Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Muflihin

AI Bukan Guru, Tapi Teman Diskusi: Menyikapi Kecerdasan Buatan dengan Kritis dan Bijak

Pendidikan dan Literasi | 2025-06-20 07:05:26
Ilustrasi: Artificial Intelligence Center Indonesia (AiCI)

Di era banjir informasi dan kecanggihan teknologi saat ini, kecerdasan buatan (AI) hadir sebagai alat yang sangat membantu dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan. Namun, muncul sebuah kekeliruan yang mulai mengakar di tengah masyarakat—yakni kecenderungan menjadikan AI sebagai guru utama, sumber pengetahuan final yang tak perlu dikritisi. Padahal, sikap semacam ini justru menyesatkan dan berbahaya.

AI, sebagaimana diakui oleh para ahli, adalah sistem yang belajar dari data, bukan dari nilai. Ia cerdas, tetapi bukan bijak. Ia pintar menyajikan informasi, tetapi tidak selalu benar, apalagi dalam konteks yang memerlukan penilaian moral, etika, dan konteks budaya yang dalam.

Mengapa AI Bukan Guru?

Dalam teori konstruktivisme yang dikembangkan oleh Jean Piaget dan Lev Vygotsky, pembelajaran adalah proses aktif di mana pengetahuan dibangun melalui interaksi sosial dan pengalaman pribadi. Seorang guru sejati bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membimbing, memberi konteks, menumbuhkan nilai, serta melatih nalar kritis siswa. Sementara itu, AI hanya dapat menyajikan pengetahuan berdasarkan data yang sudah ada.

Di sinilah letak bahayanya ketika AI diposisikan sebagai guru. Ketika kita mempercayai hasil keluaran AI secara buta tanpa proses cross-checking, maka kita kehilangan esensi berpikir kritis (critical thinking) yang seharusnya menjadi pilar utama dalam pendidikan abad ke-21. UNESCO sendiri menekankan pentingnya media and information literacy—kemampuan menyaring dan mengevaluasi informasi, bukan sekadar menerima.

AI Sebagai Teman Diskusi

Alih-alih menjadikannya guru, pendekatan yang lebih tepat adalah memosisikan AI sebagai teman diskusi. Kita perlu memperlakukan AI seperti rekan berpikir—yang boleh dibantah, dikritik, bahkan diluruskan. Dalam konteks pendidikan Islam, ini sejalan dengan prinsip al-hiwar (dialog) yang melatih siswa untuk berargumentasi secara ilmiah dan santun. AI harus menjadi stimulus, bukan konklusi.

Dalam ranah pedagogi modern, peran AI yang ideal sejalan dengan andragogi (pendekatan pembelajaran orang dewasa) menurut Malcolm Knowles: bahwa pembelajar dewasa harus menjadi subjek yang aktif dalam proses belajar, bukan objek pasif yang hanya menerima informasi. Maka dari itu, ketika berinteraksi dengan AI, seseorang harus tetap mempertahankan kendali intelektualnya—menanya, menganalisis, dan mengevaluasi.

Tantangan dan Solusi

Tidak bisa dimungkiri, banyak pelajar (dan bahkan pengajar) yang kini mengandalkan AI untuk menyelesaikan tugas atau mencari referensi, namun jarang melakukan verifikasi ulang. Ini menjadi tantangan serius dalam dunia pendidikan. Jika dibiarkan, kita berisiko mencetak generasi yang dependent pada teknologi tanpa kemampuan berpikir mandiri.

Solusinya adalah membangun budaya literasi digital yang kuat. Setiap pengguna AI harus dilatih untuk tidak hanya bisa mengakses, tetapi juga menilai informasi. Guru dan dosen perlu mengedukasi siswa tentang bias algoritma, potensi kesalahan data, serta pentingnya membaca berbagai sumber sebelum menarik kesimpulan.

Penutup

AI adalah alat, bukan otoritas. Ia bukan guru, tapi partner diskusi. Di tengah geliat kemajuan teknologi, mari kita tidak kehilangan daya nalar. Karena pada akhirnya, pendidikan sejati bukan hanya soal mengetahui, tetapi memahami dan memaknai.

Profil Penulis: Ahmad Muflihin, S.Pd.I., M.Pd., adalah dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Sultan Agung, Semarang. Aktif meneliti bidang kurikulum, spiritual pedagogy, dan inovasi pendidikan Islam berbasis teknologi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image