Apa Itu Fineshyt: Kata Baru yang Sebagai Pujian atau Pelecehan?
Trend | 2025-10-30 21:29:30Aplikasi TikTok selalu menjadi wadah bagi lahirnya kosakata baru yang dengan cepat diadopsi anak muda. Belakangan, sedang diramaikan oleh istilah “Fineshyt”, kata yang terdengar kasar namun juga bisa dijadikan pujian terhadap seseorang. Kosakata ini dengan cepat menyebar luas hingga di penjuru dunia, khususnya dalam menggunakan media sosial, hingga warga Indonesia pun turut menggunakan kata ini untuk bahasa slang mereka. Fenomena ini menunjukkan betapa cepatnya tren bahasa lahir, menyebar, dan menimbulkan kontroversi tentunya.
Fineshyt sendiri muncul dari gabungan kata "fine" yang artinya bagus atau menarik dan "shyt" (ejaan slang dari "shit"). Meskipun terdengar sebagai kata yang kasar, dalam konteks bahasa gaul, "shyt" berfungsi sebagai kata penegas, mirip dengan kata "banget" atau "gila". Jadi, "Fineshyt" memiliki arti "sangat keren," "luar biasa menarik," atau "kerennya kelewatan". Dikutip dari American Vernacular English (AAVE) , frasa aslinya adalah "fine as shit," yang telah lama digunakan untuk memuji seseorang yang sangat menarik secara fisik. Berkat kekuatan media sosial, kata ini kemudian digunakan di media sosial, mulai dari kolom komentar TikTok, cuitan X (Twitter), hingga caption Instagram. Pada konteks penggunaannya, kosakata ini digunakan ketika kata "cantik" atau "ganteng" saja dirasa tidak cukup untuk mengekspresikan kekaguman. Jika dipakai dalam sebuah kalimat, misalnya “He is fineshyt”, maka artinya sama seperti “dia sangat keren”.
Di sisi lain, meski niatnya hampir selalu untuk memuji, dalam bermedia sosial yang serba viral, kata-kata biasa seperti "cantik" atau "ganteng" terkadang dirasa kurang ekspresif. Fineshyt dipakai sebagai pujian di level paling tinggi, sebuah cara untuk mengekspresikan kekaguman meluap-luap. Menerima pujian ini sekali atau dua kali dari teman dekat mungkin terasa menyenangkan dan memvalidasi.
Namun, di sinilah letak kontroversi dan sisi negatifnya. Masalah muncul ketika pujian itu berubah menjadi label yang diulang-ulang. Misalkan seorang teman menyebut Anda fineshyt. Kemudian, ia memberi tahu temannya yang lain, "Oh, si A itu yang fineshyt. Lalu orang lain mulai ikut-ikutan. Tiba-tiba, fineshyt bukan lagi pujian sesaat, tapi sebuah reputasi atau label yang menempel permanen pada Anda. Di sinilah perasaan "risih" mulai muncul. Anda mungkin mulai merasa tidak nyaman karena setiap orang seolah-olah melihat Anda hanya sebagai "si fineshyt".
Batas antara pujian dan pelecehan bisa menjadi tipis karena penyebutan berulang. Perasaan "risih" muncul karena beberapa alasan. Pertama, Anda mungkin merasa mendapat sorotan yang tidak diinginkan. Kedua, Anda mungkin merasa tertekan untuk selalu memenuhi standar fineshyt tersebut. Ketiga, dan ini yang paling penting, belum tentu orang itu nyaman dan mau untuk memiliki julukan itu. Penyebutan berulang yang tidak diinginkan, yang membuat rasa tidak nyaman dengan diri sendiri, pada dasarnya adalah salah satu bentuk pelecehan sosial, meskipun niat awalnya mungkin "hanya" memuji.
Pada akhirnya, Fineshyt adalah istilah yang ambigu, dan ini sangat terhubung dengan arti dasarnya. Niat awalnya adalah pujian, karena pengertiannya "sangat luar biasa menarik" adalah bentuk apresiasi level tertinggi. Namun, ia bisa berubah jadi pelecehan justru karena makna dasarnya yang begitu kuat dan fokus pada penampilan tersebut. Ketika pujian yang intens ini diulang-ulang hingga menjadi julukan, ia bisa menimbulkan rasa "risih" dan memberi tekanan. Orang tersebut jadi merasa tidak nyaman karena dinilai hanya dari satu aspek itu saja tepat seperti yang diartikan oleh kata Fineshyt. Intinya, pujian yang tulus seharusnya membuat orang senang, bukan membebaninya dengan sebuah label.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
