Mewarisi Langit Pendidikan Utsmaniyah
Eduaksi | 2025-06-25 19:11:20Sistem pendidikan Kesultanan Utsmaniyah merupakan satu dari sekian warisan besar dunia Islam yang menunjukkan bahwa pendidikan bukan semata proses mentransfer ilmu, melainkan proyek besar untuk membentuk manusia utuh. Pendidikan tidak dipisahkan dari nilai, tidak terlepas dari orientasi hidup, dan tidak dipisahkan dari bangunan sosial yang menopangnya. Dalam konteks Utsmaniyah, pendidikan berfungsi untuk melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga kokoh dalam karakter, integritas, dan tanggung jawab peradaban.
Pendidikan mereka dibangun atas dasar struktur sosial yang mendukung, relasi guru dan murid yang terhormat, serta kurikulum yang menggabungkan ilmu agama dan rasionalitas. Tujuan akhirnya tidak berhenti pada keterampilan kerja, melainkan pada kebermaknaan hidup sebagai manusia yang tunduk kepada Tuhan dan berguna bagi sesama. Inilah dimensi yang semakin hilang dalam banyak sistem pendidikan modern, termasuk di Indonesia, yang secara formal mengaku progresif, tapi secara substansial kehilangan arah.
Indonesia hari ini dihadapkan pada berbagai tantangan pendidikan: disparitas akses, rendahnya literasi, ketimpangan mutu guru, dan tekanan globalisasi. Namun di atas semuanya, krisis pendidikan kita yang paling mendasar adalah krisis arah. Kita terlalu sibuk memperdebatkan struktur kurikulum, platform digital, atau istilah-istilah teknis yang terus diperbarui, tetapi jarang secara serius membicarakan: manusia seperti apa yang sebenarnya ingin kita bentuk melalui pendidikan?
Pendidikan di bawah Kesultanan Utsmaniyah dirancang secara bertingkat dan terstruktur, dimulai dari sıbyan mektebi (pendidikan dasar), medrese (pendidikan menengah dan tinggi), hingga Enderun Mektebi (sekolah istana untuk calon pemimpin negara). Setiap tingkatan bukan hanya memuat pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, spiritualitas, adab, serta pengabdian sosial. Tujuan utama pendidikan bukan berhenti pada pencapaian akademik, melainkan pembentukan watak dan kesadaran moral.
Kurikulum mereka tidak dikotomis. Ilmu agama dan ilmu sains dipelajari berdampingan. Seorang siswa bisa belajar fikih dan logika, tetapi juga astronomi dan kedokteran. Ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak mengenal dikotomi ilmu “akhirat” dan ilmu “dunia”, karena semua diarahkan untuk memperkuat manusia sebagai khalifah di bumi. Di titik inilah pendidikan menyatu antara fungsi spiritual dan fungsi sosialnya.
Yang lebih menarik, pendidikan Utsmaniyah juga ditopang oleh struktur sosial yang kuat. Sekolah-sekolah dihidupi oleh sistem wakaf, bukan sekadar anggaran negara. Guru-guru dihormati sebagai penjaga nilai dan ilmu, bukan buruh akademik yang dibebani birokrasi. Relasi antara guru dan murid dipenuhi rasa hormat dan cinta akan ilmu. Pendidikan tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari ekosistem nilai yang mengikat antara individu dan masyarakat.
Jika kita mencermati situasi pendidikan Indonesia hari ini, kita akan menemukan banyak kegagapan orientasi. Kurikulum berubah setiap beberapa tahun, masing-masing membawa jargon dan semangat baru, tetapi sering tanpa landasan filosofis yang kokoh dan konsisten. Dari CBSA ke KTSP, dari K13 ke Kurikulum Merdeka, pendidikan seperti dikejar-kejar zaman, tetapi tidak tahu hendak menuju ke mana. Kita mengejar inovasi, tapi kehilangan identitas.
Pendidikan kita lebih sibuk dengan soal teknis ketimbang soal nilai. Murid dikejar oleh proyek, laporan, dan asesmen. Guru dituntut memenuhi beban administrasi, laporan belajar, dan akreditasi. Sekolah menjadi institusi penuh tekanan, padahal seharusnya menjadi ruang tumbuh. Pendidikan direduksi menjadi sarana kompetisi—bukan ruang kolaborasi dan kontemplasi.
