Mahasiswa, AI, dan Tantangan Berpikir Kritis
Gaya Hidup | 2025-12-18 11:38:41"Ketika lebih dari 90 persen mahasiswa mengandalkan ChatGPT untuk belajar, pertanyaan terbesarnya bukan lagi soal teknologi, melainkan tentang bagaimana akal digunakan"
Hasil riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) baru-baru ini layak menjadi bahan renungan bersama, terutama bagi dunia pendidikan tinggi. Dalam survei yang dilakukan pada 2025 terhadap 293 mahasiswa dari 17 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di Indonesia, lebih dari 90 persen responden mengaku sering menggunakan ChatGPT dalam aktivitas akademik mereka. Angka ini menunjukkan bahwa kecerdasan buatan bukan lagi sekadar alat tambahan, melainkan telah menjadi bagian dari keseharian mahasiswa.
Pada satu sisi, temuan ini tidak mengejutkan. AI menawarkan kemudahan yang sulit ditolak. Mahasiswa dapat dengan cepat memperoleh ringkasan materi, contoh tulisan, hingga bantuan menyusun kerangka tugas. Di tengah beban kuliah yang padat dan tuntutan akademik yang tinggi, penggunaan teknologi semacam ini terasa praktis dan efisien. Dalam batas tertentu, teknologi memang membantu.
Namun, persoalannya tidak berhenti pada soal kemudahan. Tim peneliti BRIN juga menyoroti dampak yang lebih dalam. Prof. Farida Hanun, periset BRIN, merujuk pada hasil kajian terhadap 44 artikel ilmiah yang terindeks Scopus. Dari kajian tersebut, ditemukan kecenderungan penurunan kemampuan berpikir kritis serta meningkatnya praktik plagiarisme pada mahasiswa yang terlalu bergantung pada AI. Di titik ini, penggunaan teknologi mulai memunculkan tanda tanya.
Aktivis pendidikan Marnina Ika Putri melihat persoalan ini bukan sekadar soal etika penggunaan teknologi. Menurutnya, ketika AI dijadikan rujukan utama, proses berpikir pelan-pelan tergeser. Mahasiswa menjadi terbiasa mencari jawaban instan, bukan menempuh proses memahami, menganalisis, dan menyimpulkan secara mandiri. Akibatnya, tradisi berpikir ilmiah yang seharusnya menjadi ruh perguruan tinggi perlahan melemah.
Persoalan ini semakin relevan karena riset tersebut dilakukan di lingkungan PTKIN. Kampus keagamaan idealnya tidak hanya mencetak lulusan yang terampil secara akademik, tetapi juga matang secara nalar dan nilai. Dalam tradisi Islam, akal memiliki posisi yang sangat penting. Ia bukan hanya alat belajar, tetapi amanah yang harus dijaga dan dikembangkan.
Masalahnya, perkembangan teknologi digital berjalan dalam ekosistem yang mendorong kecepatan dan efisiensi. Platform AI dikembangkan agar pengguna semakin bergantung dan terus menggunakan layanan yang tersedia. Tanpa disadari, mahasiswa hidup dalam budaya instan. Proses yang seharusnya dilalui pelan-pelan menjadi dipercepat, bahkan dilewati. Di sinilah tantangan sesungguhnya muncul.
Pedoman penggunaan AI yang disusun oleh kampus atau kementerian tentu diperlukan, tetapi itu belum cukup. Persoalan yang dihadapi bukan hanya perilaku individu, melainkan cara berpikir yang dibentuk oleh lingkungan digital. Jika pendidikan terlalu menekankan hasil akhir tanpa menghargai proses, maka ketergantungan pada teknologi akan semakin sulit dihindari.
Dalam konteks ini, perlu ada upaya mengembalikan makna belajar sebagai proses. Mahasiswa perlu didorong untuk membaca, berdiskusi, menulis, dan berargumentasi dengan pikirannya sendiri. AI bisa digunakan sebagai alat bantu, tetapi tidak boleh menggantikan peran akal. Jika tidak, kita berisiko melahirkan generasi yang cepat mengakses informasi, tetapi dangkal dalam pemahaman.
Bagi kampus keagamaan, tantangan ini seharusnya menjadi momentum evaluasi. Pendidikan Islam tidak pernah menempatkan kemudahan di atas kebenaran, atau kecepatan di atas kedalaman. Teknologi semestinya diarahkan untuk mendukung kemaslahatan, bukan melemahkan daya pikir manusia.
Riset BRIN ini patut dibaca sebagai peringatan dini. Bukan untuk menolak kecerdasan buatan, tetapi untuk menata ulang cara menggunakannya. Sebab, masa depan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh seberapa canggih teknologi yang digunakan, melainkan oleh seberapa kuat akal dan karakter generasi yang menggunakannya.
Jika akal melemah, kemajuan apa pun akan kehilangan arah. Dan bagi dunia pendidikan, terutama pendidikan keagamaan, menjaga akal tetap hidup adalah tanggung jawab yang tidak bisa ditawar.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
