Bullying di Sekolah: Luka yang Tak Terlihat di Balik Dinding Kelas
Eduaksi | 2025-12-05 12:58:46Bullying atau perundungan di lingkungan sekolah bukan isu baru, tetapi tetap menjadi problem serius. Hal ini memberikan dampak jangka panjang bagi korban, pelaku, bahkan kondisi sosial di sekitar mereka. Seharusnya, sekolah jadi tempat yang aman untuk belajar dan berkembang. Akan tetapi, bagi sebagian siswa, sekolah justru menjadi sumber rasa cemas dan takut.
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) di tahun 2024 menunjukkan bahwa sekitar 41% anak di Indonesia pernah mengalami tindakan kekerasan di sekolah. Bentuknya bisa macam-macam, mulai dari fisik, verbal, sosial, sampai lewat media digital (cyberbullying). Fakta ini memperlihatkan bahwa bullying bukan cuma masalah individu, namun sudah jadi problem sistemik yang butuh perhatian dari semua pihak.
Beragam Bentuk dan Pola Bullying di Sekolah
Bullying bisa muncul dalam berbagai rupa, sering kali tersamar di balik perilaku bercanda antar siswa. Secara umum, bentuk-bentuk perundungan ini meliputi:
1. Bullying Fisik: Tindakan seperti memukul, menendang, atau menghancurkan barang milik teman.
2. Bullying Verbal: Tindakan mengejek, menghina, memberi panggilan kasar, atau mempermalukan seseorang di depan banyak orang.
3. Bullying Sosial: Tindakan mengucilkan seseorang dari kelompok, menyebarkan gosip yang tidak benar, atau memanipulasi hubungan pertemanan.
4. Cyberbullying: Tindakan menggunakan media sosial untuk menghina, memalukan, atau menyebarkan berita bohong tentang seseorang.
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus cyberbullying naik sangat pesat seiring dengan makin banyak pelajar yang memakai media sosial. Data dari UNICEF (2023) menyebutkan bahwa 1 dari 3 remaja di seluruh dunia pernah menjadi korban perundungan lewat internet. Mirisnya, sebagian besar dari mereka tidak tahu harus mengadu ke siapa.
Akibatnya pada Psikologis dan Sosial
Pengaruh bullying tidak cuma terasa saat itu saja, tapi bisa menimbulkan trauma yang berlarut-larut. Korban bullying sering menunjukkan tanda-tanda seperti depresi, cemas berlebihan, menurunnya prestasi di sekolah, hingga tidak mau lagi pergi ke sekolah. Bahkan, dalam kasus yang parah, bullying bisa mendorong tindakan menyakiti diri sendiri (self-harm) hingga sampai pada pikiran untuk bunuh diri.
Untuk pelaku, perilaku bullying yang terus dibiarkan tanpa ada tindakan bisa membentuk kebiasaan agresif yang terbawa sampai dewasa. Hal ini bahkan meningkatkan risiko melakukan kekerasan dalam hubungan sosial atau di lingkungan keluarga kelak. Sementara itu, orang-orang yang melihat bullying tapi tidak berani melaporkan juga bisa merasa bersalah, takut, dan akhirnya menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang biasa saja.
Mengapa Bullying Bisa Terjadi?
Ada beberapa hal yang bisa membuat bullying terjadi di sekolah, antara lain:
1. Lingkungan Sekolah yang Kurang Tegas: Misalnya, guru atau pihak sekolah kurang memberikan sanksi tegas terhadap pelaku bullying.
2. Keluarga yang Bermasalah: Anak-anak yang sering melihat atau menjadi korban kekerasan di rumah cenderung melakukan bullying.
3. Tekanan Sosial dan Ambisi untuk Mendapatkan Status: Pelaku bullying ingin menunjukkan bahwa mereka lebih berkuasa atau lebih unggul dari teman-temannya.
4. Kurangnya Pengetahuan tentang Dunia Digital: Pelajar jadi tidak mengerti bagaimana cara berinteraksi yang baik di dunia maya.
Psikolog anak dan remaja mengatakan bahwa perilaku bullying sering kali muncul karena ada kebutuhan emosional yang belum terpenuhi, seperti merasa tidak aman atau ingin mendapat pengakuan.
Apa yang Bisa Dilakukan Sekolah dan Orang Tua?
Untuk mengatasi bullying, dibutuhkan kerja sama yang baik antara pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat. Beberapa tindakan yang bisa diambil untuk mencegah dan menanggulangi perilaku bullying antara lain:
1. Membuat Kebijakan Anti-Bullying yang Jelas: Sekolah harus punya aturan yang jelas tentang bullying, cara melaporkan yang aman, dan sanksi yang sifatnya mendidik.
2. Memberikan Pendidikan Karakter dan Empati: Melatih siswa untuk memahami perasaan orang lain, bisa mengatur emosi dengan baik, dan menghargai perbedaan.
3. Melibatkan Orang Tua: Guru dan orang tua harus sering berkomunikasi untuk memantau perubahan perilaku anak.
4. Menyediakan Layanan Konseling di Sekolah: Setiap sekolah sebaiknya punya konselor profesional yang bisa menangani kasus bullying dan mendampingi korban.
5. Mengadakan Kampanye Literasi Digital: Memberikan edukasi tentang etika menggunakan media sosial, menjaga privasi, dan dampak dari cyberbullying sebagai bagian dari kurikulum.
Bullying bukan cuma sekadar kenakalan anak-anak, tapi juga merupakan bentuk kekerasan psikologis dan sosial yang bisa mengancam masa depan generasi muda. Pencegahan dan penanganan bullying tidak bisa cuma dilakukan saat masalah sudah terjadi. Tindakan ini harus dimulai dengan membangun budaya sekolah yang penuh empati, inklusif, dan saling menghormati.
Seperti yang pernah dikatakan Nelson Mandela, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.” Jadi, menciptakan lingkungan sekolah yang bebas dari bullying merupakan langkah awal untuk membentuk generasi yang sehat, tidak cuma dari segi akademis, tapi juga secara emosional dan sosial.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
