Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rurin Elfi Farida, SH.I., M.Pd.I., M.Pd

PTM TIADA, GURU BERDUKA

Lomba | Monday, 28 Feb 2022, 22:52 WIB

Belum lama menikmati indahnya membersamai para pembelajar berpetualang, si Covid ternyata bergerak lebih gesit. Varian baru Omicron yang lebih cepat daya tularnya menghentikan sebagian besar kegiatan pembelajaran yang mulai berjalan nyaman di berbagai daerah.

Jujur sebagai guru, sedih rasanya menghadapi fakta pahit ini. Fenomena learning loss yang memprihatinkan efek covid selama dua tahun kemarin benar-benar membuat nurani pendidik tercabik-cabik. Mengatasi over gadget pada sebagian besar siswa yang baru saja mulai bisa diatasi, alamat harus dihancurkan lagi.

Ibarat orang membangun rumah, baru saja pondasinya ditata kembali dengan senang hati, terpaksa harus dirobohkan lagi. Menumbuhkan semangat belajar yang tak lagi terbakar, jiwa kompetisi yang lama mati, sunggguh menjadi tantangan tersendiri bagi kami para pengawal generasi. Namun, apa mau dikata, kenyataan berbicara beda. Fenomena Corona seolah menjadi raksasa kegelapan yang menelan purnama yang berpendar.

Para siswa banyak yang kecewa dan tak mau daring lagi karena mereka sangat menikmati pembelajaran tatap muka. Bisa belajar bersama teman, bergurau dan membangun semangat pertemanan adalah hal yang tak mereka dapati jika BDR kembali digelar. Padahal, banyak sekali pembelajaran humanistik yang based on lifeskill hanya bisa didapatkan saat pembelajaran tatap muka. Para siswa belajar bermasyarakat, bersosialisasi, beradaptasi dengan karakter manusia lain, mempelajari nilai-nilai yang tak mereka dapatkan saat daring.

Entah kenapa, tetiba sedih melanda saat membaca tulisan seorang profesor di Mauritius, sebuah wilayah di Afrika yang terkenal maju pendidikannya, yang mengatakan bahwa untuk menghancurkan suatu bangsa tidak perlu bom dan roket jarak jauh. Cukup hancurkan saja pendidikannya dan buat para pelajar menjadi curang. Sistem pendidikan yang curang kelak akan menghasilkan dokter curang yang akan membunuh banyak pasien, insinyur curang yang akan membangun banyak gedung dan infrastruktur yang segera roboh, akuntan curang yang akan merugikan banyak pengusaha, pejabat curang yang ahli korupsi, tokoh agama curang yang akan memberi fatwa palsu dan guru curang yang membodohi siswanya. Jangan heran jika sektor pendidikan lemah, bisa diprediksi bahwa masa depan negeri pun tak lagi cerah.

Tanpa bermaksud menyudutkan siapapun, pembelajaran daring membuka peluang kecurangan yang begitu besar. Bisa dimaklumi karena kemajuan teknologi belum bisa mengatasi sektor-sektor privat yang hanya bisa terjamah dalam pembelajaran tatap muka. Kejujuran menjadi barang mahal yang hanya menjadi pajangan. Mengulang kilas balik permasalahan urgent yang muncul selama penerapan moda pembelajaran daring. Banyak teman guru yang pada awal pembelajaran daring sempat kebingungan. Ketika itu, nilai hasil belajar siswa kelas 1, -yang notabene belum lancar membaca-, hampir semuanya 100. Guru pun bingung untuk memetakan kemampuan asli peserta didik, mana yang benar-benar menguasai materi mana yang tidak. Secara ketentuan, jelas sudah melampaui KKM. Namun, pada faktanya ketika Blended Learning diterapkan, para guru menemukan bahwa para peserta didik itu ternyata sama sekali belum menguasai materi. Ternyata, dari investigasi di lapangan disimpulkan bahwa yang selama ini berada di balik layar dalam penyelesaian tugas-tugasnya adalah orang tua, guru les, googling dan kadang saling bertukar informasi antar teman yang berbeda kelas tentang tugas.

Tentu tidak bijak jika kita menyalahkan para emak yang sibuk dengan tetek bengek rumah tangga. Menjadi wajar jika mereka tak sabar untuk bersegera menyelesaikan tugas putra-putrinya karena terbentur dengan banyaknya tugas rumah tangga lain yang menunggu untuk diselesaikan. Belum lagi jika anak merengek tak paham dengan materi pelajaran yang ditugaskan. Maka, menjadi hal yang bisa dimaklumi, saat semua tugas anak-anaknya diselesaikannya dengan segera. Bahkan, banyak wali murid yang rela membayar mahal guru privat untuk menyelesaikan tugas sekolah putra-putrinya. Mereka rela mengorbankan segalanya demi stabilitas nilai dan prestasi belajar putra-putrinya di sekolah.

