Mazhab Utilitarianisme dalam Hukum Antara Manfaat dan Keadilan
Hukum | 2025-05-26 23:14:50Dalam perdebatan filsafat hukum yang telah berlangsung berabad-abad, mazhab utilitarianisme menempati posisi penting sebagai aliran pemikiran yang berupaya menyederhanakan kompleksitas keadilan menjadi satu prinsip utama: manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak. Gagasan ini pertama kali dikembangkan secara sistematis oleh Jeremy Bentham pada abad ke-18 dan kemudian disempurnakan oleh muridnya, John Stuart Mill. Dalam konteks hukum, utilitarianisme memandang bahwa sebuah aturan atau tindakan hukum dapat dibenarkan apabila ia menghasilkan manfaat sosial yang maksimal.
Prinsip ini sangat pragmatis. Hukum, menurut pandangan utilitarian, tidak boleh hanya berakar pada nilai moral abstrak, melainkan harus berorientasi pada konsekuensi nyata. Apakah sebuah hukuman benar-benar mengurangi kejahatan? Apakah sebuah undang-undang menciptakan ketertiban sosial? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi dasar evaluasi dalam pendekatan utilitarian. Tujuan hukum bukan lagi hanya mempertahankan tatanan atau membalas kesalahan, tetapi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Mazhab Utilitarianisme Dalam Kebijakan Hukum Modern
Pendekatan ini sangat berpengaruh dalam berbagai kebijakan hukum modern. Misalnya, dalam sistem pemidanaan, pertimbangan efisiensi dan pencegahan sering kali menjadi dasar pengambilan keputusan. Seorang pelanggar hukum tidak semata dihukum karena bersalah, tetapi juga karena hukuman itu diharapkan memiliki efek jera, serta mencegah orang lain melakukan tindakan serupa. Hukum dalam kerangka utilitarian tidak hanya bertanya apakah pelaku layak dihukum, tetapi juga apakah menjatuhkan hukuman akan membawa dampak sosial yang lebih baik dibandingkan tidak menjatuhkannya.
Namun, meskipun menawarkan efisiensi dan orientasi sosial, utilitarianisme dalam hukum tidak lepas dari kritik. Salah satu tantangan utamanya adalah bagaimana menentukan "manfaat terbesar" itu sendiri. Dalam masyarakat yang plural, konsep manfaat dapat sangat subjektif. Apa yang dianggap menguntungkan oleh mayoritas bisa saja merugikan minoritas. Dalam hal ini, utilitarianisme kerap dituding mengorbankan hak-hak individu demi kepentingan kolektif. Misalnya, jika menghukum orang yang tak bersalah bisa mencegah kerusuhan massal, apakah tindakan itu bisa dibenarkan secara moral?
Dilema Penerapan Utilitarianisme Dalam Hukum
Dilema inilah yang membuat penerapan utilitarianisme dalam hukum harus disertai dengan batas-batas etis dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Tidak cukup hanya mengejar manfaat, tetapi juga harus menjamin bahwa manfaat itu tidak dicapai dengan cara yang menginjak-injak martabat manusia. Oleh karena itu, banyak pemikir hukum modern berupaya menggabungkan pendekatan utilitarian dengan prinsip-prinsip keadilan prosedural dan moralitas yang lebih komprehensif.
Meskipun tidak sempurna, mazhab utilitarianisme tetap relevan dalam diskursus hukum kontemporer, terutama ketika hukum dituntut untuk menjawab kebutuhan masyarakat secara efektif dan rasional. Dalam dunia yang terus berubah, di mana tantangan sosial dan teknologi semakin kompleks, pemikiran utilitarian mengajarkan bahwa hukum harus mampu berpikir ke depan: bukan hanya tentang benar dan salah, tetapi tentang dampak dan kebermanfaatan. Di sinilah hukum menemukan fungsinya yang lebih manusiawi, yaitu menjadi alat untuk mewujudkan kesejahteraan bersama tanpa melupakan suara mereka yang paling kecil.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
