Dari Cara Pandang Sempit Menuju Luasnya Dunia Sastra
Sastra | 2025-12-11 06:10:13A. Pendahuluan
Diterima di Universitas negeri Surabaya pada program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai pilihan pertama, mungkin membuat orang berpikir jika saya mempunyai pengetahuan yang luas tentang program studi yang saya pilih, dan saya juga berpikir demikian. Namun setelah memasuki perkuliahan, pelajaran yang diberikan tidak langsung mengajarkan saya membuat puisi, novel, atau karya sastra lainnya seperti yang saya harapkan saat memilih program studi ini. Sebelum memulai praktik menulis karya sastra, ternyata kita diajarkan dari dasar, salah satunya melalui mata kuliah Sejarah Sastra. Pada titik itu, saya sadar bahwa mempelajari sastra tidak mungkin tanpa memahami dasar pemikiran, sejarah, dan dinamika sosial budaya yang melatarbelakanginya.
Melalui mata kuliah ini, saya akan mempelajari tentang perjalanan sastra Indonesia dari masa ke masa, termasuk tokoh, aliran, karya, latar sosial-politik, dan pergeseran pola pikir masyarakat yang tercermin dalam karya sastra. Sejarah sastra mencakup lebih dari sekadar mengingat tahun dan nama penulis; itu juga mencakup pemahaman tentang alasan sejarah suatu karya terjadi pada saat itu dan bagaimana pengaruhnya dapat memengaruhi pemikiran manusia. Mata kuliah ini meningkatkan pemahaman tentang hubungan antara sastra dan sejarah negara.
Sebelum memasuki mata kuliah Sejarah Sastra,saya tidak memiliki gambaran jelas mengenai apa yang akan dipelajari. Saya bahkan berpikir mengapa sejarah harus dibicarakan dalam sastra;bukankah sastra hanya tentang keindahan tulisan saja? saat itu, saya pikir sastra hanyalah novel, cerpen, terutama puisi karena hanya itu yang saya kenal. Saya berpikir bahwa topik kuliah ini hanya akan membahas jenis karya sastra yang tidak memiliki arah yang jelas. Tapi setelah itu, saya datang ke kelas dengan rasa tidak percaya diri karena saya merasa tidak tahu apa-apa tentang topik kuliah ini. Sedangkan di sisi lain beberapa teman sekelas saya bisa menjawab dengan cepat ketika dosen menyebut nama tokoh atau karya sastra, tetapi saya tidak tahu sama sekali. Dari situ, saya merasa seperti siswa yang paling kurang dalam pengetahuan sastra. Saya bahkan sempat berpikir kalau saya salah jurusan, karena kemampuan dan pengetahuan saya terasa jauh tertinggal.
Namun, meskipun selalu dihantui rasa ragu, dalam diri ini masih bertanya-tanya sehingga tumbuh rasa penasaran. Saya berharap mata kuliah ini bukan hanya berisi hafalan nama dan tahun, tetapi juga dapat menjawab pertanyaan yang selama ini tidak pernah saya pertanyakan dengaan serius: untuk apa Sejarah sastra dipelajari? Bagaimana sastra dapat berubah dari waktu ke waktu? Apa yang menjadi pembeda masing-masing periode sastra? Mengapa sastra dapat memengaruhi pemikiran, politik, dan budaya?. Saya juga memiliki keinginan sederhana untuk memahami sastra bukan hanya sebagai kumpulan puisi yang indah, tapi sebagai bidang keilmuan yang relevan dengan masyarakat dan sebagai ruang untuk memahami manusia, zaman, dan realitas melalui karya.
Selain itu, saya merasa beruntung karena mata kuliah ini diampu oleh dosen yang bukan hanya menyampaikan materi, tapi juga membangkitkan rasa ingin tahu mahasiswa. Cara mengajar Dr. Moh. Ahsan Shohifur Rizal, S.Pd., M.Pd., membuat saya semakin tertarik untuk mempelajari sejarah sastra karena setiap penjelasan beliau tidak hanya memberi informasi, tetapi juga mengajak kami berpikir, berdiskusi, dan melihat sastra dari sudut pandang yang lebih luas.