Di sisi lain, ironi fakta yang benar-benar mencabik nurani. Ada banyak anak yang sama sekali tidak pernah mengikuti pembelajaran. Masalah ekonomi, tidak punya pulsa/kuota atau orang tua yang sama-sama bekerja sering menjadi penyebab utama beberapa anak yang terpaksa telantar dan ketinggalan pelajaran. Handphone yang hanya satu-satunya menjadi alat utama orang tua untuk bekerja. Tentu saja, anak-lah yang menjadi korban. Tak bisa sekolah, tak paham materi pelajaran, tak mengerti mau apa dan mau kemana. Malangnya, tak ada satu orang pun yang peduli padanya. Ini benar-benar real case yang ada dalam kondisi daring selama dua tahun kemarin. Tentu, prihatin dan duka mendalam jika kami harus kembali pada kondisi tak kondusif seperti itu lagi. Bagi mayoritas guru, di wilayah perkotaan, bisa jadi daring bukan masalah yang bikin pusing. Tentu saja karena pola dan gaya hidup digital sudah mendarah daging di lingkungan masyarakat kota. Namun, menjadi hal yang sangat menyulitkan bagi para pendidik di desa atau daerah pelosok yang terpencil. Jangankan daring menggunakan Zoom, whattaapp saja banyak yang tidak mengerti bagaimana menggunakannya.

Belum lagi perbedaan kondisi wilayah dan tempat tinggal, kadang berpengaruh pada kuat lemahnya jaringan atau sinyal. Walhasil, hal tersebut sering mempersulit kelancaran proses pembelajaran. Materi yang sudah dibuat rapi dalam slide presentasi, akhirnya tak bisa dipelajari karena kendala sinyal. Terkadang listrik padam berhari-hari, semakin menambah rumit masalah daring. Tak heran muncullah meme yang mengoarkan Daring bikin darting. Memang benar adanya. Sebagai seorang guru, selain mengajar murid-murid, juga harus menemani anaknya untuk belajar, mengerjakan tugas dan mengikuti pembelajaran. Duh, bisa dibayangkan bagaimana ribetnya, ketika seorang guru harus mengajar siswa-siswinya, sedang di sisi lain anaknya juga minta belajar. Akibatnya, anaknyalah yang telantar. Meski, tentu tidak semua yang seperti itu. Maka, jangan heran jika banyak putra-putri guru yang justru tidak maksimal dalam pembelajaran. Murni karena multitasking seorang ibu di rumah. Memasak, mencuci, mengasuh anak, mengurusi keperluan sekolah, kebutuhan suami yang bekerja kantor, menjadikan banyak sekali muncul super woman. Sayangnya, karena kecapekan, justru anaklah yang sering jadi semprotan kemarahan ibunya.

Oleh karena itu, dengan penuh harap, hampir semua guru berkeyakinan bahwa PTM harus terus berjalan. Jika kita surut ke belakang, artinya kita terjebak di lubang yang sama. Tidak sayangkah jika pendidikan di Indonesia akan dikalahkan oleh Omicron? Lalu, apa fungsi anggaran yang digelontorkan untuk vaksin, jika pada faktanya PTM kembali ditiadakan. Tanpa menafikan bahwa keselamatan dan kesehatan tetaplah menjadi prioritas umat, tapi bagaimanapun, mencerdaskan anak bangsa jauh lebih penting. Terlepas dari pandangan beberapa tokoh yang disinyalir adanya upaya politisasi pendidikan, tetap saja tanggungjawab para pendidik adalah menjaga generasi penerus agar tetap terjaga di koridor kebenaran.

Mengapa jika PTM ditiadakan, para guru berberat hati? Karena dari perspektif pendidik serta hasil pengamatan di lapangan, banyak sekali hal positif yang menguntungkan saat PTM diberlakukan. Baik itu bagi orang tua, guru, siswa maupun sekolah itu sendiri.

1. Orangtua tidak terbebani dengan tugas sekolah

Bagaimanapun juga, para orang tua menyekolahkan putra-putrinya ke sebuah lembaga Pendidikan, tentu berharap para guru akan mendidik dan membentuk mereka menjadi generasi terbaik. Tidak hanya memiliki kemmapuan akademik yang unggul, namun juga karakter terpuji. Aktivitas yang padat sangat tidak memungkinkan para orang tua terus menerus mendampingi putra putrinya dalam pembelajaran. Akibatnya, efek daring, justru membuat para orang tua tambah pusing karena putra-putri mereka justru kecanduan gadget dan jago gaming. Bagaimanapun, sekolah tetap menjadi tempat terbaik untuk menjalani keseluruhan proses pembelajaran. Rumah sangat tidak mendukung proses tersebut, karena pada dasarnya rumah adalah tempat istirahat. Sangat sulit menanamkan sikap disiplin, jujur, bersemangat dan integritas jika pembelajaran dari rumah masing-masing kembali digelar. Bukan berarti tidak bisa, tapi hal itu mememrlukan langkah yang tak biasa.

