Generasi Z dan Cara Baru Belajar: Dari TikTok Sampai AI
Gaya Hidup | 2025-10-03 09:34:00
Survei APJII 2024 mencatat lebih dari 80 persen Gen Z Indonesia mengakses
internet setiap hari, dan mayoritas pernah mencari konten edukasi melalui TikTok
dan YouTube. Bukan pemandangan aneh lagi jika mahasiswa membuka TikTok
untuk mencari rumus fisika, atau bertanya pada AI tentang esai kuliah. Belajar
kini berlangsung di layar ponsel, bukan hanya di ruang kelas.
Perubahan ini terasa membebaskan. Gen Z bisa belajar di mana saja, kapan saja,
bahkan sambil rebahan di kamar kos. Penjelasan sulit di kelas bisa menjadi
sederhana ketika ditampilkan dalam bentuk animasi singkat. YouTube
menyediakan jutaan tutorial visual yang menjawab rasa ingin tahu hanya dengan
sekali klik. Ditambah lagi, kecerdasan buatan AI seperti ChatGPT mampu
memberi jawaban instan atas soal rumit yang dulu butuh waktu lama dicari di
buku tebal.
Namun, di balik segala kemudahan itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah
benar Gen Z memahami ilmu secara mendalam, atau hanya sekadar “tahu”
permukaannya? Belajar lewat video singkat memang praktis, tetapi sering
membuat pemahaman dangkal. Tidak semua informasi yang viral di media sosial
dapat dipertanggungjawabkan. Konten yang menarik secara visual kerap
menyesatkan jika dilihat dari kacamata ilmiah. Lebih parah lagi, distraksi menjadi
tantangan serius. Niat awal membuka TikTok untuk mencari penjelasan
matematika bisa berakhir dengan berjam-jam scrolling hiburan tanpa henti.
Inilah paradoks besar pendidikan era digital. Teknologi memberi akses ke
pengetahuan lebih cepat dari sebelumnya, tetapi sekaligus mendorong pola
belajar instan yang berisiko mengikis kedalaman berpikir. Jika tidak dikelola, hal
ini dapat menghasilkan generasi yang tahu banyak hal, tetapi hanya di
permukaan.
Meski begitu, teknologi tidak harus dipandang sebagai musuh. Justru, jika
digunakan bijak, ia bisa menjadi asisten belajar yang sangat efektif. Kuncinya
adalah keseimbangan. Gen Z tetap bisa memanfaatkan fleksibilitas TikTok,
YouTube, atau AI, tetapi harus melengkapinya dengan sumber pengetahuan
mendalam: buku, jurnal akademik, diskusi kelas, maupun pengalaman nyata.Peran kampus dan pendidik juga penting. Alih-alih sekadar melarang mahasiswa
menggunakan media sosial atau AI, dosen bisa mengarahkan pemanfaatannya.
Misalnya, tugas kuliah dapat melibatkan analisis kritis terhadap informasi dari
internet, sehingga mahasiswa tidak hanya jadi konsumen pasif, tetapi juga terlatih
mengevaluasi kebenaran konten. Dengan cara ini, teknologi menjadi
laboratorium berpikir kritis, bukan sekadar hiburan.
Pendidikan sejatinya bukan hanya soal menguasai teori, melainkan juga melatih
logika, etika, dan kemampuan menyaring informasi. Gen Z sebenarnya punya
modal besar: terbiasa multitasking, cepat beradaptasi, dan mampu mengolah
banjir informasi. Tantangannya adalah bagaimana mengubah kecepatan digital
itu menjadi kedalaman berpikir.
Masa depan pendidikan ada di tangan generasi ini. Jika mereka berhasil
menggabungkan kecepatan teknologi dengan refleksi kritis, Gen Z bisa menjadi
generasi paling cerdas dalam sejarah. Teknologi memang memberi jalan pintas,
tetapi hanya mereka yang mau berjalan lebih jauh yang akan sampai ke tujuan.
Pertanyaannya sekarang: apakah kita akan membiarkan Gen Z berjalan sendirian
dengan teknologi, atau ikut mendampingi agar mereka benar-benar sampai ke
tujuan?
Penulis: Keshaf Rifqy Mohammad, mahasiswa Universitas Airlangga, Program Studi Teknik Elektro.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