B. Refleksi
1. Pemahaman terhadap periode sejarah sastra Indonesia
Selama mengikuti mata kuliah Sejarah Sastra, pemahaman saya terhadap perkembangan sastra Indonesia mulai berubah. Saya menyadari bahwa sastra bukan hanya sebatas “karya indah” yang dibuat hanya untuk hiburan atau sekadar ungkapan perasaan, tapi juga mencerminkan sejarah bangsa. Setiap karya sastra ternyata lahir dari hasil pemikiran dan situasi sosial yang dialami pada saat itu. Di kelas, saya mulai memahami bahwa sebelum membicarakan isi sebuah karya, kita perlu melihat latar sosial, politik, budaya, dan ideologi yang bekerja pada masa itu. Sastra dilihat dari sudut pandang sejarah mengikuti perkembangan nasional, mulai dari masa kolonial, perjuangan untuk kemerdekaan, dan perselisihan ideologi hingga era digital saat ini.
Melalui mata kuliah ini, saya mulai melihat perkembangan sastra Indonesia bukan hanya tentang urutan waktu, tapi juga perjalanan kesadaran. Setiap angkatan sastra muncul bukan karena kebetulan, melainkan sebagai respon terhadap kondisi masyarakat. Sastra menggunakan simbol dan metafora untuk berbicara ketika penindasan kolonial terjadi, wacana bacaan dibatasi, dan sastra berubah menjadi media perjuangan ketika semangat kemerdekaan muncul. Melalui perspektif inilah saya mulai menyadari bahwa mempelajari sejarah sastra sama dengan mempelajari bagaimana orang melihat zaman mereka melalui tulisan mereka. Pemahaman ini membuat saya semakin menikmati setiap materi perkuliahan, karena setiap periode sastra yang di bahas mulai dari Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan '45, Angkatan '66, hingga sastra kontemporer, tidak lagi saya lihat sebagai daftar nama dan tahun, tetapi sebagai rangkaian perubahan gagasan, ideologi, dan cara manusia berekspresi di tengah realitas sosial yang terus bergerak.
Dimulai dari periode Balai Pustaka (1920-an), saat itu masa kolonialisme dan pemerintah membentuk Balai Pustaka dengan tujuan mengontrol bacaan masyarakat pribumi. Walaupun dibatasi, tapi justru dari masa inilah lahir sastra Indonesia modern dengan gaya realistis dan tema benturan budaya, tekanan adat, hingga dilema identitas. Sastra menjadi ruang masyarakat untuk bercermin terhadap ketidakadilan sosial yang terjadi pada masa itu. Adapun tokoh dan karya pentingnya yaitu:
a. Marah Rusli (Sitti Nurabaya) → sebagai kritik terhadap feodalisme dan tradisi yang mengekang perempuan.
b. Abdul Muis (Salah asuhan) → persoalan identitas dan keberagaman budaya antara timur dengan barat.
c. Merari Siregar (Azab dan sengsara) → kritik terhadap kawin paksa yang menyebabkan penderitaan perempuan.
d. Nur Sutan Iskandar (Salah pilih) → kritik terhadap materialisme yang mengakibatkan kesengsaraan.
Selanjutnya Periode Pujangga Baru (1930-an), periode ini menjadi pembaruan sastra Indonesia karena menjadi awal pertentangan terhadap kolonial serta membangkitkan rasa nasionalisme dan modernitas. Para sastrawan ingin menghidupkan kembali budaya bangsa Indonesia melalui karya yang idealis, ekspresif, dan makna yang dalam. Tradisi lama tetap dipertahankan, tetapi dihidupkan kembali dengan gaya kontemporer dan visi kemajuan negara. Berikut tokoh sastrawan dan karya penting pada saat periode ini:
a. Amir Hamzah → mentransformasi puisi Indonesia melalui keindahan bahasa Melayu lama yang kaya, namun ia mengisinya dengan bahasa spiritual dan penuh kontemplasi.
b. Sanusi Pane (Ken Arok dan Ken Dedes) → menyuarakan bahwa Indonesia perlu berpegang pada keagungan spiritual timur sebagai landasan filsafat kebudayaan.
c. Sutan Takdir Alisjahbana (Layar Terkembang) → mendorong emansipasi wanita dan modernisasi total ala barat sebagai jalan untuk kemajuan bangsa.
d. Armijin Pane (Belenggu) → novel psikologis yang membedah secara mendalam konflik batin, kesepian, dan keterasingan kaum intelektual modern dalam rumah tangga.
