Perlindungan Anak di Tengah Bayang-Bayang KDRT: Antara Regulasi dan Realitas
Hukum | 2025-06-11 20:50:56
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah isu baru di Indonesia, namun dampaknya masih terus terasa hingga hari ini. Ironisnya, di balik dinding rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi seorang anak, justru kerap terjadi kekerasan yang meninggalkan luka fisik maupun psikis. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan tidak hanya kehilangan rasa aman, tetapi juga berisiko mengalami gangguan perkembangan, trauma berkepanjangan, bahkan meniru siklus kekerasan itu sendiri ketika dewasa kelak.
Data dari berbagai lembaga perlindungan anak menunjukkan bahwa anak sering kali menjadi korban langsung maupun tidak langsung dari KDRT. Sayangnya, tidak semua kasus terungkap ke permukaan karena kuatnya budaya diam dalam keluarga dan masyarakat. Dalam banyak kasus, kekerasan dianggap sebagai urusan privat, padahal dampaknya sangat publik dan sistemik, terutama terhadap generasi penerus bangsa.
Artikel ini bertujuan untuk mengulas bagaimana kekerasan dalam rumah tangga berdampak terhadap anak, sejauh mana perlindungan hukum di Indonesia bekerja untuk mencegah dan menanganinya, serta apa saja tantangan yang masih menghambat perlindungan anak secara menyeluruh. Diharapkan, tulisan ini dapat menjadi bahan refleksi sekaligus dorongan untuk terus memperkuat sistem perlindungan anak di Indonesia bukan hanya lewat regulasi, tetapi juga melalui kesadaran kolektif.
Anak sebagai Korban KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya melibatkan pasangan suami istri. Anak-anak, baik sebagai saksi maupun korban langsung, sering kali terperangkap dalam dinamika relasi kuasa yang timpang dan tidak sehat. Bentuk kekerasan yang mereka alami beragam—mulai dari kekerasan fisik seperti pemukulan, cubitan, dan hukuman berlebihan, hingga kekerasan psikis berupa hinaan, ancaman, atau pengabaian emosional yang sistematis.
Tak kalah serius adalah bentuk kekerasan berupa penelantaran. Anak-anak yang tidak diberi perhatian, kasih sayang, atau kebutuhan dasar seperti makanan, pendidikan, dan perlindungan kesehatan sejatinya juga mengalami bentuk kekerasan yang kerap luput dari perhatian masyarakat. Bahkan dalam beberapa kasus, anak dijadikan alat untuk menekan pasangan, menjadi korban dalam konflik orang tua, atau diseret ke dalam pertikaian yang mereka sendiri tidak pahami.
Dampak dari KDRT terhadap anak sangat kompleks. Dalam jangka pendek, anak dapat mengalami kecemasan, ketakutan, penurunan prestasi belajar, bahkan gejala depresi. Dalam jangka panjang, efeknya bisa lebih mengkhawatirkan. Banyak studi menunjukkan bahwa anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan berisiko lebih tinggi menjadi pelaku atau korban kekerasan di masa dewasa. Lingkaran kekerasan ini sulit diputus jika tidak ada intervensi yang tepat dari keluarga, masyarakat, maupun negara.
Masalahnya, banyak dari kekerasan ini tidak pernah sampai ke meja pelaporan. Anak-anak sering kali tidak memiliki suara untuk mengungkapkan apa yang mereka alami. Ditambah lagi dengan normalisasi kekerasan dalam budaya tertentu, banyak perilaku kasar terhadap anak justru dianggap sebagai “cara mendidik”. Padahal, tidak ada kekerasan yang dapat dibenarkan, terlebih terhadap individu yang secara hukum dan moral masih dalam tahap tumbuh kembang dan sangat bergantung pada perlindungan orang dewasa.
Perlindungan Hukum terhadap Anak
Indonesia sebenarnya telah memiliki kerangka hukum yang cukup komprehensif dalam hal perlindungan anak, khususnya dari kekerasan dalam rumah tangga. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang kemudian diperbarui melalui Undang-Undang No. 35 Tahun 2014, secara tegas menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Selain itu, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga turut memperkuat posisi hukum anak sebagai pihak yang harus dilindungi. Pasal 2 ayat (1) UU ini secara eksplisit menyebutkan bahwa korban KDRT mencakup istri, suami, dan anak. Ini menandakan bahwa anak tidak lagi dilihat sebagai sekadar “efek samping” dari kekerasan rumah tangga, tetapi sebagai subjek hukum yang memiliki hak untuk dilindungi secara aktif.
Tak hanya itu, berbagai lembaga negara juga memiliki mandat untuk memastikan perlindungan anak dari kekerasan, termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA) yang tersebar di berbagai daerah. Lembaga-lembaga ini memberikan layanan pendampingan hukum, psikologis, dan rehabilitasi sosial bagi anak yang menjadi korban kekerasan.