2. Guru mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki siswa serta mengukur keterserapan materi ajar.

Dalam tatap muka langsung, guru akan lebih mudah mengajar siswa dengan berbagai metoda dan strategi yang menyenangkan. Adanya interaksi langsung, juga menciptakan kedekatan antara guru dan siswa . Imbas kedekatan sangatlah luar biasa. Siswa akan jauh lebih mudah memahami, menerapkan dan bahkan menginternalisasikan nilai-nilai yang diajarkan guru dalam diri dan kehidupan mereka. Guru juga lebih mudah mengukir ketercapaian materi. Yang lebih penting, penilaian langsung pada diri siswa sehingga hasilnya pun jauh lebih valid. Penyampaian materi menjadi runtut dan terarah serta mencakup keseluruhan siswa.

3. Siswa mendapat banyak kesempatan menjadi manusia sejati dalam pembelajaran langsung.

Selama PTM anak-anak bersosialisasi, berkompetisi dan menjadi pribadi mandiri. Kemampuan personal siswa sangat mudah terdeteksi karena dalam pembelajaran langsung mereka bersosialisasi dengan teman-temannya, menumbuhkan semangat belajar, jiwa kompetisi, jiwa berbagi dan banyak hal positif yang tumbuh dari interaksi yang terjadi anatar mereka.

4. Sekolah terlihat lebih hidup.

Sekolah yang lama tak terjamah, kumuh dan tak terurus menjadi jauh lebih rapi dan terawatt. Denyut kehidupan dunia Pendidikan benar-benar menjadi bukti peradaban. Suara anak-anak bersahutan membaca pelajaran, teriakan guru yang memperingatkan murid yang tak sesuai aturan, suara alunan musik senam, semuanya menjadi bukti kehidupan. Sangat menyenangkan melihat geliat aktivitas dalam suatu lembaga sekolah.

Rasanya tak rela ketika sekolah harus dikorbankan. Pendidikan adalah nyawa peradaban suatu bangsa. Maju mundurnya suatu bangsa sangat tergantung pada seberapa pentingnya mereka mengelola pendidikan itu sendiri. Tak heran jika alkisah ketika negara Jepang yang hancur lebur setelah dibom, mereka memulai perbaikan dari sektor pendidikan. Mereka mencari guru berkualitas untuk mendidik generasi masa depan dengan sangat ketat. Memastikan bahwa generasi mereka kelak tak hanya pintar namun juga beradab.

Lepas dari munculnya isu politisasi Pendidikan, sebagai guru saya hanya melihat bahwa keputusan kembali daring sangatlah menyedihkan. Dua tahun daring cukup memberi pengalaman bahwa Learning Loss menjadi penyakit penting yang harus segera dibuang jauh. Pada akhirnya, saya teringat bahwa dalam perspektif ilmu sosial, jika ada permasalahan dalam kehidupan sosial kemasyarakatn seperti sekarang ini, maka ada tiga komponen yang bisa dipastikan menjadi pemicunya dan layak untuk dijadikan kambing hitam.

1. Pemerintah

Kita bisa dengan gampang menyalahkan pemerintah yang tidak peduli, tidak tegas dan lain sebagainya. Intinya sebagai pelaksana kendali pemerintahan harusnya mereka bisa mengantisipasi segala kemungkinan terburuk. Maka, ketika daring kembali digaungkan, maka integritas pemerintah, komitmen untuk bersama mencerdaskan bangsa bisa jadi sangat diragukan.

2. Masyarakat

Munculnya Kembali kebijakan daring, bisa juga disebabkan karena masyarakat yang tak tertib. Merebaknya Omicron, bisa jadi karena masyarakat yang sulit mematuhi peraturan. Terlebih masyarakat Indonesia yang terkenal bandel. Tetap berkerumun, malas pakai masker, alasan hemat air hingga tak mau sering-sering cuci tangan, dan masih banyak hal lain yang bisa dijadikan alasan utama pemberlakuan kebijakan baru.

3. Kondisi/Keadaan

Keadaan bumi yang sedang tidak baik-baik saja dengan mudah disalahkan. Fenomena Aphelion yang menyebabkan mewabahnya Omicron bisa kita maklumi. Maka, tak heran jika ada sebagian masyarakat yang apatis karena memang keadaan negeri kita memang tidak baik-baik saja. Banyak masalah dan konflik yang terakumulasi sehingga menjadikan segala hal bertambah pelik.

Akhirnya, mari bersama bijak menyikapi kondisi negeri yang sedang gonjang-ganjing dengan berbagai isu yang tak terkendali. Saling menjaga dan memastikan bahwa kita berada dalam gerbong yang sama untuk memajukan kehidupan bangsa. Memaksimalkan tugas dan fungsi pada tiap lini demi menciptakan sinergi yang akan menjadikan negeri kian bestari.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image