Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dwina Khoirunnisa Sobiroh

Ketika Sekolah Tak Lagi Aman: Saatnya Serius Hadapi Bullying

Pendidikan dan Literasi | 2025-06-17 08:18:07

Pada Mei 2025, publik dikejutkan oleh berita kasus perundungan di MTsN 1 Batam. Vanza Prayoga Alfaros, siswa kelas 1, diduga dikeroyok oleh sekitar 16 senior hingga mengalami patah tulang bahu dan luka lebam. Ironisnya, sekolah baru memberi perawatan medis dua hari kemudian, setelah orangtua Vanza dihubungi dan CCTV di lokasi kejadian diklaim rusak. Kasus bullying seperti ini bukanlah yang pertama terjadi di Indonesia, dan jika tidak segera ditindak, jelas bukan yang terakhir.

Perundungan di lingkungan sekolah kerap dipandang sebagai sesuatu yang lumrah, seolah itu merupakan bagian dari "tradisi" yang harus dilewati oleh para siswa yang baru. Namun kenyataannya, perundungan meninggalkan dampak yang jauh lebih serius daripada hanya sekedar luka fisik. Berdasarkan informasi dari KPAI, selama lima tahun terakhir, jumlah kasus kekerasan terhadap anak di sekolah terus mengalami kenaikan, dan sebagian besar pelakunya adalah sesama siswa. Ini bukan hanya sekedar kenakalan remaja. Ini adalah bentuk kekerasan yang sistematis dan sering kali dibiarkan begitu saja.

Bullying sering disebut sebagai “the silent destroyer” karena dampaknya yang merusak dan seringkali tak terlihat jelas namun sangat menghancurkan. Anak yang menjadi korban bullying berisiko tinggi mengalami depresi, gangguan kecemasan, dan penurunan drastis dalam prestasi belajar. Dalam beberapa kasus, trauma akibat bullying bahkan terbawa hingga dewasa, memengaruhi hubungan sosial dan kepercayaan diri seseorang.

Perilaku pembullyan yang terjadi sering kali menyebabkan trauma pada korban dan berdampak negatif terhadap proses pembelajaran siswa tersebut, (Claudia, 2020). Salah satu dampak yang sering tidak diperhatikan adalah hilangnya perasaan aman di lingkungan sekolah. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang nyaman untuk belajar, tetapi bagi mereka yang menjadi korban, ruang kelas justru terasa seperti medan perang. Ketakutan yang terus menerus mengganggu fokus belajar, menurunkan semangat siswa untuk berkembang, dan mengurangi motivasi belajar siswa untuk terus maju.

Ada banyak alasan mengapa bullying masih terjadi di sekolah. Pertama, kurangnya sistem pelaporan yang aman dan rahasia. Banyak korban memilih diam karena takut akan pembalasan atau tidak percaya pihak sekolah akan bertindak. Kedua, kurangnya pelatihan bagi guru dan staf sekolah untuk mengenali dan menangani kasus bullying. Ketiga, masih ada budaya “menormalkan” kekerasan, di mana siswa yang melapor dianggap lemah atau “tidak tahan banting”. Lebih dari itu, beberapa sekolah cenderung menutupi kasus bullying demi menjaga citra institusi. Dalam kasus Vanza, misalnya, keluarga korban menilai pihak sekolah lambat bertindak dan kurang transparan. Ini menunjukkan betapa masih minimnya komitmen sebagian institusi pendidikan dalam melindungi hak-hak dasar siswa.

Psikolog anak Seto Mulyadi, yang akrab dipanggil Kak Seto, pernah mengatakan, “Satu anak yang menangis karena dibully adalah tangisan kita semua yang gagal melindunginya.” Ungkapan ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa tindakan bullying bukanlah urusan individu, tetapi masalah bersama. Kasus Vanza adalah panggilan darurat bagi semua pihak: orang tua, guru, kepala sekolah, pemerintah, bahkan kita sebagai masyarakat. Jika kita masih menoleransi kekerasan dengan alasan tradisi atau citra sekolah, maka kita sedang membiarkan generasi muda tumbuh dalam ketakutan. Sudah saatnya kita bersuara lebih lantang: sekolah harus menjadi tempat paling aman untuk anak-anak dan bukan sebaliknya. Karena setiap anak berhak merasa aman dan bahagia di sekolah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image