Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image suntusia hafiza

Ironi Beras: Melimpah di Gudang, Mencekik di Meja Makan

Agama | 2025-06-27 05:27:47
Gambar diambil dari https://gemini.google.com/app/de7ae3a029047bf8?hl=id

Beras, sebagai makanan pokok mayoritas penduduk Indonesia, memiliki peran sentral dalam ketahanan pangan dan stabilitas sosial. Meski gudang-gudang diklaim penuh, kenyataannya harga beras justru melonjak di lebih dari 130 kabupaten/kota pada awal Juni, melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) dan mencekik dompet rakyat kecil. Ketersediaan beras yang cukup dengan harga terjangkau adalah indikator fundamental kesejahteraan rakyat. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia dihadapkan pada sebuah paradoks yang menyesakkan: meskipun klaim stok beras melimpah di gudang-gudang pemerintah maupun swasta, harga di pasaran justru terus melambung tinggi, mencekik daya beli masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah.

Fenomena ini sungguh menohok, memicu pertanyaan besar tentang kemampuan kita mengelola pangan nasional. Data produksi dan stok beras yang seharusnya menjamin pasokan stabil justru bertolak belakang dengan realitas di meja makan keluarga. Harga beras yang mahal memicu inflasi, mengurangi kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar lainnya, dan memperburuk kondisi ekonomi di tingkat rumah tangga. Ironi ini tidak hanya menciptakan keresahan publik, tetapi juga mengindikasikan adanya disfungsi serius dalam rantai pasok, sistem distribusi, atau bahkan spekulasi yang memanfaatkan celah ketidakpastian. Latar belakang ini akan mengupas lebih dalam paradoks "beras melimpah, harga mencekik," mencari akar masalah di balik ketidakselarasan antara data stok dan realitas harga, serta menyoroti dampak krusialnya terhadap kehidupan rakyat.

Menanggapi keanehan ini, suara-suara dari kalangan akademisi pun mulai lantang terdengar. Prof. Lilik Sutiarso dari UGM memuji langkah cepat Satgas Pangan Mabes Polri yang langsung terjun ke pasar-pasar besar, termasuk Cipinang, untuk mengusut kenaikan harga beras yang janggal. Bagaimana tidak, harga beras melonjak padahal stok nasional mencapai rekor 4,2 juta ton, tertinggi sepanjang sejarah CBP. Anomali ini, menurut Prof. Lilik, tidak boleh dibiarkan karena merugikan baik masyarakat maupun petani. Ia menduga kenaikan ini disebabkan oleh distribusi yang tidak normal, spekulasi harga dari pedagang, serta tingginya biaya logistik.( https://www.beritasatu.com/ekonomi)

Prof. Lilik menegaskan bahwa melonjaknya harga beras di tengah melimpahnya cadangan pemerintah adalah masalah serius yang harus dituntaskan. Beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) seharusnya diprioritaskan untuk bantuan sosial atau operasi pasar, bukan justru masuk jalur komersial yang bisa memicu kenaikan harga. Ia mendukung penuh penelusuran anomali ini oleh Satgas Pangan, mengingat dampaknya sangat besar terhadap penurunan daya beli masyarakat dan inflasi.( https://www.beritasatu.com/ekonomi)

Kebijakan yang memaksa Bulog menyerap gabah petani dalam jumlah besar justru ironisnya menciptakan gudang penuh, namun pasar kelaparan. Suplai beras ke masyarakat pun macet, mendorong harga melambung. Inilah wajah asli tata kelola pangan di bawah sistem kapitalisme: ia tidak berpihak pada rakyat, melainkan tunduk patuh pada gejolak pasar dan nafsu keuntungan segelintir elite.

Dalam sistem kapitalisme, pangan bukan hak dasar yang dilindungi negara, melainkan sekadar komoditas dagang yang dipermainkan demi laba. Negara hanya berperan sebagai wasit, bukan pelindung atau penjamin akses adil bagi semua. Ujung-ujungnya, rakyat miskin selalu jadi korban saat harga bergejolak tak terkendali.

Kontrasnya, di bawah Khilafah, negara wajib menjadi penjamin kebutuhan pokok rakyat, termasuk pangan. Produksi, distribusi, dan cadangan pangan akan dikelola langsung oleh negara, tanpa intervensi komodifikasi. Khilafah akan mensubsidi petani secara cuma-cuma mulai dari bibit hingga sarana produksi, menjamin kualitas beras. Praktik penimbunan akan dilarang tegas, memastikan distribusi merata, harga stabil, dan rakyat terjamin makan. Khilafah juga akan memastikan harga mengikuti mekanisme pasar syariah, bukan dipatok, karena intervensi harga dilarang dalam Islam. Jadi, solusi sejati bukan cuma menambal sulam regulasi, tapi mengganti seluruh sistemnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image