Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hana Nurul Fajrin

Sense of Engineer: Dibentuk oleh Proses, Bukan Sekadar Teori

Pendidikan | 2025-07-07 11:35:36

“Masuknya susah, keluarnya lebih susah.” Kalimat ini mungkin sudah terlalu sering terdengar di telinga mahasiswa Teknik. Tapi setelah menjalaninya, aku sadar—pernyataan itu bukan sekadar kalimat klise dan ada benarnya. Teknik Kimia adalah salah satu disiplin ilmu yang tidak hanya menuntut pemahaman konsep, tapi juga mental yang kuat, cara berpikir yang strategis, dan daya tahan dalam menghadapi tekanan.

Dulu aku memilih Teknik Kimia karena alasan sederhana—nilai terbaikku di SMA adalah kimia. Kupikir ini adalah jurusan yang cocok untukku. Namun ketika akhirnya resmi menjadi mahasiswa Teknik Kimia Polban, aku segera menyadari bahwa ini bukan sekadar tentang rumus atau praktikum. Di balik reaksi dan persamaan, ada logika teknik, ada tantangan analisis, dan ada perhitungan risiko yang nyata—yang semuanya menuntut pendekatan berpikir yang matang. Saat itulah aku mulai memahami sebuah prinsip krusial dalam dunia teknik, yaitu apa yang disebut sebagai sense of engineer.

Dibalik Angka dan Rumus, Ada Cara Pandang

Salah satu pengalaman yang membuatku benar-benar memahami makna sense of engineer adalah saat merancang kolom ekstraksi untuk Proyek Pra-Rancangan Pabrik. Awalnya aku berkutat dengan referensi setebal hampir seribu halaman yang diterbitkan tahun 90-an. Di tengah kebingungan, seorang temanku menyadarkan bahwa prinsip kerja kolom tersebut mirip dengan bejana bertekanan. Karena komposisi dan rasio larutan sudah aku analisis berkat software Aspen Hysys, aku bisa menyederhanakan pendekatan perhitungannya dan berhasil merancang: kolom setinggi 14 meter dengan diameter 70 Cm, berbahan stainless steel. Tapi tunggu benda setinggi itu, seberat itu, apakah bisa berdiri kokoh saat diterpa angin? Di sinilah muncul satu pertanyaan kunci: masuk akalkah ini diterapkan di lapangan?

Sense of engineer bukan hanya soal bisa menghitung, tetapi soal mempertanyakan: apakah ini realistis? Apakah rancangan ini cukup aman, efektif, dan benar-benar bisa direalisasikan di lapangan? Hal-hal inilah yang tidak selalu tertulis dalam buku, tetapi hanya bisa ditemukan melalui pengalaman, eksplorasi, dan banyak berdiskusi dengan rekan maupun dosen. Sense of engineer hadir sebagai kemampuan untuk menilai kelayakan rancangan secara teknis, ekonomis, dan praktis.

Pendekatan inilah yang sangat ditekankan di Teknik Kimia Polban. Kami tidak hanya diajak memahami teori, tapi juga diberi ruang untuk mengkritisi, membandingkan, dan memvalidasi rancangan secara praktis. Di sinilah aku melihat keunikan pendidikan teknik terapan: antara rumus dan realita, mahasiswa dibentuk menjadi problem solver sejati.

Belajar dari Proses, Bertumbuh Bersama

Namun tentu saja, prosesnya tidak selalu mulus. Ada banyak kebingungan, tekanan, bahkan kelelahan yang tak bisa dielakkan. Di tengah tumpukan deadline dan laporan, terkadang kami terjaga sepanjang malam. Tapi aku sangat bersyukur memiliki teman-teman seperjuangan yang peduli.

Kekuatan dari kebersamaan membuat proses belajar menjadi lebih bermakna. Tak mungkin rasanya bisa bertahan jika harus melalui semuanya sendirian. Meski semua memiliki urusan masing-masing, mereka tidak pernah ragu untuk membantu.

Teman-teman seperjuangan: TKPB'21

Teknik Kimia juga mengajarkanku bahwa time, money, and mentality yang dulu terasa seperti pengorbanan, ternyata adalah investasi. Investasi untuk ilmu dan karakter. Investasi yang tidak langsung membuahkan hasil, tapi pasti akan menjadi senjata berharga di masa depan.

