Preman Menuding Preman
Update | 2025-05-13 22:53:27
Oleh: Umar Wachid B Sudirjo
Pemberantasan preman kembali digaungkan. Satuan tugas dibentuk, razia digelar, dan sejumlah nama ditangkap. Namun ada yang menarik dari kegaduhan ini: para preman jalanan justru menuding balik. Mereka mengatakan, yang lebih berbahaya dari mereka adalah preman berseragam—yang bertindak sewenang-wenang dengan payung hukum dan lencana resmi. Tuduhan itu terdengar konyol, namun sayangnya tidak sepenuhnya salah.
Tidak bisa dipungkiri, preman berseragam itu ada. Mereka tidak berdiri di pinggir jalan, tetapi duduk di belakang meja. Mereka tidak memalak rokok atau recehan, tetapi mengatur proyek, izin, dan hukum. Dan ketika kelakuan mereka terbongkar, institusi dengan sigap menyodorkan satu kata sakti: oknum. Kata ini selalu digunakan untuk mengisolasi kesalahan, seolah pelakunya hanya satu, terpisah dari sistem, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kultur kelembagaan.
Padahal, dalam kenyataan yang lebih dalam, “oknum” seringkali tidak berjalan sendiri. Ia digerakkan oleh perintah tersembunyi, oleh kultur tutup mata, bahkan oleh sistem yang membiarkannya bertumbuh. Dan saat tindakan itu ketahuan, “oknum” disuruh menanggalkan seragam—agar seolah-olah bukan bagian dari institusi. Jikapun masih berseragam, maka akan muncul alibi klasik: “Seragam itu bisa dibeli di mana saja.”
Di pasar atau terminal, kita masih bisa mendengar seseorang berkata dengan lantang, “Saya preman!” Meski itu ancaman, setidaknya ia sebuah pengakuan. Sebuah bentuk kejujuran akan perilaku yang dijalani. Namun, adakah pengakuan serupa dari preman berseragam? Apakah mereka pernah berdiri di depan publik dan berkata, “Saya telah menindas rakyat atas nama jabatan”? Tidak ada. Yang ada justru barisan pembelaan, penyangkalan, dan pelimpahan kesalahan pada kata yang sama: oknum.
Institusi tak jarang justru menjadi dalang yang piawai dalam membersihkan jejak. Seragam hanya dipakai saat menguntungkan, dan ditanggalkan saat melanggar. Publik pun dibuat bingung, karena yang bertindak semena-mena justru bisa bersembunyi di balik legalitas. Preman jalanan diberantas secara terbuka, sementara preman berseragam tetap berlalu bebas, dengan perlindungan sistematis.
Kehadiran satgas anti-preman diharapkan mampu menjadi bagian yang dapat menertibkan, dan memberantas preman yang berlindung atas nama ormas atau sebuah institusi. Dan janganlah kehadiran satgas anti-preman justru menjadi preman gaya baru yang terstruktur, karena cara dan tindakannya yang justru melebihi gaya preman yang ada.
Negeri ini terlalu banyak sandiwara. Bukan untuk menghibur, melainkan untuk membuat masyarakat bingung: siapa preman yang sesungguhnya? Oleh karena itu, wajar ketika sesama preman kemudian saling tuding—mana dan siapa yang lebih preman dan lebih berbahaya.
Apa pun alasannya—dari ormas atau institusi manapun—bahkan jika menggunakan kata oknum sekalipun, bila ia melakukan kekerasan fisik maupun nonfisik, diakui atau tidak, maka ia adalah preman. Mereka inilah yang seharusnya menjadi target nyata dari satuan tugas anti-premanisme. Mereka harus diberantas, diputus mata rantainya, bila perlu—dibubarkan. -ufa
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
