Serba-Serbi dalam Logika Mistika
Eduaksi | 2025-07-06 22:43:38
oleh: Muhammad Izzul Hakim
Pernahkah kita mendengar tentang pantangan dalam masyarakat untuk berhati-hati saat melewati pohon beringin karena terdapat sejumlah makhluk halus di sana? Atau contoh lainnya, ketika seekor cicak jatuh ke kepala, konon itu tanda kesialan?
Ternyata, sejak lama kita ditanamkan nilai-nilai turun-temurun yang bila ditelaah lebih dalam, tak selaras dengan akal sehat. Nilai-nilai itu berpijak pada pola pikir yang disebut “logika mistika.”
Tan Malaka, dalam bukunya Madilog, mendefinisikan logika mistika sebagai cara berpikir yang mengaitkan segala peristiwa dengan hal-hal gaib. Cara berpikir ini menjadi hambatan dalam kemajuan masyarakat karena meniadakan penalaran rasional dan objektif. Segala yang tak dipahami akan dilekatkan pada “kekuatan tak kasatmata,” padahal dalam sains, banyak hal bisa dijelaskan melalui sebab-akibat yang logis.
Menurut Kemendikbud, logika mistika di Indonesia berakar kuat dari budaya animisme dan dinamisme sejak zaman pra-aksara. Zakiah Daradjat (1996) menyebut animisme sebagai kepercayaan kepada roh halus, sedangkan Edward B. Tylor menjelaskan dinamisme sebagai kepercayaan bahwa benda-benda tertentu menyimpan kekuatan magis yang melindungi manusia.
Kepercayaan ini terus bertransformasi hingga era modern. Kini, meski teknologi berkembang pesat, kita masih melihat praktik jual beli jimat, batu akik, rajah, atau benda pusaka yang diyakini membawa rezeki, karisma, kesehatan, bahkan kekuatan fisik. Sehingga menjadi bukti bahwa logika mistika beradaptasi, bukan menghilang.
Dalam psikologi kognitif, cara pikir irasional ini dikenal dengan istilah bias kognitif, khususnya bias konfirmasi. Nickerson (1998) menyebut bahwa manusia cenderung mencari dan menerima informasi yang mendukung keyakinan awal mereka, sambil menolak bukti yang bertentangan.
Contoh nyata bias ini bisa kita lihat di dunia penerbangan. Menurut European Association of Certified Professionals, bahkan pilot profesional bisa tergoda mengabaikan data cuaca yang tidak sesuai dengan harapannya, lalu tetap memutuskan terbang, padahal berisiko tinggi. Hal ini menunjukkan betapa bias dapat menyesatkan keputusan logis sekalipun dalam profesi kritis.
Logika mistika bukan hanya hadir dalam bentuk tradisi, tapi juga dalam keputusan sehari-hari yang irasional. Misalnya:
- Survei Liputan6 (2024) menyebut 9% trader di Indonesia masih percaya jimat atau ritual bisa mendatangkan profit
- Dalam politik, pasangan calon “Jimat-Aku” di Pilkada Subang meraih elektabilitas 67,7% menurut survei Indikator (2024). Nama yang mengandung unsur mistik justru menjadi daya tarik publik.
- Di forum daring seperti Reddit, banyak warga menyuarakan keprihatinan bahwa meski akses internet luas, pemahaman logis dan literasi ilmiah masih rendah.“Tidak semua orang dibekali kemampuan & kemauan memahami sains, bahkan dengan internet di tangan, sebagian masih percaya jimat.”
Subbotsky (2010) dalam Magic of Mind menjelaskan bahwa berpikir magis wajar bagi anak-anak, tapi jika dibiarkan hingga dewasa, ia akan menghambat penalaran ilmiah dan rasionalitas. Di sinilah masalahnya, ketika logika mistika sering menjadi jalan pintas berpikir yang instan dan nyaman, padahal tak berdasar.
Indonesia dengan 280 juta penduduk (BPS, 2025) tidak sedang mengalami krisis ekonomi semata, melainkan krisis pikiran. Masyarakat yang masih terjebak dalam logika mistika akan sulit memahami sains, sulit menerima kritik, dan rawan termakan hoaks. Pendidikan yang tidak membentuk daya nalar akan gagal menghasilkan manusia merdeka dalam berpikir.
Tugas kita bukan menertawakan kepercayaan orang lain, tapi mengedukasi secara perlahan dan logis. Mengajak keluarga, teman, dan masyarakat sekitar untuk mempertanyakan hal-hal yang mereka yakini, lalu membandingkannya dengan bukti ilmiah. Tidak semua harus langsung ditinggalkan, tapi semua layak diuji nalar.
Kita bisa mulai dari hal kecil yaitu membiasakan membaca, berdiskusi, skeptis terhadap klaim tanpa dasar, dan tidak takut berkata “Saya belum tahu.”
Mewujudkan Indonesia Emas 2045 bukan hanya soal pembangunan fisik dan ekonomi, tapi membangun bangsa yang rasional. Logika mistika boleh jadi bagian sejarah kita, tapi masa depan Indonesia hanya bisa dijaga oleh mereka yang berani berpikir jernih.
Mari kita ajak masyarakat untuk mengganti "percaya saja" menjadi "pahami dulu". Karena bangsa besar tak cukup dengan keyakinan, ia butuh penalaran.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
