Menguji Sekaligus Merawat Nalar Republik
Politik | 2025-05-31 12:55:46“Tulisan Opini Dicabut”, itu bukan judul tapi memang dicabut. Tapi, ada hal yang sebenarnya paling disayangkan atas terjadinya peristiwa ini. Kok rasanya kita mundur ya? Iya, mundur sebagai sebuah negara yang bersendikan republik. Padahal, sebenarnya konsekuensi atau dampak luar biasa dipilihnya bentuk republik itu bukanlah tanpa filsafat dan sejarah yang mendalam. Alias, memilih republik bukan hanya anti-tesa daripada bentuk kerajaan tapi juga ada sebuah etika deontologi di dalamnya yakni republik dalam pengertian “yang publik”, dan definisi itu jelas mengandaikan musuh dalam sebuah republik yakni “res privata” artinya yang privat.
IPPHOS Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Pejambon, Jakarta, 18 Agustus 1945." />
Demarkasi awal pemahaman ini bisa dilihat saat Aristoteles dalam karya yang bisa dibilang “magnum opus” sebagai kitab baru setelah Politeia – nya Platon, yakni Politik. Iya, Politik adalah bukunya. Dalam pengertian Aristoteles, bahwa manusia adalah mahluk politik (zoon politicon). Ini bukan hanya sekedar tanda atau penanda. Tapi di dalamnya ada logos, nalar atau semacam pengandaian bahwa yang hidup di politik memiliki rasionalisme dan menangguhkan pemahaman bahwa politik sebagai arena “bagi konsesi, bagi lahan, bagi IUP, dan bagi lainnya”.
Pada intinya partisipatif. Ini bukan sekedar demokrasi tapi juga ada akar nilai yang melandasi yakni rasionalitas dan penangguhan akan kebutuhan privat. Karena itu, dalam teks ekonomi, selalu disebutkan bahwa ekonomi berasal dari kata oikhos dan nomos, yang artinya persoalan rumah tangga. Disinilah republik, atau politik, harus menangguhkan urusan oikhos. Karena oikhos, tidak bernalar dan merupakan kebutuhan yang sifatnya irasionalitas.
Tetapi, saya mau mengajak untuk bukan sekedar ke sejarahnya melainkan sebuah refleksi, sungguhkah kita negara yang publik? Apakah diskursus publik kita dibasiskan pada rasionalisme? Atau uratisme yang betul – betul mencari leher siapa yang mampu mengalahkan mikrofon? Kebijaksanaan, wisdom, itulah pacu daripada politik. Bijak bukan berarti lembut, tetapi rasional dalam berpikir dan mampu menangguhkan sentimental pribadi. Jadi, kita publik atau republik, tanpa publik sebenarnya. Karena ruang publik kita penuh dengan apa yang disebut sebagai res privata.
Siapakah yang salah dalam hal ini? Menurut saya, kita sendiri. Republik dan demokrasi, itu mengandaikan partisipasi. Bedanya, demokrasi hanya bersoal siapa yang mengisi pipa, siapa yang mengisi speaker, siapa yang paling berisik dan kuantitatif. Republik, bernalar dalam kebijaksanaan untuk menangguhkan yang privat sekaligus rasional dalam berpolitik. Karena itu, kapasitas menjadi acuan dan basis meritokrasi adalah republik. Semua demi publik dan ruang publik memang untuk urusan publik.
Pipa publik inilah yang kemudian partisipasinya oleh para demagog, para buzzer, dll, sehingga ruang publik dipenuhi privat. Flexing saja misalnya, orang kadang bisa mangkel dengan hal seperti itu. Kekayaan, kemewahan dan urusan rumah tangga para selebriti makin memenuhi. Dan pers juga hanya sorot itu sebagai pemenuhan akan oikhos, karena itulah yang paling ramai , kan? Sensasi, kedunguan dan gagal nalar menghantui ruang publik yang tidak upaya diintervensi oleh para intelektual. Penyebabnya macam – macam, tapi ada mungkin beberapa hal : kemalasan dan ketakutan akan beredel.
Hanya di kita saja yang masih beredel urusan tulisan yang memang sepatutnya itu urusan publik. Poster pinokio, tulisan opini yang kemarin dicabut dan termasuk saya juga di salah satu platform, mengkritisi pembentukan badan usaha partai politik. Kita ini apa sih sebenarnya basis landasan logika republiknya? Urusan publik masih beredel – beredel? Masihkah kewarasan terjaga di kita? Atau, nalar kita yang kadang gak mampu memisahkan mana hal yang publik dan mana yang privat?
Baperisme dan glorifikasi personal adalah dua penyebabnya. Di satu sisi, mungkin, kita semua akui kalau Jokowi mengalokasikan semua uang negara untuk pembangunan. Tapi, bila kita bicara sisi yang lain soal rapuhnya fiskal kita akibat hutang yang jor – joran ditambah tax ratio menurun, artinya kan kita kritis kepada hal yang publik. Bukan ke personal Jokowi. Jadinya, kita ini entah terlalu dungu atau tidak, kadangkala masih mendefinisikan kebebasan itu apa. Padahal, kebebasan kita harus digunakan bukan sekedar dirumuskan. Dia harus diaktualisasikan demi kepentingan publik.
Selama kebebasan kita digunakan untuk gaung hal yang publik, selama itu pula kita tidak boleh takut untuk bersuara. Saya tidak sekedar berbicara metafisika demokrasi soal freedom speech, freedom ini itu, tapi aktualisasi kebebasan secara langsung demi publik itu sendiri. Jadi, ASN, Angkatan Perang kita kalau “halo dek”, mereka harus sadar bahwa mereka digaji oleh publik. Oleh karena itu mereka bekerja untuk publik, sekali lagi untuk publik. Mereka punya fasilitas, punya ini itu karena publik. Bukan karena siapa. Jadi, apakah kita akan menguji 1-10, sampai mana logika republik atau nalar publik kita ini? Waras atau tidak kalau pemerintah malah mengkritik balik? Tidak ada landasan kita menolak bahkan mendukung mati – matian pemerintah. Karena kita negeri republik.
Cukup BUMN saja yang mengalami privatisasi atau Tbk, ruang publik? Jangan! Mari rawat sama – sama.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
