. Selain itu, masalah yang terjadi karena standarisasi media sosial ini adalah adanya peningkatan cyberbullying dan rentan menciptakan lingkungan yang rentan kekerasan secara online. Dampak yang disebabkan bukan hanya psikologis, tapi juga sosial dan saya berpendapat bahwa hal ini memerlukan perhatian serius dari masyarakat.
Isu sebelumnya yakni algoritma media sosial memperkuat insecurity di kalangan perempuan. Platform media sosial seperti Instagram dan TikTok dirancang untuk menjaga pengguna tetap terikat dengan mendorong konten viral yang seringkali berupa video dan gambar standar kecantikan yang sempurna. Algoritma ini mengutamakan postingan berisi banyak like dan komentar, sehingga konten yang menekankan penampilan fisik seperti tubuh langsing, kulit putih mulus atau makeup yang menarik mendominasi feed pengguna. Akibatnya, perempuan remaja seringkali merasa tertekan untuk memenuhi standar ini, yang berakibat pada gangguan lain secara mental bahkan secara fisik seperti gangguan makan dan olahraga yang berlebih.
Studi terbaru dari Journal of Communication (2023) mengungkapkan fakta mencengangkan: 70% perempuan muda merasa tertekan oleh standar kecantikan yang dipromosikan secara online. Penelitian ini menunjukkan bahwa paparan konten tersebut meningkatkan risiko body shaming, di mana perempuan membandingkan diri sendiri dengan influencer atau model yang foto atau videonya diedit secara digital. Menurut saya, hal ini merupakan eksploitasi secara mental yang menciptakan pikiran bahwa perempuan sendiri tidak cukup baik.
Selain itu, terdapat berbagai kasus yang mengikuti dan berawal dari terciptanya algoritma standarisasi media sosial ini. Beberapa di antaranya yaitu maraknya pelecehan seksual melalui media sosial, teror bahkan doxxing yang menimpa berbagai influencer dan selebgram perempuan. Menurut saya, hal inilah yang menyebabkan perasaan terdesak untuk memenuhi standar media sosial. Perasaan ini menciptakan rasa insecure, tidak berharga, bahkan anxiety atau gangguan kecemasan.
Gangguan kecemasan dapat yang diciptakan dari salah satunya adalah cyberbullying yaitu seperti komentar body shaming pada postingan media sosial seseorang, kritik dan cibiran berlebih berujung pada menghujat dan mengolok-olok, atau bahkan rasa kecemasan karena telah mengikuti standar kecantikan itu dan takut untuk menunjukkan sisi diri yang sebenarnya di media sosial. Cyberbullying juga kerap menghantui melalui Direct Massage (DM) pribadi dan mengganggu kehidupan sosial sehari-hari. Secara tidak langsung, standar kecantikan yang berlebihan ini menjadi cyberbullying bagi sebagian besar perempuan untuk menjadi sempurna seperti di layar kaca.
Lebih lanjut, cyberbullying terhadap perempuan telah melonjak di era digital ini, sering kali diperburuk oleh algoritma yang memfasilitasi penyebaran konten negatif. Perempuan, terutama mereka yang aktif di ruang publik seperti influencer atau aktivis, menjadi sasaran mudah untuk serangan online. Kasus seperti doxxing—pengungkapan informasi pribadi tanpa izin—telah menimpa tokoh seperti rapper Cardi B, yang mengalami pelecehan berat setelah data pribadinya bocor. Di Indonesia, aktivis feminis juga sering menjadi korban, dengan laporan dari Komnas Perempuan (2024) menunjukkan bahwa kekerasan online terhadap perempuan belum diatur secara memadai.
Cyberbullying sebenarnya bukan fenomena baru, tetapi algoritma media sosial memperburuk dengan mendorong adanya konten provokatif dan hook ringan untuk mendapatkan engagement. Perempuan dihakimi dari penampilan atau pendapat mereka, yang memperkuat adanya stereotip gender kembali lagi dengan cara yang lebih digital dan halus. Walaupun halus, hal ini tetap memiliki dampak dalam cara orang bersikap terhadap perempuan. Saya berpendapat kalau ini merupakan kekerasan secara tidak langsung yang harus dihadapi dengan regulasi media sosial yang ketat dan tepat. Tanpa intervensi, perempuan akan terus menghadapi lingkungan online yang buruk dan berdampak pada partisipasi perempuan di ruang publik dan kesehatan mental.
Untuk mengatasi hal ini, perlu tindakan kolektif dan tepat. Platform media sosial harus memiliki tanggungjawab dalam mengatur algoritma yang positif dan mengurangi konten negatif secara selektif. Selain itu, pendidikan media sosial mengenai regulasi, algoritma, mengenali standarisasi media sosial, memilah dan menolak standar kesempurnaan yang tidak realistis. Di tingkat regulasi, pemerintah Indonesia harus memperkuat undang-undang tentang kekerasan online, seperti yang direkomendasikan Komnas Perempuan, untuk melindungi korban cyberbullying. Sebagai masyarakat, kita harus menolak program yang bertujuan menciptakan kompetisi mengadu domba dan mendukung program yang mengedepankan body positivity dan mendukung solidaritas perempuan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