Lebih dari itu, orientasi pendidikan Indonesia terlalu disandarkan pada kebutuhan pasar kerja, bukan pada tujuan kemanusiaan. Pendidikan dianggap berhasil jika mampu menghasilkan lulusan yang terserap dunia industri. Padahal, menjadi manusia utuh lebih penting daripada sekadar menjadi tenaga kerja. Pendidikan adalah proses pembentukan pribadi dan nilai, bukan hanya pelatihan kompetensi teknis.
Pendidikan Utsmaniyah memang lahir dari sistem kekhalifahan dengan struktur sosial dan budaya yang jauh berbeda dari Indonesia hari ini. Namun esensinya bersifat universal: bahwa pendidikan adalah jalan membentuk manusia, bukan sekadar alat membentuk tenaga kerja. Kita tidak perlu meniru sistem mereka secara struktural, tetapi kita dapat dan seharusnya menyerap semangat dan ruh pendidikannya.
Penting untuk ditegaskan bahwa Indonesia pun memiliki sejarah pendidikan yang panjang dan mengakar, dengan warisan intelektual yang luar biasa dari para tokohnya. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan sebagai upaya memerdekakan manusia, gagasan RA Kartini tentang emansipasi dan hak belajar perempuan, perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari dalam membangun sistem pendidikan Islam modern yang kontekstual—semua itu menunjukkan bahwa Indonesia memiliki landasan filosofis dan historis yang kokoh dalam merancang sistem pendidikan.
Artinya, ketika kita merenungi sistem pendidikan Utsmaniyah, itu bukan karena kita tidak punya warisan sendiri, tetapi justru sebagai cermin pembanding. Kita diingatkan kembali bahwa pendidikan yang berpijak pada nilai, berbasis pada visi kemanusiaan, dan digerakkan oleh komunitas, bukan hal asing bagi bangsa ini. Justru saat ini, kita perlu menggali kembali nilai-nilai luhur pendidikan dari para pendiri bangsa, lalu memperkuatnya dalam kebijakan dan desain kurikulum yang relevan dengan zaman.
Pengembangan kurikulum di Indonesia seharusnya tidak berhenti pada perubahan format, model pembelajaran, atau jenis asesmen. Semua itu penting, tetapi bukan inti. Inti dari kurikulum adalah: manusia seperti apa yang ingin kita bentuk? Tanpa menjawab ini secara jujur dan filosofis, kita akan terus membuat perubahan teknis tanpa arah substantif.
Jika pendidikan Utsmaniyah menghasilkan generasi yang berilmu dan beradab, maka pendidikan Indonesia pun harus berani menetapkan tujuannya: membentuk generasi yang tidak hanya unggul dalam berpikir, tetapi juga kokoh dalam karakter. Ini berarti mengembalikan pendidikan sebagai arena pemurnian niat, pertumbuhan budi, dan penumbuhan daya pikir kritis. Bukan hanya soal capaian pembelajaran, tetapi juga soal mengapa pembelajaran itu penting.
Dan kita tidak memulai dari nol. Indonesia memiliki warisan pemikiran pendidikan yang sudah sangat kaya dan visioner. Pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Tri Pusat Pendidikan, prinsip Tut Wuri Handayani, serta upaya sistematis dari tokoh-tokoh Islam dan nasional lainnya telah memberikan fondasi nilai yang seharusnya menjadi roh dari kurikulum nasional kita. Kita hanya perlu berani menyambung warisan itu ke masa depan, bukan memutusnya atas nama modernisasi semu.
Pendidikan adalah proyek jangka panjang. Ia tidak bisa diburu dengan logika proyek. Ia adalah kerja peradaban. Ketika pendidikan kehilangan arah, maka yang terancam bukan hanya kualitas lulusan, tetapi masa depan bangsa itu sendiri. Maka kita perlu lebih dari sekadar reformasi kebijakan. Kita memerlukan reformulasi filosofi pendidikan nasional.
Kesultanan Utsmaniyah telah membuktikan bahwa pendidikan yang dibangun atas dasar nilai dan tujuan mampu bertahan ratusan tahun dan mencetak manusia-manusia besar. Indonesia pun bisa membangun itu—dengan cara sendiri, dengan struktur sendiri, dan dengan kekayaan nilai-nilai lokal sendiri.
Yang kita butuhkan sekarang bukanlah kurikulum yang terus berganti istilah, tapi kurikulum yang berakar kuat pada nilai dan berpijak pada arah yang jelas: membentuk manusia Indonesia yang berilmu, beradab, dan bertanggung jawab. Pendidikan yang berpihak pada manusia adalah satu-satunya jalan menuju bangsa yang berperadaban tinggi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
