Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ari J. Palawi

Seni yang Berdzikir, Budaya yang Bertauhid

Kultura | 2025-07-01 19:30:51

Di banyak ruang pendidikan dan dakwah Islam hari ini, kita masih menjumpai cara pandang yang kurang adil terhadap kesenian lokal. Kecenderungan mengagungkan bentuk-bentuk kesenian bercorak Timur Tengah kerap muncul secara eksplisit maupun tersirat dalam sikap dan kebijakan lembaga-lembaga keislaman. Dalam kerangka ini, musik berbahasa Arab, rebana khas Hadrah, dan pola duduk halaqah tertentu dianggap sebagai representasi yang lebih sah dari keislaman. Sementara itu, kesenian lokal seperti pantun Melayu, Seudati, Ratéb, dan Saman justru diposisikan di pinggir sebagai produk budaya yang harus diseleksi ketat sebelum dianggap layak tampil di ruang-ruang dakwah dan pembelajaran Islam.

Pandangan seperti itu tidak hanya menyederhanakan sejarah, tetapi juga menyimpan kesalahan epistemologis. Proses Islamisasi di Nusantara, sejak awal, justru menempuh jalur kebudayaan sebagai wahana utama penyebaran nilai. Islam tidak datang ke Aceh, Sumatra Barat, Jawa, dan wilayah lainnya dalam rupa penolakan budaya, melainkan sebagai pelipur dan penyatu. Para ulama, terutama dari jalur sufistik, membawa nilai-nilai tauhid ke dalam sistem nilai dan ekspresi budaya yang telah lebih dahulu hidup di tengah masyarakat. Mereka tidak mematikan tradisi, melainkan menyusupkan cahaya Islam ke dalamnya.

Penampilan Seudati Inong, yakni: tarian berdiri dengan perkusi tubuh melalui tepukan paha dan jentikan jari, sebagai bagian dari tour program Muslim Women Voices di Amerika Serikat tahun 2014

Bentuk-bentuk kesenian seperti Saman, Ratéb, Seudati, dan Zapin adalah hasil dari proses panjang adaptasi nilai Islam dengan ruang sosial masyarakat. Saman, misalnya, bukan hanya kesenian dalam arti pertunjukan, tetapi mengandung jejak dzikir tarekat yang dikemas dalam formasi duduk saf, pola gerak yang kolektif dan koor pujian kepada Allah SWT dan Rasul SAW. Begitu pula Seudati yang menggunakan syair dakwah, ritme khas Melayu-Aceh, dan gestur penuh makna yang disampaikan dengan energi spiritual yang kuat. Kesemuanya bukan produk asing dalam Islam, tetapi ekspresi lokal dari nilai-nilai yang sudah menyatu dengan batin masyarakat.

Teori budaya menyebut proses ini sebagai adaptasi lokal. Suatu ajaran atau ekspresi dari luar diterima bukan karena bentuk aslinya, melainkan karena kemampuannya untuk melebur ke dalam struktur nilai dan bahasa simbol masyarakat. Clifford Geertz menyebutnya sebagai pemaknaan ulang dalam kerangka kultural yang sudah ada. Artinya, Islam di Nusantara tidak mengganti budaya sebelumnya secara frontal, melainkan menyerapnya dan menafsirkan ulang dengan cahaya tauhid. Roland Robertson menyebut proses ini sebagai glokalisasi, yakni ketika ajaran global mengambil bentuk lokal agar dapat hidup dan diterima tanpa kehilangan esensinya.

Namun kini, kita menyaksikan pergeseran. Di banyak tempat, kesenian lokal yang sudah berpuluh bahkan beratus tahun menjadi ruang dakwah perlahan mulai ditinggalkan. Di pesantren-pesantren, majelis taklim, hingga ruang dakwah kampus, yang dianggap Islami hanyalah yang berbentuk Arab. Padahal bentuk tidak selalu mencerminkan isi. Kesenian lokal yang bernilai Islam kerap disisihkan atas dasar kekhawatiran terhadap kemurnian akidah. Padahal, Islam di Timur Tengah sendiri tidak lahir dalam ruang budaya yang tunggal dan steril. Ia tumbuh dari interaksi panjang antara Arab, Persia, Afrika, hingga Asia Tengah, dan di setiap tempat mengalami pelokalan.

Jika dikotomi ini terus dibiarkan, umat Islam Indonesia tidak hanya kehilangan bentuk ekspresi yang autentik dan membumi, tetapi juga berisiko memutus mata rantai spiritualitas yang telah lama hidup. Seni tradisi bukan hanya sarana hiburan, tetapi juga wahana pendidikan, transmisi nilai, dan ruang perenungan. Banyak masyarakat yang belajar Islam justru dari irama, syair, dan gerak seni yang membekas lebih dalam daripada ceramah satu arah. Bila ruang ini dimatikan, maka ruang batin masyarakat pun perlahan ikut meredup.

Bayangkan betapa luhur dan mengharukan apabila para santri di Tanah Melayu kembali diajarkan seni berpantun sebagai bagian dari pembentukan akhlak dan kesadaran bahasa. Pantun bukan hanya alat bermain kata, tetapi perangkat sastra yang memadukan estetika dan etika dalam keseimbangan yang halus. Di Aceh, para pelajar di dayah-dayah dapat kembali mempelajari Seudati, Ratéh, Ratoh Duek, atau Pho bukan sekadar untuk ditampilkan, tetapi sebagai media internalisasi spiritual dalam bentuk yang bisa mereka pahami dan rasakan secara kultural. Begitu pula anak-anak muda Gayo, yang dengan bangga menafsirkan ulang Didong dan Saman bukan sebagai festival, tetapi sebagai ruang tafakur kolektif yang lahir dari akar budaya mereka.

Jika ruang-ruang pendidikan Islam berani membuka diri dan menghidupkan kembali kesenian lokal yang telah ber-Islam, kita bukan sedang mundur ke masa lalu, tetapi sedang menautkan masa depan pada jejak yang kokoh. Kita sedang menegaskan bahwa Islam tidak menghapus budaya, tetapi menuntunnya. Kita sedang menyampaikan pesan bahwa menjadi Muslim Nusantara tidak berarti menjadi Arab dalam rupa, tetapi berarti menjadi manusia yang merawat iman dan budaya secara bersamaan.

Dan mungkin, dari langgar-langgar kecil yang kembali bersyair, dari balai-balai santri yang menembang pantun dan Ratéb, akan lahir generasi Muslim yang tidak hanya kokoh dalam keyakinan, tetapi juga lembut dalam rasa dan bijak dalam cara.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image