Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image khairul ikhwan d

Memudarnya Urgensi Pembelajaran Tatap Muka

Lomba | Sunday, 27 Feb 2022, 17:59 WIB
Pembelajaran Tatap Muka di Pondok Labu, Jakarta Selatan Januari 2021. | Republika/Thoudy Badai

Jika kasus Covid melonjak, sekolah harus menghentikan Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Tak ada negosiasi dalam urusan ini. Sekolah harus bertindak segera jika berkaitan dengan keselamatan peserta didik.

Dua tahun ini cukuplah jadi pedoman apa yang harus dilakukan agar tetap selamat. Kita berkejaran dengan virus dan tak pernah tahu kapan akhirnya kehabisan waktu. Semua tempat terus berupaya menerapkan protokol kesehatan dalam mencegah penyebaran virus, termasuk sekolah.

Tapi ada yang lalai. Lalu gelombang ketiga melanda Indonesia.

Kita terpaksa kembali lagi ke pangkal. Positivity rate meningkat, dan sekolah kembali menggelar Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Sudah semestinya begitu.

Banyak orang tua yang melarang anaknya ke sekolah begitu melihat positivity rate nasional sudah naik tinggi. Misalnya pada 26 Januari 2022 kasus positif dalam negeri tercatat 7.010 kasus baru, padahal sehari sebelumnya 4.878 kasus. Artinya ada lonjakan hingga 69,5 persen.

Orang tua harus antisipatif. Anak-anak lebih baik tetap berada di rumah. Tidak belajar di sekolah juga tidak mengapa.

Risikonya terlalu besar. Mereka yang sudah dewasa saja, yang mengerti tentang cara menggunakan masker yang baik dan menerapkan protokol kesehatan, masih juga terpapar, apalagi anak-anak. Tidak apa kehilangan momentum belajar langsung dengan gurunya, yang penting selamat.

Penghentian PTM

Yang penting selamat. Itulah kata kuncinya. Langkah pencegahan diambil orangtua karena sekolah tak bertindak secara segera. Masih menunggu momentum. Beberapa sekolah baru menghentikan PTM saat positivity rate nasional bahkan lebih tinggi lagi, dan sepertinya sudah terlambat.

Misalnya di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sejumlah siswa dan guru 10 SMP dan 10 SD terpapar Covid-19 dalam PTM (Republika, 11/2/2022). Di Madiun dan Cianjur juga terjadi.

Risikonya jelas tidak sebanding dengan semua manfaat positif yang diperoleh dari PTM itu. Ketika positivity rate naik, ketika potensi penularan menjadi demikian tinggi, maka PTM itu sudah tidak penting lagi. Sudah kehilangan urgensinya.

Siapa yang menentukan penghentian PTM?

Rujukannya mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri dalam Negeri, tentang Panduan Penyelenggaraan Pendidikan Pembelajaran di Masa Pandemi untuk tahun ajaran 2022. SKB ini yang mewajibkan sekolah menggelar PTM terbatas mulai Januari 2022.

Dalam SKB itu, ada sejumlah indikator yang bisa menjadi acuan satuan pendidikan untuk menetapkan PTM atau PJJ. Mulai dari dosis vaksin pendidik dan tenaga kependidikan, maupun capaian vaksin masyarakat di wilayah satuan pendidikan terkait. Pelaksaannya juga tergantung pada level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang berlaku di wilayah bersangkutan: I, II, III dan IV.

Dalam beleid itu disebutkan, penghentian sementara PTM di satuan pendidikan sekurang-kurangnya 14x24 jam apabila terjadi: Klaster penularan Covid-19 di satuan pendidikan tersebut; Jika angka positivity rate hasil surveilans epidemiologis sebesar lima persen atau lebih; Jika ada warga satuan pendidikan yang masuk dalam notifikasi hitam pada aplikasi PeduliLindungi sebanyak lima persen atau lebih; Apabila setelah dilakukan surveilans, bukan merupakan klaster PTM terbatas atau angka positivity di bawah lima persen, PTM terbatas hanya dihentikan pada kelompok belajar yang terdapat kasus konfirmasi selama 5x24 jam.

Jika melihat aspek-aspek yang menjadi indikator ini, sebenarnya sekolah sangat otonom dalam urusan penghentian PTM. Rujukannya jelas. Tetapi ada alur birokrasi ang membuatnya menjadi tidak lekas. Sekolah tak segera menghentikan PTM karena belum ada keputusan dari birokrasi di atasnya, tak berani gegabah. Padahal semestinya jika sudah melihat potensi bahaya, ya sudah bunyikan alarm. Hentikan PTM, beralih ke PJJ.

Kegembiraan Saat PTM

Ketika sekolah secara fisik diperbolehkan kembali awal Januari lalu, memang anak-anak terlihat gembira. Senang akhirnya bisa ketemu kawannya yang sudah setahun lebih hanya terlihat di layar handphone. Bisa bertemu langsung dengan guru.

Sebagian menilai, PTM walaupun dilakukan secara terbatas akan mampu mengurangi masalah learning lost, kemampuan akademis yang menurun karena masa PJJ yang cukup panjang. Ini masalah kualitas hasil pendidikan yang akan menjadi beban di masa depan.

Tetapi tentu disadari, antara kegembiraan siswa dan optimalnya pembelajaran karena dilakukan secara tatap muka, tak bisa jadi alasan untuk tetap dilangsungkannya PTM sepanjang ada ancaman penyebaran virus di lingkungan sekolah. Pastilah kita tidak tega melihat terenggutnya kegembiraan anak-anak itu saat rem darurat PPKM ditarik. Tetapi jika mempertimbangkan situasinya yang membahayakan, maka perlindungan terhadap anak harus dikedepankan.

Pada akhirnya harus merujuk pada prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam Konvensi Hak-hak Anak. Bahwa semua tindakan yang menyangkut anak harus mempertimbangkan kepentingan yang terbaik bagi anak. Itu pondasi utamanya.

Penutup

Sudah sepatutnya semua kalangan mempertimbangkan penghentian PTM sepanjang pandemi ini belum berhasil dikendalikan penuh. Ihwal penentuan batasannya tentu tergantung pemerintah, tetapi self warning harus kita nyalakan selalu. Begitu kasus infeksi virus meningkat demikian pesat, maka sekolah harus otonom untuk menghentikan PTM. Sekolah harus mengedepankan kepentingan yang terbaik untuk anak.

Pada sisi lain, sekolah dan guru dituntut untuk terus berkreasi dengan teknik pengajaran yang membuat PJJ sama menggembirakannya seperti saat di PTM. Hal itu juga bisa menjadi pintu masuk yang lebih luas untuk mengatasi masalah learning lost itu. Bagaimana caranya? Nah, itulah tantangannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image