Soft Skills: Pendukung Keberhasilan di Dunia Teknik

Jika ada satu hal yang sangat aku syukuri dari kuliah di Teknik Kimia, maka itu adalah kesempatan untuk mengembangkan soft skills. Meskipun kami belajar banyak hal teknis, tapi yang paling terasa dampaknya justru adalah kemampuan non-teknis yang terbentuk selama prosesnya. Di antaranya:

 

  • Problem Solving: Tantangan datang dari segala arah—alat rusak, data tidak valid, waktu terbatas. Kemampuan untuk tetap tenang dan mencari solusi adalah keterampilan yang sangat berharga.
  • Project Management: Menyusun timeline, membagi tugas, mengatur prioritas, dan menyelesaikan laporan dalam waktu terbatas adalah latihan manajemen proyek yang nyata.
  • Relasi & Kolaborasi: Dunia teknik tidak bisa dikerjakan sendiri. Belajar berkomunikasi, bekerja dalam tim, dan mengelola konflik adalah bagian dari pembelajaran harian.
  • Critical Thinking: Di hadapan data dan fenomena, kita ditantang untuk berpikir—bukan hanya menerima. Kita belajar bertanya: "mengapa ini terjadi?", "apa yang paling efisien?", "apakah ini aman?".
  • Resilience: Ada kalanya lelah datang, proyek gagal, atau revisi tak kunjung usai. Tapi dari sanalah daya tahan mental terbentuk.

Tapi tenang aja, semua pemahaman dan skill itu bukan dituntut sejak hari pertama kamu kuliah. Melainkan hasil dari pengalaman, diskusi, dan proses panjang yang kamu jalani sedikit demi sedikit.

Bahasa Inggris: Pintu Menuju Peluang Global

Satu hal lain yang juga menjadi titik balik perjalananku adalah ketika aku memilih untuk mendalami bahasa Inggris. Berawal dari bonus demografi yang menghantuiku dan membuatku berpacu untuk memiliki keunggulan lain selain kemampuan akademik, dan aku memilih untuk mendalami bahasa Inggris.

Keputusan itu mengantarkanku pada sebuah pengalaman luar biasa, yaitu berkesempatan untuk berkuliah satu semester di Universiti Teknologi Malaysia (UTM) melalui program IISMA (Indonesian International Student Mobility Awards), tepatnya di Fakultas Chemical and Energy Engineering. Awalnya kupikir sistem pembelajarannya akan mirip dengan politeknik. Tapi kenyataannya, pendekatan pembelajaran di universitas sangat teoritis dan mendalam. Di sanalah resilience ku diuji—bagaimana caranya menjembatani apa yang telah kupelajari di politeknik dengan sistem universitas.

Tantangan bahasa, budaya, hingga gaya komunikasi dosen dan mahasiswa menjadi hal baru yang harus aku pelajari dengan cepat. Tapi dari semua itu, aku mendapatkan insight luar biasa tentang pentingnya profesionalisme, keberagaman, dan interaksi lintas budaya. Dan semua ini bisa kudapatkan berkat satu keputusan sederhana: membiasakan diri dengan bahasa Inggris. Bahasa ini bukan sekadar mata pelajaran, tapi jembatan yang menghubungkan kita dengan lebih banyak peluang, relasi, dan pengalaman global.

Refleksi dari Perjalanan

Sekarang, setelah melewati sebagian besar masa kuliahku, aku semakin yakin bahwa kuliah bukan hanya tahapan menuju dunia kerja, tapi juga proses untuk mengenal diri sendiri. Dalam tekanan, revisi, proyek gagal, dan keberhasilan kecil yang kami rayakan diam-diam—kami bertemu dengan berbagai sisi diri: sisi yang terbaik maupun sisi yang terburuk—yang kuat, yang rapuh, yang sabar, dan yang mudah menyerah. Dan dari situ, kita belajar menerima dan mengembangkan diri.

Jika kamu bertanya: kenapa harus seberat ini?

Jawabannya sederhana: karena setiap tantangan hari ini sedang mempersiapkanmu menghadapi versi terbaik dari dirimu di masa depan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image