Strategi Menghadapi Emosi Anak Saat Pubertas Menurut Pakar Parenting Elly Risman
Parenting | 2025-12-22 08:49:38Pernahkah Moms merasa si kecil yang dulunya penurut, tiba-tiba berubah jadi sering “meledak-ledak” atau hobi membanting pintu kamar saat memasuki usia remaja? Banyak orang tua di luar sana yang merasa kehilangan kendali, bingung, bahkan frustrasi menghadapi perubahan sikap ini. Namun, tahukah Moms bahwa di balik sikap "pemberontak" tersebut, sebenarnya ada badai hormon serta emosi yang sedang bergejolak dan meminta bantuan Moms untuk dialirkan?
Moms, Masa pubertas adalah masa pencarian jati diri yang intens, saat gejolak emosi dan perubahan fisik berjalan beriringan membentuk identitas baru.
Dalam diskusi mendalam di podcast Nikita Willy, pakar parenting ternama Ibu Elly Risman, Psi., menekankan bahwa emosi di masa pubertas itu bersifat "halal" atau sangat wajar. Masalahnya, sering kali kita sebagai orang tua justru menyumbat emosi tersebut dengan logika atau nasihat yang terlalu dini. Oleh karena itu, Moms perlu mengetahui strategi untuk menghadapi emosi anak saat pubertas.
Agar Moms tidak salah langkah, berikut adalah strategi jitu dari Ibu Elly Risman untuk mengendalikan emos
1. Menerapkan Prinsip 3D: Dikenali, Diterima, Dihargai
Ini adalah pondasi utama yang harus dibangun. Sebelum Moms memberikan nasihat panjang lebar, lewati dulu tiga tahap ini
• Dikenali: Moms perlu peka membaca bahasa tubuh anak. Jika wajahnya ditekuk, jangan diabaikan. Coba tebak dan namai perasaannya, misalnya: "Wah, sepertinya kamu lagi kesal banget ya hari ini?"
• Diterima: Jangan sesekali menyangkal perasaan anak. Kalimat seperti “Gitu aja kok nangis” hanya akan membuat anak merasa Moms tidak memihaknya. Biarkan dia merasakan aliran emosinya.
• Dihargai: Anggap emosi anak sebagai sesuatu yang penting. Kenapa harus dimaafkan? Karena saat anak merasa bersyukur, dia akan merasa seluruh dirinya diterima secara utuh oleh Moms.
2. Pentingnya Sentuhan Fisik pada "Pusat Perasaan"
Ibu Elly menjelaskan ada teknik fisik untuk menenangkan saraf anak. Alih-alih memarahi balik, cobalah dekati anak dan sentuh area kepala (pusat perasaan) di bagian belakang, lalu usap perlahan sepanjang tulang belakangnya. Sentuhan ini akan mengirimkan sinyal tenang ke sistem saraf, sehingga anak yang tadinya tegang bisa lebih rileks dan mau membuka pusat kota.
3. Membangun Perasaan "Got"
Salah satu kesalahan umum yang sering terjadi adalah langsung bertanya "Kenapa?" saat anak sedang marah. Moms, saat emosi anak meluap, pusat berpikir di otak anak itu sedang terblokir (macet). Tugas Moms adalah membangun "got" atau saluran agar emosinya mengalir keluar dulu melalui validasi perasaan tadi. Kalau emosinya sudah keluar, barulah logika anak bisa bekerja lagi.
4. Posisi Berdampingan, Bukan Berhadapan
Saat berbicara dengan anak, hindari posisi berhadap-hadapan yang terkesan seperti sedang menginterogasi atau menantang. Biasanya, Moms duduk atau berdiri di samping anak. Posisi berdampingan ini secara psikologis mengirim pesan bahwa Moms adalah “teman seperjuangan” yang siap membantu, bukan lawan yang sedang menghakimi.
5. Dampak Strategi dan Komunikasi yang Salah
Jika Moms gagal menjadi tempat mengadu yang nyaman, anak akan mencari "dapat" di tempat lain. Dampaknya bisa berbahaya: mereka akan lari ke gadget dan dunia maya. Di sana, mereka mungkin menemukan orang asing yang seolah-olah "menghargai" perasaan mereka, padahal itu bisa menjadi pintu masuk pengaruh negatif.
Penutup
Menghadapi anak puber memang membutuhkan kesabaran ekstra ya, Moms. Kuncinya bukan pada seberapa hebat kita menasihati, namun pada seberapa dalam kita mampu membangun koneksi. Dengan prinsip 3D dan sentuhan kasih sayang, Moms sedang menyelamatkan anak dari pengungsi yang salah.
Ingat ya Moms, saat anak terlihat paling tidak layak dicintai karena sikapnya, justru saat itulah dia paling membutuhkan pelukan Moms.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
