Pesta Rakyat: Merayakan Kegagalan Kami dalam Mendidik Polisi
Ekspresi | 2025-07-02 09:13:11
Malam tadi, aku merayakan ulang tahun. Tapi bukan ulang tahunku, bukan ulang tahun pacar (yang memang tak punya), bukan pula ulang tahun negara (yang makin hari makin susah dilacak akalnya). Aku dan ketiga temanku merayakan ulang tahun polisi.
Ya, polisi. Institusi yang katanya “melayani dan melindungi”, tapi kadang lebih aktif dalam hal “mengepung dan memukul.” Tapi tenang, ini bukan perayaan Bhayangkara ala negara yang isinya upacara, parade, dan pidato klise bertema “Transformasi Polri yang Presisi” (yang entah kapan presisinya dirasakan rakyat).
Acara ini beda. Namanya saja sudah menunjukkan bukti sayang kita pada aparat yang hanya diberi sanksi sholat kalau memakai narkoba itu: "Surat Untuk Polisi". Diadakan di The Ratan, Bantul, oleh Social Movement Institute (SMI)–sebuah lembaga yang sepertinya sudah muak mengajukan kritik formal, lalu memutuskan: “Udahlah, kita bikin pesta aja sekalian, biar kalau gak didengerin, minimal bisa ketawa.”
Aku datang bersama tiga kawan yang sama-sama punya pisuhan yang sama. Satu seorang aktivis pergerakan yang masuk dalam jajaran kabinet badan eksekutif di UMS, satu lagi seorang Pemimpin Redaksi (Pemred) yang pernah disuruh mendokumentasikan–pencitraan–polisi ketika bekerja, dan satu lagi rekanku seorang mahasiswa yang juga eks-driver ojek online di sekitar UMS yang depan indekosnya pernah didatangi aparat.
Sesampainya di lokasi, suasananya sudah cukup rame. Ada panggung kecil, spanduk besar bertuliskan “POLISI BERBENAHLAH”, bukan surat cinta, tapi surat pengingat bahwa institusi ini bukan makhluk surgawi yang tak boleh disentuh kritik. Dan yang menarik, tak ada satu pun polisi berseragam di situ–mungkin aja ada, membaur bersama untuk merayakan HUT Bhayangkara yang lebih santai dan enjoy tanpa upacara.
Dari beberapa orator, salah satu yang kami kenali awal yakni Bivitri Susanti, yang kalau ngomong soal hukum bisa bikin lima pasal KUHP tiba-tiba terasa absurd. Ia tidak marah, tidak menggebu-gebu, tapi kalimatnya seperti paku yang ditancapkan langsung ke ego polisi. Bayangkan: di tengah perayaan HUT Bhayangkara, ada seorang ahli hukum yang paginya formal banget mengawal Revisi RUU TNI, eh tapi malamnya ikut joget bersama ketika musisi yang perform sudah mengambil alih panggung.
Setelah Bivitri, naiklah Eko Prasetyo, si orator langganan rakyat kecil yang kalau ngomong bisa bikin dosen pun minder. Satu kalimat pamungkasnya malam tadi: “Kapan lagi coba ada HUT Bhayangkara yang dirayain sama rakyat? Malam ini kita merayakan kegagalan kita dalam mendidik polisi,” ungkapnya ketika selesai menceritakan pengalamannya mendidik para polisi soal Hak Asasi Manusia di Akademi Polisi (AKPOL). Dan semua orang tertawa sembari bertepuk tangan kecil, bukan karena lucu, tapi karena ya Allah, bener bange lagit.
Acara ini seperti reuni nasional orang-orang yang pernah ditatap sinis oleh aparat hanya karena membawa poster. Dan yang menarik: semua kalangan hadir. Ada mahasiswa, seniman, orang tua, aktivis, bule yang sedang berlibur di Jogja, hingga seorang perempuan yang kuduga ia adalah seorang waria.
Tapi memang ini stand-up comedy, hanya saja panggungnya nyata, materinya pahit, dan target roasting-nya: polisi.
Band Sukatani jadi penutup yang manis sekaligus pedas. Mereka menyanyikan lagu-lagu tentang negara, hukum, dan realitas masyarakat akar rumput yang kalah telak oleh pasal karet. Satu lagunya berbunyi: “Di dalam otak mereka hanyalah kekuasaan. Di dalam hati mereka tak ada kepuasan. Di dalam cara mereka terpampang kedzaliman. Di dalam harap mereka cahaya kemenangan.”
Wajah-wajah di antara penonton seperti tersenyum getir dengan anggota badan yang tak bisa menolak untuk terus bergerak. Sebab ini bukan sekadar lagu, ini adalah kenyataan sehari-hari yang terlalu sering kita pura-pura terima. Kalau polisi punya jargon “Polri Presisi”, maka siapapun yang hadir malam itu kurasa seperti punya slogan baru: “Kalau goblok, jangan bertameng hukum.”
Sambil sesekali merekam momen (karena ini pesta rakyat, bukan gala dinner), aku melihat ke sekeliling. Tiba-tiba aku sadar, bahwa kita sedang hidup di negara di mana:
- Polisi lebih cepat datang ke tempat konser yang katanya "izin belum lengkap", ketimbang ke lokasi kekerasan rumah tangga.
- Polisi lebih sensitif terhadap meme, ketimbang terhadap laporan penculikan.
- Polisi bisa sangat bersemangat menangkap pencuri sendal, tapi bingung kalau disuruh selidiki transaksi gelap kelas atas.
Tapi ya sudahlah, malam itu kami sepakat untuk tidak marah. Kami menertawakan saja. Sebab kadang, tertawa adalah satu-satunya bentuk perlawanan yang belum kena pasal.
Jadi, selamat ulang tahun, Pak Polisi.
Kami tidak membawa bunga. Kami membawa kritik. Kami tidak menyanyikan lagu selamat, kami menyanyikan lagu sindiran. Kami tidak membawa harapan kosong. Kami membawa surat panjang berisi kecewa yang tidak akan pernah kalian baca, tapi akan kami bacakan terus, sampai kalian punya telinga yang tidak hanya mendengar perintah atasan.
Semoga suatu hari, kalian bisa ikut merayakan ulang tahun kalian tanpa rasa malu. Karena sejauh ini, rakyat masih sibuk bertanya: "Apa yang sebenarnya kalian rayakan?"
Sementara kami, ya kami rayakan kegagalan ini dengan tawa. Sebab kalau tidak, kami akan terus menunggu keadilan. Dan itu lebih menyakitkan daripada pentungan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