Sekalipun kerangka regulasi dan keberadaan lembaga perlindungan anak telah dibentuk, hal tersebut belum memadai untuk menjamin efektivitas perlindungan di tingkat implementasi. Realitas di lapangan menunjukkan masih terdapat berbagai kendala, terutama dalam menjangkau anak-anak korban di wilayah dengan keterbatasan akses terhadap layanan hukum dan sosial. Oleh karena itu, upaya perlindungan hukum terhadap anak dari kekerasan dalam rumah tangga harus disinergikan dengan langkah-langkah operasional yang melibatkan kolaborasi lintas sektor, meliputi keluarga, institusi pendidikan, komunitas lokal, serta aparat penegak hukum.
Namun demikian, hukum tidak hanya bicara soal norma tertulis, melainkan juga bagaimana ia ditegakkan dengan perspektif yang adil dan sensitif terhadap korban, terutama anak-anak. Sayangnya, meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak dan UU Penghapusan KDRT, penerapannya kerap kali tidak berpihak pada kepentingan terbaik anak (the best interest of the child). Banyak aparat penegak hukum yang belum memiliki pelatihan khusus dalam menangani kasus kekerasan berbasis anak, sehingga pendekatannya masih cenderung formalistik dan kaku, bahkan dalam beberapa kasus menimbulkan reviktimisasi terhadap anak korban.
Dari sisi legislasi, hukum positif Indonesia masih menunjukkan kekosongan norma dalam menjamin keadilan yang benar-benar berpihak pada korban anak. Misalnya, belum adanya ketentuan wajib pelaporan bagi tenaga kesehatan atau pendidikan ketika menemukan indikasi kekerasan terhadap anak, yang dalam banyak negara sudah menjadi kewajiban hukum. Di sisi lain, sanksi pidana terhadap pelaku KDRT sering kali tidak memberikan efek jera, terutama jika pelaku masih memiliki kuasa ekonomi atau sosial dalam keluarga.
Oleh karena itu, sudah saatnya pembuat kebijakan memikirkan pembaruan hukum yang tidak hanya represif, tetapi juga restoratif. Pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) yang menekankan pemulihan, perlindungan korban, dan rehabilitasi pelaku selama tidak mengabaikan prinsip akuntabilitas hukum perlu mulai diterapkan dalam konteks perlindungan anak dari KDRT. Selain itu, pelibatan anak sebagai subjek hukum yang memiliki hak untuk didengar dalam proses hukum, sesuai dengan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia, harus diinternalisasi dalam setiap proses peradilan.
Tantangan Implementasi
Meskipun perlindungan hukum terhadap anak dari kekerasan dalam rumah tangga telah diatur secara jelas, kenyataannya implementasi di lapangan masih menemui banyak kendala. Salah satu tantangan terbesar adalah minimnya pelaporan. Banyak kasus KDRT terhadap anak tidak pernah tercatat secara resmi karena dianggap sebagai "urusan internal keluarga". Norma sosial yang menempatkan keharmonisan rumah tangga di atas segalanya sering kali membuat korban baik anak maupun ibu memilih diam, takut menanggung aib, atau bahkan tidak menyadari bahwa mereka mengalami kekerasan.
Tantangan lain yang tak kalah besar adalah budaya patriarki dan relasi kuasa dalam keluarga. Dalam banyak keluarga Indonesia, orang tua masih dianggap memiliki otoritas absolut terhadap anak, termasuk dalam hal "mendisiplinkan" dengan cara yang keras. Kekerasan fisik dan verbal sering kali dibenarkan atas nama pendidikan, padahal justru berdampak traumatis bagi anak. Budaya ini sulit diubah karena sudah mengakar kuat dan diwariskan lintas generasi.
Kurangnya edukasi dan pemahaman masyarakat terhadap bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak juga menjadi faktor penghambat. Tidak semua orang tua memahami bahwa menakut-nakuti anak, mengabaikan kebutuhan emosionalnya, atau menghina dan merendahkan anak termasuk dalam kategori kekerasan. Dalam beberapa kasus, bahkan pihak sekolah, tetangga, atau kerabat yang mengetahui adanya kekerasan pun memilih tidak campur tangan karena merasa tidak punya wewenang atau takut mencampuri urusan pribadi orang lain.
Semua tantangan ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap anak bukan hanya soal adanya undang-undang, tetapi juga soal bagaimana masyarakat dan negara memastikan hukum itu bekerja secara nyata di tengah masyarakat dengan pendekatan yang manusiawi, responsif, dan berpihak pada kepentingan terbaik anak.
Perbandingan Perlindungan Anak dari KDRT di Beberapa Negara
Beberapa negara maju memiliki pendekatan yang sangat sistematis dan terintegrasi dalam melindungi anak dari kekerasan dalam rumah tangga. Misalnya, di Swedia, negara ini menerapkan kebijakan “Zero Tolerance” terhadap kekerasan dalam rumah tangga, termasuk perlindungan khusus bagi anak-anak. Pemerintah Swedia menggabungkan regulasi yang ketat dengan program edukasi intensif untuk keluarga, sekolah, dan tenaga kesehatan, sehingga pencegahan kekerasan menjadi bagian dari budaya nasional.
