Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Borneo Kumara Prayogi

Tarif Pajak Progresif vs Flat: Mana Lebih Adil untuk Sistem Perpajakan Indonesia?

Eduaksi | 2025-06-28 13:21:18

Pertanyaan ini tidak hanya bersifat teknis fiskal, tetapi juga menyentuh aspek ideologis dan moral dalam kebijakan negara. Mari kita telusuri kedua sistem ini lebih dalam dengan membedah argumen, dampak sosial-ekonomi, serta konteks Indonesia untuk menjawab satu pertanyaan penting: mana yang lebih adil?

Tarif Pajak Progresif adalah sistem di mana tarif pajak meningkat seiring dengan kenaikan pendapatan. Semakin tinggi penghasilan seseorang, semakin besar persentase pajak yang harus dibayar. Contohnya, seseorang yang mengenakan Rp50 juta per bulan mungkin dikenakan tarif pajak 30%, sedangkan yang mengenakan Rp5 juta hanya dikenakan 5% atau bahkan tidak dikenakan pajak sama sekali.

Tarif Pajak flat (datar), sebaliknya, menerapkan tarif pajak yang sama untuk semua kelompok pendapatan. Tidak peduli Anda menempatkan Rp5 juta atau Rp50 juta per bulan, Anda tetap membayar, misalnya, 10% dari total penghasilan sebagai pajak.

Sistem mendasar progresifkan diri pada prinsip “ability to pay” yaitu mereka yang mampu membayar lebih, seharusnya membayar lebih. Hal ini tidak hanya bersifat rasional secara fiskal, tetapi juga mengandung moral: mengurangi kesejahteraan dan mendorong redistribusi kekayaan.

Di Indonesia, ketimpangan masih menjadi masalah nyata. Laporan Oxfam beberapa tahun lalu menyebutkan bahwa kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 100 juta rakyat terbawah. Dalam kondisi seperti ini, sistem progresif terasa lebih logistik dan berkeadilan.

Pendukung sistem flat tax menekankan pada kesederhanaan, transparansi, dan insentif ekonomi. Mereka berpendapat bahwa sistem progresif seringkali membuat individu atau perusahaan mencari celah untuk menghindari pajak.

Dengan sistem yang flat, aturannya lebih jelas dan sederhana. Wajib tidak pajak akan merasa “dihukum” karena sukses atau mendapatkan penghasilan tinggi. Flat tax juga dianggap dapat menstimulus investasi dan pertumbuhan ekonomi, karena tidak menggerus semangat kerja keras dan kewirausahaan.

Indonesia bukan hanya negara berkembang, namun juga negara dengan tingkat informalitas ekonomi yang tinggi. Banyak pekerja sektor informal tidak terdaftar sebagai wajib pajak, sementara kelompok kaya justru punya banyak ruang untuk menghindari beban pajak progresif.

Penerapan sistem flat di Indonesia, dalam konteks saat ini, berisiko menciptakan ketimpangan yang lebih luas.

Alih-alih memilih antara progresif ekstrem atau flat, Indonesia bisa memperkuat sistem progresif yang adil dan efisien. Artinya, tarif yang tetap progresif namun dengan administrasi pajak yang terjamin, pengawasan yang ditingkatkan, dan insentif yang dirancang cerdas.

Tarif pajak progresif bukan berarti memusuhi yang kaya, dan tarif flat bukan berarti memanjakan yang punya modal. Keadilan bukan soal semua orang dikenai angka yang sama, tapi soal apakah beban itu terasa adil dan proporsional bagi masing-masing individu.

Dalam konteks Indonesia dengan struktur ekonomi yang timpang, tingkat kemiskinan yang masih nyata, dan cita-cita konstitusional yang menempatkan keadilan sosial sebagai tujuan sistem pajak progresif tetap menjadi pilihan yang lebih bijaksana dan adil.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image