Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Djahwan Kamil

Bahaya Oversharing dan Curhat Berlebihan di TikTok: Fenomena Digital Intimacy

Gaya Hidup | 2025-06-29 21:19:20
Logo Tiktok (Sumber: https://id.pinterest.com/pin/4081455905090746/)


TikTok bukan lagi sekadar tempat berjoget dan pamer outfit of the day. Kini, platform ini juga menjadi ruang bagi banyak orang untuk membagikan sisi paling rentan dari dirinya. Dari cerita tentang trauma masa kecil, hubungan yang toksik, hingga pergulatan dengan kecemasan dan depresi, semua bisa kita temukan hanya dengan beberapa kali scroll. Fenomena ini dikenal dengan istilah Digital Intimacy, yaitu kedekatan emosional yang terbangun di ruang digital karena seseorang berani membuka dirinya secara personal kepada publik.

Keterbukaan ini, di satu sisi, bisa menjadi sesuatu yang positif. Banyak orang merasa menemukan ruang aman di internet, di mana mereka bisa bercerita tanpa dihakimi oleh orang terdekat. Namun, dalam praktiknya, keterbukaan ini kerap bergeser menjadi Oversharing, ketika cerita yang sangat pribadi disebarkan ke publik tanpa batas, tanpa filter, bahkan tanpa pemrosesan yang matang. Kita tak lagi bisa membedakan mana yang bentuk keberanian untuk bercerita, dan mana yang sebenarnya bentuk eksploitasi terhadap diri sendiri.

Fenomena ini tak lepas dari cara kerja algoritma media sosial. Konten Viral yang bersifat emosional, personal, dan menyentuh biasanya lebih mudah viral. TikTok, secara tak langsung, mendorong pengguna untuk terus membuat konten serupa karena respons positif dari audiens. Likes, views, dan komentar yang tampak suportif seolah menjadi bentuk validasi bahwa kita didengar, bahwa cerita kita penting. Tapi ketika validasi itu menjadi tujuan utama, bukan lagi penyembuhan, di situlah muncul masalah. Kita bisa terjebak dalam pola membagikan luka demi perhatian, bukan demi kesehatan pada mental.

Sayangnya, tidak semua audiens memiliki empati. Komentar yang masuk tidak selalu mendukung. Beberapa bahkan menyudutkan, menertawakan, atau menyebarkan ulang konten secara tidak bertanggung jawab. Apa yang awalnya dianggap sebagai ruang penyembuhan berubah menjadi arena konsumsi publik yang kadang kejam. Dan kita tahu, internet tidak pernah benar-benar melupakan.

Illustrasi Oversharing di Media Sosial (Sumber: https://id.pinterest.com/pin/1055599908415886/)

Fenomena Oversharing menunjukkan bahwa banyak dari kita, khususnya generasi muda atau Generasi Z masih minim literasi emosional dan digital. Kita belum terbiasa berpikir panjang soal konsekuensi dari unggahan di media sosial. Belum semua menyadari bahwa jejak digital bersifat permanen, dan konten yang hari ini terasa menenangkan bisa menjadi bumerang di masa depan. Lebih jauh lagi, muncul budaya di mana dukungan dari orang asing di internet dianggap setara, bahkan lebih penting daripada perhatian dari orang-orang terdekat. Padahal kenyataannya, media sosial bukan ruang terapi profesional. Ia tidak memiliki etika, batas, dan keamanan emosional yang dibutuhkan untuk memulihkan luka batin.

Tentu saja, tanggung jawab atas fenomena ini tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada pengguna. Platform seperti TikTok juga punya tanggung jawab besar untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat. Edukasi seputar kesehatan mental, fitur pelaporan untuk konten sensitif, serta pengawasan komentar yang lebih ketat harus menjadi perhatian. Kita tidak bisa berharap pengguna tahu batas jika platform tidak memberi perlindungan yang memadai.

Di sisi lain, sebagai pengguna media sosial, kita perlu mulai belajar membatasi diri. Tidak semua hal harus dibagikan. Tidak semua luka perlu dijadikan konten. Menjaga sebagian cerita untuk diri sendiri bukan berarti lemah, justru bisa menjadi bentuk self-care yang penting. Keterbukaan adalah keberanian, tetapi keberanian itu perlu disertai kesadaran tentang ruang, waktu, dan dampaknya.

Di tengah derasnya arus konten personal yang membanjiri media sosial, penting bagi kita untuk kembali bertanya: apakah saya sedang berbagi untuk sembuh, atau hanya untuk dilihat? Karena tidak semua ruang digital mampu menjadi tempat yang aman untuk menyembuhkan. Dan tidak semua penonton benar-benar peduli.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image