Ketika Tongkonan Dirobohkan: Retaknya Memori Kolektif di Tengah Derap Pembangunan
Info Terkini | 2025-12-09 13:36:02
Di tengah derasnya arus pembangunan yang mengejar target ekonomi dan penataan ruang, kabar mengenai dirobohkannya rumah Tongkonan—ikon budaya Toraja yang telah berdiri ratusan tahun sebagai simbol identitas, hubungan kekerabatan, dan struktur sosial—menjadi luka baru dalam diskursus pelestarian warisan budaya di Indonesia. Peristiwa ini bukan sekadar persoalan bangunan kayu yang tumbang; ini adalah kisah tentang bagaimana memori kolektif sering kali kalah oleh logika modernisasi.
Dalam tradisi Toraja, Tongkonan bukanlah rumah tinggal biasa. Ia adalah pusat kosmologi, tempat berkumpulnya garis keturunan, dan penanda status sosial. Ketika sebuah Tongkonan dirobohkan—apa pun alasannya—yang hilang bukan hanya wujud fisiknya, tetapi juga jejak ingatan dan relasi antar-generasi. Dalam konteks ini, masyarakat tidak sekadar kehilangan bangunan, melainkan kehilangan “ruang pulang” yang mengikat mereka pada asal-usulnya.
Pertanyaannya kemudian: mengapa kita terus berulang kali menyaksikan situasi seperti ini? Di banyak daerah, proyek infrastruktur, konflik lahan, atau kurangnya pemahaman terhadap nilai budaya sering menjadi pemicu utama. Otonomi daerah kadang memberi ruang untuk keputusan terburu-buru, sementara kebijakan pelestarian kerap hanya berfungsi sebagai dokumen administratif, bukan pedoman operasional di lapangan.
Indonesia memiliki undang-undang pelestarian cagar budaya, namun implementasinya masih jauh dari ideal. Banyak situs budaya—dari rumah adat hingga kawasan bersejarah—mengalami nasib serupa: digeser, digusur, atau “diinterpretasi ulang” sesuai kepentingan ekonomi jangka pendek. Kasus Tongkonan hari ini hanyalah satu contoh dari rentetan panjang konflik antara nilai budaya dan nilai komersial.
Meski demikian, tragedi ini dapat menjadi momentum. Pemerintah lokal, lembaga adat, akademisi, dan masyarakat perlu duduk bersama merumuskan mekanisme perlindungan yang lebih operasional: pendataan yang komprehensif, penetapan zona perlindungan, regulasi pembangunan yang sensitif budaya, serta penguatan peran lembaga adat dalam pengambilan keputusan ruang. Pelibatan masyarakat—terutama keturunan pemilik Tongkonan—harus menjadi pilar utama, bukan sekadar formalitas.
Pelestarian budaya tidak harus berdiri berseberangan dengan pembangunan. Banyak negara membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat berjalan beriring dengan perlindungan warisan budaya, asalkan regulasi diperkuat dan dilaksanakan secara tegas. Di Indonesia, yang kita butuhkan bukan hanya aturan, tetapi juga kemauan politik dan kesadaran publik bahwa rumah adat seperti Tongkonan adalah aset identitas nasional, bukan hambatan pembangunan.
Akhirnya, dirobohkannya sebuah Tongkonan seharusnya menjadi alarm keras: seberapa jauh kita rela mengorbankan identitas demi percepatan pembangunan? Jika warisan nenek moyang terus tumbang satu per satu, kita berisiko membangun masa depan yang megah tetapi kehilangan akar yang mengikat kita sebagai bangsa.
Daftar Pustaka
Adams, K. (2006). Art as Politics: Re-crafting Identities, Tourism, and Power in Tana Toraja, Indonesia. University of Hawai'i Press.
Crystal, E. (1974). “Toraja Social Organization and Symbolism.” Ethnology, 13(1), 27–46.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2010). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Waterson, R. (2009). Paths and Rivers: Sa'dan Toraja Society in Transformation. NUS Press.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
