Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Wahyudi

Negara Tanpa Firewall: Saat Data Kita Jadi Komoditas, Siapa yang Melindungi?

Edukasi | 2025-06-17 18:45:06

Bayangkan rumahmu tak punya pintu. Siapa saja bisa masuk, mengobrak-abrik isinya, dan mencatat setiap aktivitasmu. Begitulah kondisi digital kita hari ini. Kita hidup dalam dunia di mana data pribadi adalah barang dagangan, dan regulasi digital seperti polisi yang tertidur.

Dari aplikasi belanja, platform media sosial, hingga game dan pinjaman online, setiap klik, pencarian, dan lokasi yang kamu kunjungi bisa direkam. Masalahnya? Hampir tidak ada jaminan bahwa data itu aman. Bahkan sering kali, kamu tak tahu ke mana datamu pergi.Lantas, apakah kita benar-benar berdaulat di ruang digital? Atau hanya jadi produk yang dijual oleh sistem tanpa hukum yang memadai?

Ilustrasi gambar untuk Negara Tanpa Firewall: Saat Data Kita Jadi Komoditas, Siapa yang Melindungi?,sumber https://www.pexels.com/id-id/foto/internet-koneksi-keterkaitan-hubungan-6366444/

Babak Gelap: Ketika Data Jadi Mata Uang Baru

Di era digital, data adalah mata uang. Ia lebih bernilai daripada emas atau minyak. Dengan data, perusahaan bisa memetakan perilaku, menentukan iklan, bahkan mempengaruhi pilihan politik. Tapi beda dengan uang, data seringkali dikumpulkan tanpa izin, dijual tanpa sepengetahuan, dan dipakai tanpa pertanggungjawaban.

Menurut laporan Data Reportal 2024, lebih dari 200 juta pengguna internet Indonesia aktif setiap hari. Tapi ironisnya, Indonesia juga termasuk negara dengan jumlah insiden kebocoran data tertinggi di Asia Tenggara. Dari data SIM, BPJS, hingga data pemilih, semuanya pernah bocor.Parahnya lagi, hanya segelintir kasus yang benar-benar ditangani secara serius. Akibatnya, publik merasa tidak aman, dan pelaku merasa bebas.

Regulasi Ada, Tapi Seperti Dekorasi

Pada 2022, pemerintah akhirnya mengesahkan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Harapannya, ini bisa menjadi ‘tameng’ pertama pengguna digital dari berbagai pelanggaran. Tapi bagaimana kenyataannya?

Masalahnya ada di sini:

 

  • Lembaga pengawas belum terbentuk secara aktif.
  • Implementasi hukum sangat lambat dan lemah.
  • Tak ada transparansi penanganan kasus kebocoran.
  • Sanksi untuk pelaku seringkali ringan atau tidak berjalan.

Contoh: Kasus kebocoran 279 juta data BPJS Kesehatan (2021). Meski sempat ramai, tidak ada satu pun eksekutif perusahaan teknologi atau pejabat yang dimintai pertanggungjawaban secara hukum.

Digitalisasi Tanpa Pengamanan: Bumerang untuk Negara

Pemerintah mendorong semua sektor untuk digitalisasi. Layanan publik berbasis aplikasi? Check. KTP digital? Check. Sistem pendidikan daring? Sudah mulai.Tapi ada satu yang ketinggalan: pengamanan dan etika digital.

Tanpa perlindungan yang kuat, digitalisasi justru bisa menjadi bumerang. Data penduduk bisa disalahgunakan. Layanan penting bisa lumpuh akibat serangan siber. Bahkan stabilitas sosial bisa goyah karena disinformasi yang tak terkendali.Seolah kita membangun kota modern, tapi melupakan membangun temboknya. Terbuka bagi siapa saja, termasuk penjahat digital.

Masalah Tak Hanya dari Luar: Kita Sendiri Juga Lalai

Jangan buru-buru menyalahkan pemerintah atau perusahaan besar saja. Masyarakat juga perlu melek keamanan digital. Banyak dari kita dengan santai:

 

  • Membagikan nomor HP dan alamat rumah di internet.
  • Mengunggah foto KTP untuk promo.
  • Mengklik link sembarangan dari pesan tak dikenal.
  • Mengabaikan izin aplikasi yang mencurigakan.

Literasi digital kita masih rendah. Kita harus mengakui: kita terlalu mudah percaya, terlalu gampang memberi izin, dan terlalu malas baca syarat & ketentuan.

Mendesak: Regulasi yang Tegas, Edukasi yang Masif

Untuk membangun ruang digital yang aman dan sehat, perlu pendekatan dua arah: regulasi kuat dari atas, dan kesadaran dari bawah.

Apa yang harus dilakukan pemerintah?

 

  1. Segera aktifkan otoritas perlindungan data yang independen.
  2. Terapkan sanksi nyata kepada perusahaan digital yang melanggar.
  3. Wajibkan transparansi pemakaian data oleh semua platform.
  4. Audit keamanan siber secara berkala pada layanan publik dan swasta.
  5. Tingkatkan kerja sama internasional melawan kejahatan digital lintas negara.
Apa yang bisa dilakukan masyarakat?

 

  • Selalu gunakan otentikasi ganda (2FA) di akun penting.
  • Hindari mengunggah informasi sensitif di media sosial.
  • Baca izin akses aplikasi sebelum mengunduh.
  • Laporkan setiap bentuk pelanggaran digital atau penipuan siber.
  • Ikuti pelatihan literasi digital gratis yang kini banyak tersedia.

Negara Harus Hadir, Tapi Warga Juga Harus Sadar

Keamanan digital adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah wajib hadir dengan regulasi dan infrastruktur yang kuat. Tapi warga juga harus tahu hak-haknya, kritis terhadap aplikasi dan platform, serta aktif menjaga identitas digitalnya.Jangan sampai kita hanya menjadi "produk" yang diperdagangkan di pasar data global.

Kesimpulan

Sudah saatnya Indonesia tidak hanya menjadi pasar digital, tapi juga negara digital yang berdaulat dan melindungi rakyatnya. Kita butuh regulasi yang tidak hanya indah di atas kertas, tapi benar-benar melindungi pengguna dari ancaman siber, manipulasi data, dan eksploitasi ekonomi digital.

Privasi bukan bonus. Ia adalah hak asasi. Keamanan bukan kemewahan. Ia adalah kebutuhan.Jika negara tidak membangun firewall bagi rakyatnya, maka rakyatlah yang harus membangun kesadarannya sendiri. Jangan sampai kita baru sadar pentingnya perlindungan digital, setelah semuanya terlambat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image