Di Era ChatGPT, Apakah Kita Masih Butuh Berpikir Kritis?
Teknologi | 2025-06-25 02:16:26Penulis : Nikmat jaya gulo
Sekarang ini, hampir semua hal bisa kita tanyakan ke ChatGPT. Mau bikin artikel, skripsi, surat lamaran, bahkan jawaban soal ujian pun bisa langsung keluar. Cepat, rapi, dan kelihatan pintar. Tapi dari semua kemudahan itu, ada satu hal yang mulai terkikis kemampuan kita untuk berpikir kritis.
Pas saya masih SMK dulu, belum ada tuh yang namanya ChatGPT atau AI. Kalau ada tugas atau masalah, ya harus cari sendiri. Buka buku, tanya guru, diskusi sama teman. Kadang ke warnet cuma buat cari satu bahan bacaan. Capek sih, tapi dari situ kita belajar. Belajar sabar, belajar mikir, dan yang paling penting: belajar ngerti.
Sekarang? Tinggal ketik pertanyaan, klik enter, selesai. Otak jadi jarang dipakai, karena semua udah disiapkan sama AI. Pertanyaannya apakah kita masih benar-benar berpikir kritis? Saya sendiri pengguna ChatGPT, dan jujur saja, saya terbantu. Bahkan saya suka pakai ChatGPT, tapi kadang saya sendiri nggak tahu ini jawaban benar apa nggak. Yang penting enak dibaca, langsung saya salin.
Lama-lama saya sadar, makin sering saya pakai, makin jarang saya mencoba memahami sesuatu lebih dalam. Saya jadi terbiasa sama jawaban yang cepat, padahal proses berpikir itu yang paling penting. Kadang saya mikir, ini AI sebenarnya bantu kita atau justru pelan-pelan memperbudak kita? Kita jadi nyaman, terlalu nyaman, sampai lupa mikir. Lupa belajar. Semua jadi serba instan. Dan hal instan itu jarang membawa pemahaman yang mendalam.
Masalahnya, ChatGPT nggak ngajarin kita mikir. Dia cuma kasih jawaban dari data dan pola. Kita yang seharusnya nanya “kenapa” dan “bagaimana”, malah nerima mentah-mentah. Kalau ini dibiarkan terus, kita akan jadi generasi yang pintar secara teks, tapi kosong secara isi.
Saya lihat ini juga terjadi di sekolah dan kampus. Banyak siswa dan mahasiswa yang ngerjain tugas lewat AI. Bahkan saya sendiri kadang begitu. Sekilas kelihatan cerdas. Tapi giliran disuruh jelaskan, bingung harus jawab apa. Karena memang nggak paham, cuma copas. Berpikir kritis itu bukan soal tahu jawaban, tapi tahu kenapa jawabannya begitu.
Masalah lain adalah kebiasaan percaya begitu saja sama AI. Padahal AI bukan manusia sempurna. Bisa salah, bahkan bisa ngawur. Tapi karena jawabannya kelihatan yakin dan meyakinkan, kita sering terima aja, tanpa cek ulang. Ini bisa bahaya, apalagi kalau menyangkut hal sensitif kayak kesehatan, agama, hukum, atau isu sosial.
Saya juga khawatir kita kehilangan rasa ingin tahu. Karena semua udah dijawab, kita jadi nggak penasaran lagi. Padahal rasa penasaran itu awal dari semua ilmu. Kalau itu hilang, kita cuma akan jadi pengguna, bukan lagi pembelajar.
Makanya, menurut saya, di era ChatGPT ini justru kita harus makin rajin berpikir kritis. AI itu cuma alat. Bukan untuk gantiin kita, tapi bantu kita. Yang tetap harus menilai, menyaring, dan memahami adalah kita sendiri. Kita tetap harus belajar, baca banyak sumber, diskusi, dan yang paling penting berani berpikir sendiri.
Kita boleh kok pakai ChatGPT. Saya pun pakai, dan saya suka. Tapi kita harus bijak cara pakainya. Jangan cuma dipakai buat salin jawaban atau sekadar kelihatan pintar. Tapi pakailah untuk belajar, memperluas sudut pandang, dan melatih cara kita menyampaikan pikiran.
ChatGPT bisa kasih ide dan inspirasi. Tapi akal sehat, nilai, dan tanggung jawab tetap di tangan kita sebagai manusia. Jangan sampai karena dimudahkan, kita jadi terbiasa disuapi. Jangan sampai bangga pakai AI, tapi lupa mikir.
Kalau kita nggak latih berpikir kritis dari sekarang, nanti kita kehilangan kemampuan itu. Dan kalau itu terjadi, bukan kita yang pakai teknologi, tapi teknologi yang akan mengatur kita.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
