Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image AIVRE 2021

Kapitalisme Digital dan Kerusakan Mental Generasi Indonesia

Agama | 2025-12-15 19:06:15
credit gambar : pexels

Kemajuan teknologi digital kerap dipuja sebagai penanda modernitas dan kemajuan bangsa. Namun di balik narasi optimistis tersebut, Indonesia justru menghadapi krisis serius yang jarang dibahas secara jujur, yakni kerusakan kesehatan mental generasi muda akibat kapitalisme digital. Fenomena ini bukan semata persoalan individu yang gagal mengatur waktu layar, melainkan persoalan struktural yang lahir dari sistem ekonomi yang menjadikan perhatian manusia sebagai komoditas.

Berbagai riset dan laporan menunjukkan bahwa banyak generasi muda Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental akibat screen time yang berlebihan. Anak-anak dan remaja menghabiskan waktu berjam-jam di depan gawai untuk mengakses media sosial, gim daring, dan konten hiburan instan. Dampaknya nyata: meningkatnya kecemasan, gangguan tidur, sulit fokus, penurunan motivasi belajar, hingga depresi. Sayangnya, kondisi ini sering dianggap sebagai konsekuensi wajar dari kehidupan digital, bukan sebagai masalah serius yang membutuhkan intervensi negara.

Kondisi tersebut diperparah oleh kecanduan gadget yang sudah memasuki tahap akut. Gawai tidak lagi sekadar alat komunikasi, melainkan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Ketergantungan ini memicu munculnya digital dementia, yaitu penurunan fungsi kognitif akibat otak terlalu bergantung pada perangkat digital untuk mengingat, berpikir, dan mengambil keputusan. Selain itu, budaya konten instan melahirkan kemalasan berpikir, menurunkan kemampuan analisis kritis, serta melemahkan daya juang intelektual generasi muda. Ironisnya, meski selalu terhubung secara virtual, banyak anak muda justru mengalami kesepian sosial dan keterasingan emosional.

Masalah ini semakin kompleks karena Indonesia tidak memiliki pembatasan usia yang tegas dalam penggunaan media sosial. Anak-anak dengan usia sangat dini dapat mengakses berbagai platform tanpa pengawasan memadai. Padahal, media sosial modern tidak lagi bersifat netral. Platform-platform tersebut digerakkan oleh algoritma dan kecerdasan buatan (AI) yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna. Algoritma ini mendorong adiksi, memperkuat budaya perbandingan sosial, dan mengeksploitasi emosi demi keuntungan iklan. Generasi muda pun dijadikan sasaran empuk eksploitasi data dan perhatian.

Dalam konteks ini, jelas bahwa akar persoalan bukan sekadar pada teknologinya, melainkan pada kapitalisme digital sebagai sistem yang menaunginya. Dalam sistem kapitalisme, media digital berfungsi sebagai alat produksi keuntungan, bukan sebagai sarana pembinaan generasi. Keselamatan mental pengguna tidak menjadi prioritas selama platform tetap menghasilkan laba. Akibatnya, konten sensasional, provokatif, dan adiktif justru dipromosikan, sementara konten edukatif dan bermutu kalah bersaing.

Lebih memprihatinkan, posisi Indonesia dalam peta kapitalisme digital global hanyalah sebagai pasar besar. Negara tampak lemah dan tidak tegas dalam menghadapi korporasi teknologi raksasa. Regulasi longgar, pengawasan minim, dan sanksi tidak menimbulkan efek jera. Di sisi lain, tidak terlihat komitmen serius negara untuk melindungi generasi muda sebagai aset strategis dan calon pemimpin masa depan. Kepentingan ekonomi jangka pendek kerap mengalahkan tanggung jawab jangka panjang terhadap kualitas manusia.

Berbeda dengan pendekatan kapitalisme, Islam melalui institusi Khilafah memiliki visi membangun generasi unggul sebagai pemimpin peradaban. Generasi muda dipandang sebagai amanah yang harus dijaga akalnya, mentalnya, dan akhlaknya. Karena itu, negara memiliki tanggung jawab penuh untuk melindungi mereka dari pengaruh yang merusak, termasuk dari media digital.

Langkah preventif dilakukan dengan penerapan sistem pendidikan Islam yang membentuk kepribadian, bukan sekadar keterampilan teknis. Pendidikan diarahkan untuk menumbuhkan pola pikir kritis dan tanggung jawab moral. Selain itu, peran orang tua sebagai madrasah pertama diperkuat agar keluarga menjadi benteng utama dalam menghadapi arus digital. Masyarakat pun berperan aktif melalui amar makruf nahi mungkar, menciptakan kontrol sosial yang sehat.

Negara juga mengambil langkah strategis, seperti pengawasan ketat terhadap konten media, pembatasan platform digital yang beroperasi, pembatasan usia pengguna media sosial, serta pengaturan penggunaan AI agar tidak berdampak buruk pada perkembangan generasi. Dengan demikian, teknologi tetap dimanfaatkan, tetapi berada dalam kendali nilai dan tujuan yang jelas.

Krisis kesehatan mental generasi muda tidak akan selesai dengan imbauan moral semata. Selama kapitalisme digital tetap menjadi kerangka utama, generasi akan terus menjadi korban. Sudah saatnya bangsa ini berani mempertanyakan sistem yang ada dan mencari solusi mendasar demi menyelamatkan masa depan Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image