Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Marsadi Adam

Balas Budi dalam Novel Salah Asuhan: Memudahkan atau Menyusahkan?

Sastra | 2025-06-02 00:18:49
Sumber gambar: Pinterest

Hutang budi merupakan kebaikan orang lain yang diterima oleh seseorang serta diwajibkan untuk membalasnya. Hutang budi ini tidak hanya menjadi perbincangan di dunia nyata tetapi juga diangkat menjadi isu cerita dalam sebuah novel. Salah satu karya sastra yang mengangkat isu hutang budi adalah novel “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis.


Novel Salah Asuhan menceritakan perjalanan cinta sepasang kekasih yaitu Hanafi dan Corrie yang bertentangan dengan adat istiadat setempat. Berbagai rintangan bermunculan dimulai dari Hanafi yang dikekang oleh “hutang budi” hingga konsekuensi sosial akibat dari hubungan Hanafi dengan Corrie. Namun, mereka menjalani semua rintangan itu meskipun konsekuensi yang diterima cukup besar.


Artikel ini tidak membahas tentang konsekuensi sosial yang diterima Hanafi dan Corrie, tetapi artikel ini membahas konsep “balas budi” sebagai bentuk pembayaran hutang budi dalam novel Salah Asuhan melalui pandangan Islam, khususnya melalui pandangan hadis Rasulullah saw.


Konsep Balas Budi dalam Novel Salah Asuhan


“Mamakmu sekalian tiadalah menunggu, piutang Hanafi, dan tidak pula engkau wajib membayarnya dengan uang. Jika utang serupa itu akan langsai 1) dibayar dengan uang saja, amatlah ringannya. Tapi engkau barangkali mengetahui juga arti suatu peribahasa kita orang Melayu: utang emas dibayar dengan emas, utang uang dibayar dengan uang, utang budi dibayar dengan budi. Meskipun kauangsur beratus atau beribu rupiah, sampai langsai utang itu, belumlah akan selesai utang-piutang karena utang budimu harus kau bayar dengan budi pula. Yang sangat bimbang ibu memikirkan halmu dengan mamak kandungmu, Sutan Batuah, saudara tuaku seibu sebapa. Dari gajinya yang tidak seberapa sebulan, tetaplah ia menyisihkan tiap bulan, buat penambahan uang yang mesti ibu kirimkan ke Betawi, jika ibu kekurangan. Untung itu pun dimaksudkan tidak akan menjadi utang uang, tapi ia mengharap dan menantikan engkau buat anaknya yang seorang itu saja; buat Rapiah.” (Abdoel Moeis, 1928: 38 dan 39).


Kutipan di atas merupakan dialog ibu Hanafi kepada Hanafi yang menekankan bahwa dalam adat Melayu itu hutang budi haruslah dibayar dengan budi pula dan dalam hal ini sang pemberi kebaikan yaitu Sutan Batuah tidak mengharapkan balasan berupa uang melainkan mengharapkan balasan berupa Hanafi yang harus menjadi menantunya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ibu Hanafi sangat mendahulukan adat di dalam kehidupan dan siap membayar hutang budi sesuai dengan keinginan pemberi kebaikan yaitu Sutan Batuah.


Konsep Balas Budi dalam Islam


“Dan siapa yang berbuat baik kepadamu, balaslah kebaikannya. Jika anda tidak mampu, maka doakanlah dia sampai dia tahu bahwa kalian telah memberinya yang setimpal.” (HR. Abu Dawud: 9).


Kutipan di atas berasal dari hadis Rasulullah saw. berupa ucapan yang berisi bahwa hutang kebaikan haruslah dibalas dengan kebaikan dan jika tidak mampu maka doakanlah yang isi doanya senilai dengan kebaikan yang telah diberikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsep balas budi dalam Islam adalah membayar hutang tersebut setimpal dengan kebaikan yang diterima, jika bentuknya hutang budinya berupa pemberian makanan maka balas dengan memberikan makanan, jika bentuk hutang budinya berupa pemberian uang maka balas dengan memberikan uang yang senilai, dan lain sebagainya. Namun jika tidak mampu membalas setimpal maka balaslah dengan mendoakan orang yang memberikan kebaikan itu dengan isi doanya yang senilai dengan kebaikan yang diterima.


Pertentangan Konsep Balas Budi dalam Islam dan dalam Novel Salah Asuhan


Setelah kita melihat penjelasan konsep balas budi menurut pandangan Islam dan dalam novel Salah Asuhan maka dapat ditemukan pertentangan di antara keduanya yaitu hutang budi dalam novel Salah Asuhan haruslah dibayar dengan budi pula sedangkan hutang budi dalam pandangan Islam haruslah dibayar setimpal dengan kebaikan yang diterima.
Hal tersebut sangat bertentangan. Hutang budi dalam novel Salah Asuhan berasal dari pemberian uang milik Sutan Batuah yang diberikan kepada ibu Hanafi untuk pendidikan Hanafi. Dalam pandangan Islam, hutang budi tersebut haruslah dibalas setimpal yaitu dibayar dengan uang senilai dengan uang yang diterima. Namun, dalam novel Salah Asuhan, hutang budi harus dibayar dengan budi yang dalam hal ini Sutan Batuah ingin hutang itu dibalas dengan Hanafi yang harus menjadi menantunya.


Selain karena bertentangan dengan pandangan Islam, pelunasan hutang budi dalam novel Salah Asuhan juga bersifat menyusahkan serta memaksa yang tidak memberikan kesempatan Hanafi untuk menolak dan hal ini juga bertentangan dengan nilai Islam yaitu mengambil hak orang lain untuk kepentingan pribadi. Padahal jika hutang budi tersebut bisa dibayar setimpal yaitu dibayar dengan uang senilai yang diterima sesuai dengan pandangan Islam maka hutang tersebut bisa lunas dan Hanafi punya kemampuan melunasi hutang tersebut sesuai dengan pandangan Islam yaitu melunasi hutang tersebut dengan gajinya seperti pada kutipan berikut ini.


“Jika demikian duduknya, baiklah mereka menghitung jumlah utangku itu, supaya boleh diangsur membayarnya dengan gajiku.” (Abdoel Moeis, 1928: 38).


Simpulan


Pelunasan hutang budi merupakan keharusan bagi setiap manusia. Adapun pelunasan hutang budi dalam novel Salah Asuhan bersifat memaksa dan menyusahkan serta tidak bisa dibalas setimpal sesuai dengan kebaikan yang diterima. Hal tersebut tidak berkaitan dengan agama melainkan merupakan wujud dari adat istiadat yang mengatur kehidupan masyarakat di zaman itu. Hal tersebut pula yang menjadi kritik dari Abdoel Moeis yang ia sampaikan melalui novel Salah Asuhan ini dan pesan yang disampaikan sangat jelas yaitu hutang budi haruslah dibayar dengan setimpal tanpa harus membebani salah satu pihak.


Daftar Pustaka


Moeis, Abdoel. 1928. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image