Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dr. H. Dana, M.E.

Arah Hidup yang Sesungguhnya

Agama | 2025-07-01 16:39:11

Pernahkah kita berhenti sejenak lalu bertanya, untuk apa kita hidup? Untuk apa kita bekerja? Untuk apa kita berkeluarga, berusaha, berjuang siang dan malam jika pada akhirnya semua akan berakhir di liang kubur? Ini bukan pertanyaan filsafat. Ini adalah pertanyaan dasar seorang hamba. Karena siapa yang tidak tahu arah hidupnya, maka orang itu seperti kapal di lautan tanpa kompas, ia mungkin bergerak, tapi tidak pernah sampai tujuan. Ia sibuk tapi tidak pernah bahagia. Ia sibuk membangun dunia tapi lupa menyiapkan tempat kembali.

Pertanyaan itu seharusnya tidak dijawab dengan kata-kata, tetapi dengan kesadaran. Ada satu ayat yang mungkin bisa menjawab pertanyaan tersebut, yaitu sebuah kalimat yang sering kita ucapkan saat kabar duka datang menghampiri.

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ ١٥٦

Artinya: “Sesungguhnya kita adalah milik Allah, dan kepada-Nya kita akan kembali.”

(QS. Al-Baqarah: 156).

Ayat ini sering kita dengar saat kematian datang. Tapi sesungguhnya kalimat ini bukan hanya untuk menguatkan yang ditinggal, melainkan untuk menyadarkan semua orang yang masih hidup. Bahwa sejauh apa pun kita berjalan, sekeras apa pun kita berlari mengejar dunia, kita ini sedang menuju satu titik yang pasti, yaitu kembali kepada Allah. Kalimat ini seperti panggilan lembut dari langit yang berkata, "Wahai manusia, engkau bukan milik dunia. Engkau adalah milik Tuhanmu. Maka hidupmu, cepat atau lambat, akan kembali kepada-Nya. Dan saat waktunya tiba, engkau akan berdiri sendiri, tanpa gelar, tanpa pangkat, hanya dengan niat dan amal. Jangan terus mengejar dunia.”

Jika kita adalah milik Allah, maka seluruh hidup kita seharusnya diarahkan untuk-Nya. Langkah kita, rencana kita, pekerjaan kita, bahkan cinta dan air mata kita semua itu seharusnya bukan untuk dunia. Tapi untuk mendekatkan kepada Allah, agar saat kembali nanti kita bukan hanya siap, tapi diterima.

Orang yang paling merugi bukanlah orang yang hidupnya miskin, Bukan pula yang menangis di malam hari karena tertimpa musibah. Tapi mereka yang hidup bergelimang kesibukan, namun tidak tahu untuk siapa ia sibuk, dan ke mana ia akan pulang. Ia berjalan jauh tapi tidak tahu arah. Ia mengumpulkan harta tapi tidak tahu untuk apa. Ia membesarkan anak tapi tidak tahu ke mana mereka dibawa. Dan saat kematian datang, ia merasa seperti orang yang tersesat di tengah padang pasir tidak tahu dari mana, tidak tahu mau ke mana.

Kalau kita milik Allah, maka hidup ini bukan panggung untuk kesombongan, bukan medan untuk rakus dan lupa diri. Hidup ini adalah perjalanan pulang, dan orang yang sadar bahwa dirinya sedang menuju Allah, ia tidak akan main-main dengan hidupnya. Ia akan hati-hati memilih kata mana yang pantas diucapkan, uang mana yang layak diterima, jalan mana yang layak ditempuh. Ia akan menangis di malam hari, bukan karena dunia sempit, tapi karena takut sampai di hadapan Allah dalam keadaan tidak membawa amal saleh, sehingga Allah murka.

Jika hari ini hati kita masih bisa tersentuh, jika jiwa kita masih bisa menggigil saat mendengar ayat-ayat Allah, itu bukan karena kita suci. Bukan karena kita ahli ibadah. Tapi itu tanda bahwa Allah masih sayang kepada kita. Tanda bahwa pintu ampunan itu belum tertutup. Tanda bahwa hati kita meski lalai, belum benar-benar mati. Tanda bahwa masih ada cahaya yang bisa dipantik asal kita mau menoleh ke langit, dan berkata, "Ya Allah, aku ingin pertolonganmu, bimbinglah aku, ampunilah aku." Karena yang paling berbahaya dalam hidup ini, adalah ketika hati tidak lagi merasa bersalah, tidak lagi ingin mawas diri, dan lebih memilih membiasakan diri dalam kesalahan daripada kembali ke jalan Allah. Dosa sebanyak apapun bisa diampuni. Tapi hati yang tidak pernah merasa perlu memperbaiki diri itulah yang paling berbahaya.

Jangan pernah bangga karena masih muda, jangan merasa aman hanya karena dunia masih terlihat baik-baik saja. Kadang azab yang paling halus adalah ketika Allah membiarkan orang itu jauh dari-Nya tapi orang tersebut tidak merasa kehilangan-Nya. Masih bisa tertawa padahal hatinya keras tidak bisa disentuh nasihat, tidak lagi tersentak oleh ayat. Masih sibuk mencari dunia padahal malaikat maut sudah mendekat. Hidup seperti itu bukanlah keberkahan, melainkan tanda bahwa orang itu sedang tersesat karena terlalu jauh dari cahaya.

Maka sebelum segalanya menjadi terlambat, mungkin inilah saatnya kita kembali memeluk satu ayat yang selama ini hanya kita ucapkan dengan lisan, “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn.” Kita ini milik Allah, dan pada akhirnya, kita akan kembali kepada-Nya. Bersama amal yang kita bawa, bersama luka dan tangis yang pernah kita simpan, bersama cinta yang pernah kita perjuangkan, semuanya akan sampai di hadapan-Nya. Dan semoga saat hari itu datang, kita tidak datang dalam keadaan lupa arah, tapi justru dalam keadaan rindu berjumpa dengan-Nya.

Setelah kita menyadari bahwa hidup ini bukan perjalanan tanpa arah, bahwa kita milik Allah dan suatu saat pasti kembali kepada-Nya, mungkin yang kita butuhkan hari ini bukan lagi sekedar tambahan pengetahuan, tapi keberanian. Keberanian untuk jujur melihat ke dalam diri. Untuk bertanya ke mana sebenarnya arah hidup ini sedang dirajut?

Terkadang yang menyesatkan bukanlah dosa yang besar, tetapi kebiasaan salah yang terus di anggap aman. Kita terus beraktivitas, mengejar target, menyusun rencana, tetapi lupa berhenti sejenak untuk bertanya, semua ini sebenarnya sedang membawa kita ke mana? Apakah pekerjaan yang kita tekuni, usaha yang kita rintis, relasi yang kita bangun, semua itu masih terhubung dengan niat kembali kepada-Nya? Atau sudah lepas dari arah, tapi kita terlalu lelah untuk menyadarinya?

Yang paling menyedihkan dari hidup ini bukanlah saat kita kehilangan sesuatu, tapi saat kita lupa bahwa semua perhiasan di dunia hanya sementara. Bahwa segala yang kita perjuangkan hari ini, harta, jabatan, bahkan cinta pada akhirnya akan kita tinggalkan. Karena hidup ini memang bukan tentang seberapa banyak yang kita genggam, tapi tentang apakah semua itu mendekatkan kita pada Dia yang menjadi tujuan.

Semoga saat ajal datang, kita tidak sedang kehilangan arah, melainkan membawa hati yang sejak lama menyimpan rindu untuk kembali kepada-Nya.

Wallahu a’lam bish-shawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image