Selain itu, di Australia, ada sistem pelaporan kekerasan yang mudah diakses melalui layanan hotline 24 jam serta jaringan pendampingan anak yang tersebar luas di seluruh negara bagian. Program rehabilitasi dan konseling untuk anak korban KDRT sangat diprioritaskan, serta ada pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum untuk menangani kasus kekerasan dengan sensitivitas tinggi terhadap kebutuhan psikologis anak.
Negara-negara seperti Norwegia juga menekankan pentingnya intervensi dini melalui kerja sama antar lembaga sosial, pendidikan, dan kesehatan. Mereka mengadopsi model “child-centered approach” yang menempatkan hak dan kesejahteraan anak sebagai fokus utama dalam setiap tindakan perlindungan.
Pembelajaran dari pengalaman negara-negara tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan perlindungan anak dari KDRT sangat bergantung pada integrasi sistem hukum, edukasi, dan layanan sosial yang terkoordinasi dengan baik. Indonesia dapat mengambil inspirasi dari model-model ini untuk memperkuat strategi perlindungan anak yang sudah ada.
Upaya dan Solusi
Menghadapi kompleksitas perlindungan anak dari kekerasan dalam rumah tangga, solusi yang dibutuhkan tidak bisa hanya mengandalkan satu pihak. Dibutuhkan pendekatan multisektor dan berkelanjutan yang menggabungkan peran keluarga, masyarakat, lembaga negara, hingga media massa dalam satu gerakan bersama untuk menciptakan lingkungan yang aman dan suportif bagi anak-anak.
Pertama, peran keluarga sebagai lingkungan pertama dan utama anak sangat krusial. Orang tua perlu diberikan edukasi tentang pola pengasuhan positif yang tidak berbasis kekerasan. Program-program parenting yang inklusif dan mudah diakses baik secara daring maupun luring perlu diperluas, terutama bagi keluarga dengan latar belakang ekonomi atau pendidikan rendah yang rentan terhadap praktik kekerasan. Pelatihan ini bisa difasilitasi oleh pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, hingga komunitas keagamaan.
Kedua, sekolah dan institusi pendidikan dapat menjadi tempat strategis untuk mendeteksi dini dan menangani kasus kekerasan terhadap anak. Guru dan staf sekolah perlu dibekali kemampuan untuk mengenali tanda-tanda anak yang menjadi korban KDRT serta memahami mekanisme pelaporan yang aman dan melindungi kerahasiaan anak. Selain itu, pendidikan tentang hak anak dan anti-kekerasan bisa dimasukkan ke dalam kurikulum atau kegiatan ekstrakurikuler sebagai bentuk pembentukan karakter sejak dini.
Ketiga, lembaga perlindungan anak dan aparat penegak hukum harus terus diperkuat dari sisi kapasitas, jumlah personel, dan akses layanan. Penting untuk menciptakan sistem pelaporan dan pendampingan yang mudah dijangkau, responsif, dan ramah anak. Salah satu contoh yang mulai berkembang adalah hotline pengaduan dan layanan darurat yang bisa diakses 24 jam, namun perlu didukung oleh sistem tindak lanjut yang cepat dan tidak birokratis.
Keempat, peran media massa dan media sosial tidak boleh diabaikan. Media bisa menjadi alat ampuh untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Kampanye publik, film, sinetron, hingga konten digital yang menonjolkan nilai-nilai pengasuhan tanpa kekerasan bisa membantu membentuk opini publik yang lebih sadar dan peka terhadap perlindungan anak.
Terakhir, regulasi perlu terus diperbarui dan disosialisasikan. Pemerintah dan pembuat kebijakan harus terbuka terhadap masukan dari lapangan, termasuk dari para penyintas, pekerja sosial, dan aktivis anak. Tanpa revisi kebijakan yang adaptif dan berbasis kenyataan sosial, hukum akan tertinggal dari dinamika kekerasan yang semakin kompleks di era digital ini.
Semua upaya di atas tentu tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Kolaborasi adalah kunci. Perlindungan anak dari KDRT bukan hanya urusan hukum atau individu tertentu, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa.
Penutup
Perlindungan anak dari kekerasan dalam rumah tangga bukan sekadar isu hukum, tetapi persoalan kemanusiaan yang menyentuh inti dari masa depan bangsa. Ketika seorang anak tumbuh dalam lingkungan yang penuh ketakutan, luka, dan trauma, maka generasi yang lahir bukanlah generasi emas, melainkan generasi yang terhambat dalam mengekspresikan potensi terbaiknya.
Indonesia telah memiliki berbagai peraturan dan lembaga yang bertugas melindungi anak dari kekerasan. Namun, tanpa kesadaran kolektif dan keberanian untuk mengubah pola pikir, hukum akan tetap menjadi teks yang kering. Perubahan harus dimulai dari hal paling dasar dari cara orang tua mendidik, guru mengamati, tetangga peduli, hingga bagaimana media mengangkat isu ini secara bijak dan mendidik.
Melindungi anak bukan hanya tugas negara atau lembaga formal. Ia adalah panggilan moral bagi kita semua. Karena di balik setiap tangis yang tak terdengar, mungkin ada seorang anak yang sedang menunggu uluran tangan, atau bahkan hanya secercah harapan, bahwa dunia ini masih punya tempat yang aman untuknya tumbuh dan bermimpi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
