Tsundoku: Ketika Tumpukan Buku Menjadi Tren Gaya Hidup
Gaya Hidup | 2025-12-14 23:19:53
Fenomena sosial baru yang semakin marak terutama di era media social adalah kebiasaan menimbun buku tanpa benar-benar membacanya, atau yang dikenal dengan istilah Jepang, Tsundoku. Kebiasaan ini menggambarkan tindakan membeli buku dengan niat untuk membacanya, namun akhirnya buku-buku tersebut hanya menumpuk di rak sebagai koleksi atau pajangan. Pada pandangan pertama, perilaku ini mungkin dianggap sebagai pemborosan atau ironi, mengingat membeli buku seharusnya beriringan dengan hasrat untuk menyerap ilmunya. Namun, Tsundoku kini telah bertransformasi dari kebiasaan pribadi menjadi sebuah tren gaya hidup yang kompleks, sarat makna, dan layak untuk dianalisis lebih dalam.
Salah satu alasan utama di balik Tsundoku adalah kontradiksi antara hasrat intelektual dan realita waktu luang. Toko buku, diskon, dan terutama rekomendasi viral di platform seperti BookTok atau Instagram, memicu dopamine rush yang membuat kita merasa harus segera memiliki buku tersebut. Membeli buku seolah memberikan kepuasan instan dan janji akan pengembangan diri di masa depan. Sayangnya, niat baik tersebut sering terbentur oleh kesibukan, kurangnya fokus, atau bahkan sekadar kelelahan mental setelah beraktivitas. Akibatnya, buku-buku baru berjejer manis, mewakili potensi pengetahuan yang belum tersentuh, bukan pengetahuan yang sudah didapatkan.
Dalam konteks budaya visual modern, Tsundoku tidak hanya bersifat personal, tetapi juga simbolis. Rak buku yang penuh dan estetis (bookstagrammable) telah menjadi dekorasi interior dan representasi visual dari identitas intelektual yang diinginkan. Buku-buku yang belum dibaca berfungsi sebagai properti yang mengomunikasikan kepada dunia bahwa pemiliknya adalah individu yang cerdas, berwawasan luas, dan memiliki selera yang baik. Dalam hal ini, nilai buku bergeser dari isinya menjadi nilai estetik dan simbol status. Meskipun ini mungkin dangkal, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa koleksi Tsundoku yang dipajang adalah cerminan dari ambisi dan aspirasi pemiliknya.
Ada pula argumen yang memandang Tsundoku dari sisi positif. Filsuf Nassim Nicholas Taleb mempopulerkan konsep Anti-Library (Anti-Perpustakaan), mengacu pada perpustakaan Umberto Eco yang berisi 30.000 buku yang belum terbaca. Menurut Taleb, tumpukan buku yang belum dibaca bukanlah beban, melainkan pengingat akan betapa banyak yang belum kita ketahui. Koleksi Tsundoku kita adalah peta kerendahan hati intelektual. Semakin besar tumpukan buku yang belum terbaca, semakin kita sadar akan luasnya lautan pengetahuan. Dengan demikian, membeli buku yang belum dibaca dapat dipandang sebagai investasi jangka panjang, sumber daya potensial, dan motivasi untuk terus belajar, kapan pun waktu membaca itu tiba.
Pada akhirnya, Tsundoku adalah fenomena modern yang memperlihatkan ketegangan antara niat, konsumsi, dan realitas. Apakah itu cerminan dari hasrat yang tulus untuk belajar atau sekadar upaya untuk membangun citra diri, tumpukan buku yang belum dibaca telah menjadi bagian dari budaya kita. Tantangannya bukan untuk berhenti membeli buku karena itu juga mendukung ekosistem literasi tetapi untuk menemukan keseimbangan antara Tsundoku (mengumpulkan buku) dan Dokusho (membaca). Mari kita jadikan setiap pembelian buku bukan hanya sebagai penambahan koleksi, tetapi juga sebagai komitmen yang disisihkan untuk pertemuan dengan isinya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
