Obrolan Digital: Nyaman atau Menyisakan Kesalahpahaman?
Eduaksi | 2025-07-02 11:39:22Pendahuluan
https://www.pinterest.com/pin/174936766771484372/sent/ invite_code=4a6044d37a1d47589d16af5f03af7fa7&sender=1032098577012395708&sfo=1
Di era serba cepat ini, obrolan lewat layar ponsel sudah menjadi bagian hidup sehari-hari. Pesan singkat, emoji, stiker, bahkan GIF lucu seolah menggantikan ekspresi wajah dan tatapan mata. Namun, di balik kemudahan itu, muncul satu pertanyaan: benarkah obrolan digital mampu menghadirkan kehangatan yang sama dengan percakapan tatap muka? Polemik ini penting diangkat, sebab nyatanya tidak sedikit orang yang justru merasa salah paham atau hambar setelah “bicara” panjang lewat layar.
Isi
Penulis teks “Ngobrol di Era Digital: Ketika Emoji Menggantikan Tatapan Mata” berargumen bahwa emoji dan simbol lain muncul sebagai “penyelamat” komunikasi digital karena dapat menggantikan sinyal non-verbal. Namun, benarkah simbol digital sekuat ekspresi asli manusia? Faktanya, satu emoji senyum bisa ditafsir garing, basa-basi, bahkan sarkastik tergantung siapa yang membaca. Dalam banyak kasus, obrolan digital justru memunculkan kesalahpahaman baru, bahkan memperpanjang konflik kecil hanya karena “salah emoji”.
Di sisi lain, penulis juga menyoroti adanya noise digital berupa notifikasi, delay balasan, atau salah ketik yang mengaburkan maksud pesan. Hal ini benar adanya, namun seharusnya bisa diatasi dengan kecakapan literasi digital. Bukankah kita bisa lebih teliti memilih kata, menunda membalas jika suasana hati sedang buruk, atau belajar menulis dengan lebih empatik? Komunikasi digital memang rentan noise, tetapi manusia tetap punya kontrol untuk mengelolanya.
Menariknya, penulis juga menekankan bahwa komunikasi digital membuka banyak peluang positif, mulai dari hubungan jarak jauh, kerja kolaborasi lintas kota, hingga promosi viral. Argumen ini patut diakui. Namun, peluang ini tetap harus dibarengi kemampuan membaca konteks. Tidak jarang promosi produk viral justru menuai kontroversi karena salah penafsiran satu kata atau simbol. Artinya, media boleh berkembang, tapi manusia tetap perlu cakap menafsir.
Penutupan
Pada akhirnya, obrolan digital membawa dua sisi mata uang: praktis sekaligus rawan salah paham. Emoji dan stiker memang membantu, tetapi tidak pernah benar-benar menggantikan tatapan mata, nada suara, atau sentuhan bahu sebagai tanda empati. Di sinilah pentingnya kecerdasan literasi komunikasi digital, agar kita tidak hanya cepat membalas pesan, tapi juga tetap manusiawi dalam memahami perasaan lawan bicara. Meski serba instan, makna sejati obrolan tetaplah hangat, bukan sekadar simbol di ujung jempol. Mari bijak menggunakan emoji, tetap hangat meski hanya lewat layar.
Disclaimer: Tulisan diatas adalah naskah polemik. Tulisan ini bertujuan untuk menanggapi terhadap artikel yang berjudul “Ngobrol di Era Digital: Ketika Emoji Menggantikan Tatapan Mata” Karya Michael Jovanny Ardi Prasetyo”. Link terhubung: https://retizen.republika.co.id/posts/689787/ngobrol-di-era-digital-ketika-emoji-menggantikan-tatapan-mata
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