Setelah idealisme dan kontemplasi Pujangga Baru selesai, kemerdekaan yang diperjuangkan harus dibayar mahal oleh realitas yang kejam. Perubahan zaman ini melahirkan periode ’45 (± 1942-1950) yang membawa sastra dari menara gading ke jalanan perjuangan. Lahir pada masa perang, pendudukan Jepang, dan revolusi kemerdekaan, karya sastra pada periode ini menjadi jeritan sejarah untuk menyuarakan tentang kemiskinan, kematian, penderitaan rakyat, dan harga diri manusia. Bahasa menjadi lugas, bebas, dan emosional. Karena sastra dipakai sebagai senjata perjuangan dan suara eksistensial manusia. Di tengah hiruk pikuk perjuangan tersebut, muncul para sastrawan dan juga karyanya yang menjadi saksi bisu, yaitu:
a. Chairil Anwar (Deru Campur Debu 1949) → sebagai proklamasi kemerdekaan individual dan estetik, menegaskan eksistensi dan kebebasan berekspresi di tengah kekacauan.
b. Idrus (Corat-Coret Bawah Tanah 1947) → dokumentasi realis yang jujur dan sinis, menghancurkan ilusi heroisme tentang revolusi.
c. Pramoedya Ananta Toer (Kranji Bekasi Jatuh (1947) → Karyanya berfungsi sebagai suara hati nurani dan pembelaan kemanusiaan, menyoroti penderitaan rakyat kecil yang terpinggirkan oleh revolusi.
Setelah gairah revolusioner Angkatan ’45 memudar, situasi politik Indonesia mencapai puncak dengan gejolak 1965. Keadaan ini melahirkan Periode ’60-an, yang menuntut sastra untuk kembali bersikap kritis dan membela masyarakat. Periode ini muncul setelah gejolak politik dan didominasi kritik terhadap pemerintah dan pembangunan yang tidak merata. Sastra pada saat itu berfungsi sebagai ruang untuk menyampaikan perlawanan terhadap ketidakadilan, penindasan, dan pembungkaman rakyat.
Ciri khas utama Periode ’60 ini adalah dominasi kritik sosial dan politik, yang disampaikan melalui penggunaan simbol, alegori, dan juga Bahasa kiasan yang tajam untuk menghindari sensor, sekaligus frontal, satiris, dan teatrikal. Di periode ini sastrawan mengeluarkan beberapa karyanya, seperti:
a. WS Rendra → karyanya berisi proklamasi estetik dan kritik sosial yang frontal dengan gaya eksperimental yang lugas, menjadikannya suara perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas pada masa itu.
b. Taufiq Ismail (Tirani dan Benteng) → dokumentasi protes dan kesaksian moral atas tragedi politik pasca-1965, menggunakan puisi untuk mengecam tirani dan menyuarakan nurani.
c. Iwan Simatupang (Ziarah) → Karyanya berfungsi sebagai refleksi filosofis mendalam tentang absurditas dan ketidakbermaknaan hidup manusia, membawa tema eksistensialisme yang sepenuhnya baru ke dalam novel Indonesia.
Setelah Angkatan 60, yang menunjukkan peningkatan sastra dan ekspresi individual, sastra Indonesia berkembang lagi pada Periode 70-an, yang ditandai dengan munculnya Gerakan Sastra Kontekstual, yaitu sastra yang berfokus pada realitas sosial, budaya, dan kehidupan sehari-hari orang Indonesia. Pada periode ini, para sastrawan berkonsentrasi pada masalah seperti eksploitasi kelas sosial, ketimpangan pembangunan, marginalisasi, urbanisasi, dan persoalan moral masyarakat modern. Berikut beberapa tokoh penting dengan karya-karya unik mereka yang mencerminkan arah estetik Angkatan 70:
a. Abdul Hadi W.M (Laut Belum Pasang) → perwujudan dan puncak gerakan sufi atau mistisisme dalam puisi Indonesia modern, di mana ia menunjukkan pencarian Tuhan melalui gambaran alam yang liris.
b. Sapardi Djoko Damono (Mata Pisau) → kumpulan puisinya berfungsi sebagai cerminan kehidupan sehari-hari dan alam yang sederhana
c. Goenawan Muhamad (Catatan Pinggir) → sebagai kritik budaya dan intelektual yang reflektif. Karya membahas masalah kemanusiaan dan kebebasan berpikir di tengah represi politik.
