Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Varayssha.

Menghidupkan Sastra dari Timur: Jejak Panjang Komunitas Sastra Jawa Timur

Dunia sastra | 2025-06-26 10:43:23

Komunitas sastra di Jawa Timur bukan sekadar ruang diskusi atau forum pembacaan puisi. Ia adalah arena lahirnya perlawanan, tempat berkumpulnya ide-ide segar, serta wadah membangun identitas budaya lokal. Dari masa kolonial hingga era digital, denyut sastra di Timur Indonesia ini tidak pernah benar-benar padam—hanya berganti wajah.

Surabaya dan Malang menjadi titik mula geliat literasi pada awal abad ke-20. Di masa itu, komunitas tumbuh bukan hanya sebagai ruang kreatif, tapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi kolonial. Sastra menjadi alat perjuangan yang melampaui keindahan bahasa. Setelah kemerdekaan, komunitas berkembang melalui media seperti surat kabar dan diskusi kampus.

Lompatan besar terjadi pada dekade 1970–1980-an. Di bawah tekanan Orde Baru, komunitas seperti Bengkel Muda Surabaya lahir dan menjadi cikal bakal semangat kesenian kolektif. Mereka menyatukan seni pertunjukan, sastra, dan aktivisme dalam satu panggung. Penyair seperti Akhudiat dan Mashuri muncul dengan karya-karya simbolik yang cerdas dan menyentil.

Memasuki era reformasi 1998, iklim berkesenian menjadi lebih terbuka. Komunitas baru bermunculan, seperti Teater Gapus di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, yang hingga kini aktif mengadakan diskusi sastra, pertunjukan, hingga pelatihan menulis. Salah satu kegiatan ikonik mereka adalah Padhang Bulan, forum sastra malam hari di bawah bulan purnama.

Transformasi terbesar terjadi setelah tahun 2005. Teknologi digital dan media sosial memberi napas baru. Facebook, YouTube, hingga TikTok menjadi sarana penyebaran karya sastra sekaligus ruang apresiasi. Sastrawan muda dari Jawa Timur seperti F. Aziz Manna dan Okky Madasari tampil dengan karya-karya yang tak hanya digemari secara nasional, tetapi juga bergema di forum internasional.

Namun, geliat itu tidak datang tanpa tantangan. Minimnya regenerasi, rendahnya minat mahasiswa sastra terhadap dunia literasi, serta dominasi budaya populer membuat komunitas-komunitas ini harus berjuang lebih keras. “Yang bisa bertahan lima tahun saja sudah hebat,” ujar Mashuri, penyair asal Sidoarjo, dalam wawancara bersama tim kami.

Menurutnya, komunitas-komunitas kini harus berpikir strategis: bersinergi dengan teater, seni rupa, bahkan platform digital. “Sastra tak bisa berdiri sendiri,” ujarnya. Karena itulah, komunitas sastra masa kini tidak hanya menjadi tempat menulis dan membaca, tetapi juga menghidupkan ruang-ruang seni yang lebih luas.

Dari komunitas kampus seperti Teater Gapus, komunitas pesantren, hingga kolektif teater seperti Bengkel Muda Surabaya, satu hal yang menyatukan mereka adalah semangat keberlanjutan. Regenerasi, dokumentasi, dan kolaborasi lintas bidang menjadi kunci agar sastra tetap hidup di tengah arus zaman yang terus berubah.

Kini, ketika semua orang bisa menjadi "penulis" lewat media sosial, peran komunitas sastra menjadi semakin penting sebagai penjaga kualitas, ruang kurasi, dan tempat tumbuhnya tradisi berpikir kritis. Mereka bukan hanya penggerak kegiatan, tapi juga penjaga warisan literasi lokal.

Sastra di Jawa Timur akan terus bergerak, meski mungkin perlahan. Yang penting, ia tak berhenti.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image