Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yusuf Darmawan

Melawan Korupsi dengan Ilmu: Ketika Hukum, Ekonomi, dan Sosial Bersuara

Eduaksi | 2025-07-03 17:24:37

Tangerang Selatan, Yusuf Darmawan-Mahasiswa Teknik Informatika-Universitas Pamulang_Korupsi telah lama menjadi masalah jangka panjang dalam sistem pemerintahan di banyak negara berkembang dan maju, termasuk Indonesia. Fenomena ini telah berkembang dari sekadar pelanggaran hukum menjadi masalah yang mencakup berbagai aspek ekonomi, sosial, budaya, dan bahkan psikologi masyarakat. Praktek korupsi merusak dasar pembangunan, merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan menghambat pencapaian keadilan sosial.

Di tengah peningkatan transparansi informasi dan tuntutan masyarakat, pemberantasan korupsi semakin penting. Namun, apakah metode hukum cukup untuk menghentikan korupsi? Dalam situasi seperti ini, pendekatan yang menggabungkan ilmu hukum, ekonomi, dan ilmu sosial menjadi sangat penting.

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menjelaskan bagaimana ilmu pengetahuan, khususnya dari tiga bidang keilmuan tersebut, dapat bekerja sama untuk membuat strategi yang efektif, sistematis, dan berkelanjutan untuk memerangi korupsi.

Landasan Teori

1. Teori Hukum, Rule of Law dan Efektivitas PenegakanDalam konteks hukum, pemberantasan korupsi bergantung pada gagasan rule of law, yaitu supremasi hukum sebagai landasan dalam mengatur kehidupan masyarakat dan negara. Sistem hukum yang efektif harus jelas, konsisten, dan dapat ditegakkan, menurut Fuller (1969). Hukuman yang tidak dilakukan dengan kekerasan hanyalah simbol kekurangan kekuatan.

2. Teori Ekonomi, Teori Pilihan Rasional dan Biaya TransaksiGary Becker, peraih Nobel Ekonomi tahun 1968, menganggap korupsi sebagai pilihan rasional. Mereka yang melakukan korupsi mempertimbangkan keuntungan (uang atau kekuasaan) dan risiko (hukuman atau sanksi sosial). Dalam perspektif ini, korupsi dapat dikurangi jika konsekuensi korupsi lebih besar daripada keuntungan yang dihasilkannya, misalnya dengan penerapan sanksi tegas, transparansi anggaran, dan pengawasan ketat.

3. Teori Sosial, Teori Norma Sosial dan Budaya KoruptifMenurut sosiologi, korupsi tidak dapat dilepaskan dari norma sosial dan budaya yang berkembang. Menurut teori sosial pembelajaran Bandura (1977) observasi dan interaksi dapat digunakan untuk mempelajari perilaku menyimpang. Dalam masyarakat yang mengizinkan korupsi, tindakan koruptif lebih mungkin terjadi lagi dan ditiru.

Pembahasan Utama

1. Dimensi Hukum, Ketimpangan Antara Regulasi dan ImplementasiSebenarnya, Indonesia memiliki undang-undang antikorupsi yang memadai, seperti UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang mengatur pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi dan menetapkan peraturan tentang pelaporan kekayaan pejabat negara. Penegakan hukum seringkali tidak efektif dalam kehidupan nyata.Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa praktik obstruction of justice, plea bargain yang tidak transparan, dan vonis ringan terhadap pelaku korupsi adalah masalah besar. Kekuasaan politik dan oligarki terus memengaruhi penegakan hukum, yang seringkali tidak objektif.Meskipun demikian, dalam konteks deterrence theory, keberanian dan ketegasan hukum adalah sangat penting. Negara-negara seperti Singapura dan Hongkong berhasil menghentikan korupsi karena hukum mereka diterapkan tanpa pandang bulu dan menempatkan pelaku dalam bahaya yang tinggi.

2. Dimensi Ekonomi, Ketidakseimbangan Insentif dan Akuntabilitas Korupsi adalah penyimpangan dalam pembagian sumber daya secara ekonomi. Transparency International menyatakan bahwa korupsi menyebabkan ketidakefektifan, penundaan investasi, dan peningkatan biaya proyek. Sebaliknya, gaji birokrasi yang tidak sebanding dengan tugas sering digunakan sebagai alasan informal untuk perilaku menyimpang.Peningkatan insentif legal (gaji layak, tunjangan berbasis kinerja) dan pengurangan insentif ilegal (kontrol anggaran, sistem e-budgeting, keterbukaan informasi) adalah solusi ekonomi pembangunan. Negara-negara Nordik menerapkan strategi ini secara teratur.Metode analisis biaya-manfaat juga dapat digunakan untuk mengevaluasi seberapa efektif upaya anti-korupsi dan mendorong tata kelola anggaran yang lebih efektif.

3. Dimensi Sosial, Korupsi sebagai Gejala Budaya dan PendidikanTidak bisa dipungkiri bahwa budaya permisif yang berkembang di masyarakat juga berkontribusi pada korupsi. Istilah seperti "uang pelicin", "jatah proyek", atau "asal bagi rata" telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang sulit dihilangkan hanya dengan undang-undang.Akibatnya, intervensi sosial melalui pendidikan antikorupsi, penguatan integritas, dan perubahan norma kolektif sangat penting. Dalam jangka panjang, strategi seperti pendidikan karakter di sekolah, kampanye publik berbasis nilai, dan penggunaan media sosial untuk membentuk opini publik menjanjikan.Menurut penelitian yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2022, tingkat kesadaran publik tentang kampanye budaya antikorupsi lebih tinggi daripada tingkat partisipasi masyarakat dalam melaporkan dugaan korupsi.

4. Sinergi Interdisipliner, Jalan Menuju Pendekatan HolistikJika sistem hukum, ekonomi, dan sosial bekerja sendiri, upaya antikorupsi cenderung gagal. Namun, jika elemen-elemen ini digabungkan dalam satu desain kebijakan, upaya tersebut dapat mencapai hasil yang jauh lebih baik.Misalnya, ketika kebijakan antikorupsi diterapkan dengan dukungan sosial budaya yang memadai dan dibuat berdasarkan analisis ekonomi biaya-manfaat, kebijakan tersebut tidak hanya legal dan efektif tetapi juga memiliki legitimasi sosial.Program pact integritas, sistem whistleblower, dan partisipasi masyarakat sipil dalam pengawasan anggaran desa adalah contoh upaya integratif dalam konteks Indonesia. Ketiganya menunjukkan metode lintas disiplin yang berhasil.

Kesimpulan

Korupsi mencakup masalah ekonomi, budaya, dan pelanggaran hukum. Strategi antikorupsi yang hanya berfokus pada penegakan hukum telah terbukti tidak efektif. Oleh karena itu, untuk membuat strategi pemberantasan korupsi yang komprehensif dan berkelanjutan, ilmu hukum, ekonomi, dan sosial harus bekerja sama.Kita dapat membangun sistem yang secara struktural mencegah korupsi dengan menerapkan hukum yang tegas, sistem ekonomi yang transparan, dan norma sosial yang mendukung integritas. Sekarang masalahnya adalah membuat kebijakan publik berbasis ilmu daripada politik praktis.Korupsi dapat dikalahkan dengan pengetahuan yang terorganisir, kerja lintas disiplin, dan tekad kolektif.

  • #.
  • Disclaimer

    Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

    Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

    × Image