Memasuki Periode 80-an, sastra Indonesia mulai bergerak dari kecenderungan sosial-kontekstual menuju eksplorasi bentuk dan bahasa yang lebih bebas. Para sastrawan tidak hanya menyoroti realitas sosial, tetapi juga mencari identitas kreatif melalui simbol, permainan struktur, intertekstualitas, dan gaya penulisan yang lebih personal dan kontemporer. Tema-tema seperti pergulatan batin, psikologis, eksistensial, dan kehidupan kota juga hadir dengan cara yang lebih ekspresif dan eksperimental. Perubahan besar ini membuat sastra Indonesia tampak lebih variatif dan segar, dan dari sinilah muncul banyak tokoh dengan karya-karya yang menonjol, seperti:
a. NH. Dini (Pada Sebuah Kapal) → sebagai bentuk menyuarakan kebebasan emosional dan seksual perempuan.
b. Hilman Hariwijaya (Serial Lupus) → menceritakan tentang kehidupan seorang siswa SMA kelas menengah Jakarta yang menjauhi kritik sosial yang berat.
c. Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia) → pesan tentang kemanusiaan, ketidakadilan, dan perjuangan melawan penindasan.
Semakin kesini karya sastra semakin berkembang melalui media digital, dan platform untuk publikasi karya bisa diakses secara bebas oleh siapapun. Dari perubahan besar inilah muncul fase baru yang dikenal dengan Periode Sastra Digital, yaitu ketika karya yang diciptakan bisa menyebar melalui e-book, wattpad, blog, dan lain-lain. Dan tema yang diangkat menjadi lebih personal, interaktif, tentang mental health, romansa, hubungan manusia, dan masih banyak lagi. Adapun contoh karya dan sastrawan pada Periode Sastra Digital yaitu:
a. Tere Liye (Negeri Di Ujung Tanduk) → menceritakan konflik sosial dan politik fiktif di sebuah negara yang berada di ambang kehancuran akibat korupsi, perebutan kekuasaan, dan intrik kotor antara penguasa, politisi, dan mafia.
b. Marchella FP (Hello Salma) → sekuel Dear Nathan yang menceritakan upaya Salma dan Nathan untuk berjuang menyatukan kembali cinta mereka setelah berpisah, sembari menghadapi masalah kesehatan mental dan tekanan lingkungan di masa remaja.
c. Naya Dini (Geez & Ann) → Novel Geez & Ann karya Naya Dini berfungsi sebagai contoh sastra romansa populer digital yang secara eksplisit mengangkat isu kesehatan mental dan perjuangan kaum muda mengejar passion di tengah ekspektasi sosial.
Dengan mempelajari sejarah sastra, saya semakin memahami bahwa setiap periode sastra Indonesia selalu lahir dari tantangan dan perubahan zamannya. Dari sastra lisan, cetak, hingga perkembangan angkatan yang semakin maju, kini sastra hadir dalam bentuk digital yang mudah diakses dan lebih bebas berekspresi. Perjalanan sastra ini menunjukkan bahwa kreativitas manusia akan selalu menemukan cara baru untuk bercerita dan menyuarakan kehidupan.
2. Perubahan cara pandang selama mengikuti perkuliahan
Awalnya saya mengira mata kuliah Sejarah Sastra hanya sebatas karya tulis yang indah, emosional, dan penuh majas. Dan saya juga sempat berpikir bahwa sastra hanyalah puisi, novel, cerpen, dan drama yang dibaca untuk hiburan atau sekadar dinikmati keindahan bahasanya. Namun setelah mengikuti perkuliahan, cara pandang saya mulai berubah. Saya mulai memahami bahwa sastra tidak hanya tentang estetika bahasa, tetapi juga merupakan cermin zaman yang menyimpan realitas sosial, budaya, politik, dan psikologis masyarakat pada masa tertentu.
Mata kuliah ini membuat saya sadar bahwa sastra tidak pernah lahir dalam ruang hampa. Setiap karya diciptakan karena adanya pengalaman langsung dari masyarakat yang ingin diungkapkan. Ketika bangsa berada dalam masa penjajahan, karya sastra lahir sebagai media perlawanan dan kritik terselubung. Ketika era kemerdekaan datang, sastra berubah menjadi sarana untuk menegaskan jati diri bangsa. Bahkan ketika dunia mulai memasuki era globalisasi dan teknologi, sastra pun juga ikut berkembang mengikuti media baru untuk menyampaikan gagasannya. Dari sinilah saya menyadari bahwa memahami sejarah sastra sama dengan memahami cara pemikiran masyarakat Indonesia berkembang dari waktu ke waktu. Yang paling mengubah pola pikir saya adalah pemahaman bahwa setiap periode sastra memiliki cara penyampaian, gaya bahasa, tema, dan orientasi yang dipengaruhi konteks sosial zamannya. Sekarang saya dapat membaca sastra dengan lebih kritis, memikirkan bukan hanya apa yang ditulis tetapi mengapa ditulis, tidak seperti sebelumnya, ketika saya hanya membaca karya sastra dari isinya tanpa berpikir tentang motivasi di balik penulisan tersebut. Saya menyadari bahwa realitas sosial dibungkus dalam cerita, karakter, dan konflik melalui simbol, metafora, atau bahkan bahasa yang lebih jelas.
