Menimbang Peran UU No. 13 Tahun 2022 dalam Menyempurnakan UU Cipta Kerja
Politik | 2025-06-03 12:35:42
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 lahir dari kebutuhan mendesak untuk memperbaiki wajah legislasi nasional yang sebelumnya tercoreng oleh proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja. UU Cipta Kerja, sebagai produk hukum yang memuat berbagai ketentuan lintas sektor, menuai kontroversi hebat karena prosedurnya dinilai cacat formil oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja sebagai "inkonstitusional bersyarat" menjadi titik balik penting dalam refleksi hukum nasional. Dalam konteks ini, kehadiran UU No. 13 Tahun 2022 diharapkan menjadi angin segar untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap proses legislasi.Salah satu terobosan penting dalam UU No. 13 Tahun 2022 adalah pengakuan formal terhadap metode omnibus law. Sebelumnya, metode ini diterapkan tanpa dasar hukum eksplisit, menimbulkan kekacauan dan perdebatan di ruang publik. Kini, dengan pengaturan metode omnibus secara legal dalam Pasal 64A, pemerintah memiliki kerangka kerja yang lebih sahih dalam menyusun regulasi komprehensif lintas sektor. Terlepas dari efektivitas substansinya, legalitas metode omnibus adalah langkah strategis untuk merapikan struktur perundang-undangan yang sebelumnya tumpang tindih dan tidak sinkron.Namun, penting untuk diingat bahwa legitimasi hukum bukan sekadar persoalan prosedur, melainkan juga keterlibatan publik. Kritik utama terhadap UU Cipta Kerja terletak pada minimnya partisipasi masyarakat. Dalam sistem demokrasi yang sehat, proses legislasi harus bersifat partisipatif, akuntabel, dan terbuka terhadap kritik. UU No. 13 Tahun 2022 mencoba menjawab ini melalui penguatan partisipasi publik sebagaimana diatur dalam Pasal 96. Masyarakat tidak hanya dijadikan objek dari hukum, melainkan juga subjek aktif yang berhak memberikan masukan sejak tahap awal penyusunan hingga pengesahan. Dalam praktiknya, hal ini menuntut adanya kanal komunikasi yang inklusif dan aksesibilitas terhadap naskah RUU dan proses penyusunannya.Tidak hanya partisipasi, UU ini juga menekankan pentingnya kajian dampak regulasi (Regulatory Impact Assessment) sebagai bagian dari penyusunan undang-undang. Ini adalah poin krusial yang menunjukkan bahwa pembentukan hukum tidak lagi bisa dilepaskan dari analisis rasional terhadap dampaknya bagi publik. Misalnya, banyak pasal dalam UU Cipta Kerja yang berimplikasi besar terhadap hak-hak buruh, seperti ketentuan outsourcing, penghapusan pesangon, hingga fleksibilitas status pekerja kontrak. Maka, tanpa kajian yang mendalam, regulasi semacam itu berpotensi menciptakan ketimpangan dan ketidakpastian hukum di masyarakat.Terlepas dari niat baik di balik penyempurnaan legislasi, proses ini tetap tidak imun dari nuansa politis. Campur tangan kekuasaan, dominasi mayoritas parlemen, dan cepatnya pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang memperlihatkan bahwa demokrasi prosedural masih rentan dikendalikan oleh kekuatan politik dominan. Maka, keberadaan UU No. 13 Tahun 2022 harus dijaga agar tidak menjadi instrumen formalistik semata, tetapi benar-benar diimplementasikan sebagai pedoman etis dan legal dalam menyusun undang-undang.Ke depan, tantangan terletak pada konsistensi implementasi. UU No. 13 Tahun 2022 memberi pondasi, tetapi bangunan demokrasi hukum yang transparan dan akuntabel hanya bisa terwujud jika semua aktor legislasi—pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil—berkomitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi konstitusional. Tanpa itu, perbaikan yang ditawarkan UU ini hanya akan menjadi kosmetik hukum yang gagal menjawab krisis kepercayaan publik.UU No. 13 Tahun 2022 adalah sebuah langkah maju dalam reformasi sistem legislasi nasional. Ia tidak sempurna, tetapi menyediakan pijakan yang lebih kokoh bagi proses pembentukan undang-undang di masa mendatang. Jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, UU ini dapat menjadi penyeimbang antara kebutuhan pembangunan ekonomi dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara. Tetapi jika tidak, maka ia akan menjadi satu lagi contoh reformasi prosedural yang gagal menjangkau esensi keadilan sosial.
Daftar Pustaka
Moh. Mahfud, MD. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006, hlm. 5.Rio Christiawan, Omnibus Law: Teori dan Penerapannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2021.Saragih, J. (2021). Problematika dan Tantangan Pelaksanaan UU Cipta Kerja di Indonesia. Jurnal Hukum dan Kebijakan Publik, 13(2), 45-67.Saiya, A. J., Alfons, S. S., & Tita, H. M. Y. (2021). Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja. TATOHI: Jurnal Ilmu Hukum, 1(6), 618-626.Setiawan, A. (2022). Pembaharuan Hukum di Indonesia: Studi Terhadap Undang-Undang No. 13 Tahun 2022. Jurnal Legislasi Indonesia, 19(1), 23-40.Dhezya Pandu Satresna. (2023). Pengaturan Metode Omnibus Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. JAPHTN-HAN, 2(1), 63–80.Nur Aji Pratama. (2022). “Meaningful Participation Sebagai Upaya Kompromi Idee Des Recht Pasca Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020. Jurnal Crepido, 4(2), 140.Purwanda, S., & Wulandari, A. S. R. (2023). Socio-Legal Studies: Methodical Implications of Legal Development in Indonesia. Al-'Adl, 16(2), 152-163.Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta KerjaUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
