Kondisi Ekonomi Keluarga dan Pengaruhnya terhadap Angka Putus Sekolah
Pendidikan | 2025-12-16 23:41:59
Kita semua tahu, bahwa salah satu permasalahan besar yang masih menjadi perhatian pemerintah adalah bidang pendidikan, terutama tingginya angka putus sekolah yang masih sering terjadi di berbagai daerah.
Gunawan (dalam Rosidah, 2012, sebagaimana dikutip dalam Assa et al., 2022) menjelaskan bahwa suatu fenomena putus sekolah dipahami sebagai suatu bentuk predikat yang dihadirkan terhadap mantan dari peserta didik yang tidak secara mampu menyelesaikan kewajibannya dalam menempuh pendidikan, sehingga tidak dapat dilanjutkannya pada pendidikan selanjutnya. Mc Millen dan Whitener (dalam Idris, 2011, sebagaimana dikutip dalam Assa et al., 2022) menjelaskan bahwa putus sekolah yang terjadi pada anak yang merupakan murid yang tidak dapat menyelesaikan tanggung jawab dari program pembelajarannya sebelum waktu yang telah ditetapkan atau tidak dapat di tamatkannya program pendidikan terkait.
Melansir buku bertajuk Pendidikan untuk Pembangunan Nasional karya Mohammad Ali, data Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan bahwa mayoritas yakni setara dengan jumlah presentase 76% keluarga menjelaskan bahwa penyebab utama dari anak sekolah mengalami putus sekolah yakni sebab faktor ekonomi. Sebagian besar yakni 67,0% diantaranya tidak secara mampu untuk memenuhi kewajiban administratif atau biaya sekolah sementara terkait pada sisanya yakni 8,7% secara harus mencari nafkah (DetikEdu, 2022).
Kementerian pendidikan dasar dan menengah atau kemendikdasmen diketahui telah mencatat total 3,9 juta anak yang tidak melakukan pendidikan atau tidak bersekolah saat ini. Rinciannya yakni sebanyak 881.168 anak yang diketahui tidak bersekolah sebab putus sekolah, lalu 1.027.014 anak diketahui telah lulus tapi tidak melanjutkan pada jenjang pendidikan yang selanjutnya, dan sejumlah 2.077.596 anak diketahui belum pernah menempuh pendidikan atau belum pernah bersekolah.
Permasalahan putus sekolah tidak dapat dilepaskan dari kondisi ekonomi keluarga yang kurang stabil. Banyak orang tua yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari sehingga pendidikan sering kali tidak menjadi prioritas utama. Dalam situasi seperti ini, anak-anak tidak punya pilihan selain membantu orang tua bekerja demi menambah penghasilan keluarga, dan akhirnya membuat mereka terpaksa meninggalkan pendidikan yang sedang ditekuni.
Selain itu, meskipun pemerintah telah menyediakan program pendidikan gratis, biaya-biaya lain yang dibutuhkan seperti transportasi, seragam, buku, dan kebutuhan sekolah lainnya tetap menjadi beban bagi sebagian keluarga berpenghasilan rendah. Hal inilah yang membuat ekonomi menjadi faktor dominan dalam meningkatnya angka putus sekolah di berbagai daerah.
Hal ini menunjukan bahwa meningkatnya angka putus sekolah sebagian besarnya diakibatkan oleh faktor ekonomi. Bermula dari penghasilan orang tua yang diketahui tidak menentu pada setiap harinya, lalu tanggungan dari jumlah anggota keluarga serta biaya yang dibutuhkan bukan hanya untuk kebutuhan sekolah saja, tetapi juga untuk biaya transportasi, kebutuhan individual peserta didik, dan uang saku.
Pola distribusi pendapatan yang cenderung lebih menguntungkan kelompok berpenghasilan tinggi dan menekan kelompok berpenghasilan rendah menyebabkan ketimpangan dalam akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas. Anak-anak dari keluarga kurang mampu sering kali terpaksa meninggalkan bangku sekolah, sementara anak-anak dari keluarga berkecukupan dapat menikmati fasilitas pendidikan terbaik, termasuk sekolah internasional.
Oleh karena itu, diperlukan peran aktif pemerintah dan masyarakat dalam memastikan setiap anak memperoleh hak pendidikan tanpa terhambat kondisi ekonomi. Sebagai bentuk upaya tersebut, pemerintah menyediakan sejumlah program pendidikan, di antaranya pemerintah menyediakan Program Indonesia Pintar (PIP), Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K), Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI), dan Beasiswa Indonesia Maju (BIM), Sekolah Rakyat, dan masih banyak lagi.
Meskipun ada banyak program-program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan akses pendidikan, tapi masih banyak anak yang tidak terjangkau oleh program tersebut. Keterbatasan jumlah sekolah negeri dan kualitas pendidikan yang tidak merata juga menjadi masalah.
Untuk memastikan berbagai program pemerintah benar-benar berdampak dan menjangkau kelompok masyarakat yang paling membutuhkan, maka pemerintah perlu untuk memperkuat akurasi dalam pendataan dan penargetan program agar tidak salah sasaran serta memperluas jangkauan penerima, lalu diperlukan juga pemerataan fasilitas serta kualitas pendidikan seperti peningkatan kualitas guru, pengembangan sarana dan infrastruktur pendidikan terutama di daerah terpencil, kemudian membentuk/memfasilitasi komunitas ataupun relawan yang membantu siswa dari keluarga rentan, terakhir adalah melakukan monitoring dan evaluasi program yang konsisten agar dapat memperbaiki segala kelemahan yang ada secara berkala.
Dengan adanya suatu kebijakan yang tepat sasaran dan pemerataan kualitas pendidikan, maka angka putus sekolah akibat faktor ekonomi dapat ditekan secara signifikan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