Berubahnya cara pandang ini membuat saya memahami bahwa mempelajari sejarah sastra bukan sekadar menghafal periode, nama pengarang, atau judul karya, tetapi memahami bagaimana sastra berkembang sebagai respons terhadap perubahan masyarakat. Mata kuliah ini membantu saya memahami bahwa sastra adalah ruang untuk bersuara bagi orang-orang yang terbungkam oleh situasi dan orang-orang yang bebas berbicara. Pada akhirnya, saya sadar bahwa sastra adalah rekaman kehidupan karena sastra berubah seiring dengan masyarakat.
3. Relevansi materi Sejarah Sastra dengan praktik pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah
Melalui perkuliahan Sejarah Sastra, saya memahami bahwa karya sastra di sekolah tidak seharusnya diajarkan sebagai bacaan yang berdiri sendiri. Guru perlu menjelaskan konteks sejarah di balik lahirnya setiap karya agar siswa dapat melihat sastra sebagai cermin perjalanan bangsa, bukan sekadar hiburan atau tugas membaca. Siswa dapat memperoleh pemahaman tentang periode sastra tertentu, seperti Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan '45, dan Sastra Digital. Memahami periode sastra ini membantu mereka memahami bahwa perubahan tema dan gaya penulisan selalu terkait dengan keadaan sosial dan budaya saat itu. Siswa dapat membaca karya dengan lebih kritis dan menghargai perjuangan dan pemikiran generasi terdahulu sebagai hasilnya.
4. Sikap Kritis terhadap Perkembangan Sastra Indonesia dan Fenomena Literasi Kontemporer
Sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, saya melihat bahwa perkembangan sastra Indonesia saat ini semakin terbuka dan dinamis, terutama melalui platform digital yang memudahkan siapa pun untuk berkarya. Namun, sikap kritis tetap dibutuhkan agar perkembangan ini tidak menghilangkan esensi sastra sebagai karya yang bernilai estetik dan bermakna sosial. Banyak karya populer justru lebih mengutamakan tren, sensasi, dan komersialitas dibandingkan kualitas dan kedalaman isi. Selain itu, pembaca sering terbatas pada kutipan atau bagian viral daripada memahami karya secara menyeluruh karena fenomena literasi modern seperti membaca cepat di media sosial. Hal ini dapat menyebabkan kemampuan untuk mengapresiasi dan menganalisis sastra secara menyeluruh berkurang. Akibatnya, saya percaya bahwa generasi muda harus dilatih untuk tidak hanya menjadi pembaca pasif tetapi juga pembaca kritis yang aktif, yang mampu menilai sebuah karya berdasarkan nilai yang dibangun di dalamnya, konteks, gaya bahasa, dan temanya. Agar perkembangan sastra digital tetap berkualitas tinggi dan dapat mencerminkan realitas sosial masyarakat dengan cara yang lebih signifikan, sikap kritis ini sangat penting.
C. Penutup
Melalui pembelajaran Sejarah Sastra selama satu semester ini, saya merasakan perubahan besar dalam cara saya memahami sastra Indonesia. Saya tidak lagi melihat sastra hanya sebagai kumpulan karya tulis, tetapi sebagai rekaman perjalanan bangsa yang penuh dinamika sosial, budaya, dan pemikiran. Setiap periode yang dipelajari memperlihatkan bagaimana sastra selalu tumbuh bersama perubahan zaman dan menjadi suara masyarakatnya. Perkembangan pemahaman ini tentu tidak terlepas dari penjelasan, bimbingan, dan arah pembelajaran yang diberikan oleh Bapak Dr. Moh. Ahsan Shohifur Rizal, S.Pd., M.Pd., yang selalu mendorong kami untuk melihat sastra secara lebih kritis dan kontekstual. Dengan dukungan tersebut, saya semakin mampu memahami hubungan antara teks dan realitas kehidupan yang melahirkannya.
Dan saya juga berharap sejarah sastra terus dipelajari di kampus dan di dunia pendidikan yang lebih luas. Semoga siswa di masa depan dapat belajar sastra dengan cara yang lebih bermakna, menghargai warisan budaya, membaca secara kritis, dan membuat karya yang tidak hanya mengikuti tren tetapi juga memiliki makna dan kontribusi bagi perkembangan sastra Indonesia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
